26 Mei 2008

6. Musik Suku-Suku Pegunungan Tengah

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Pegunungan Sudirman di Papua masa kini bernama Pegunungan Nassau zaman Belanda di Nieuw Guinea. Ia mencakup pegunungan salju bagian barat dan bagian dari pegunungan tengah yang menjorok ke arah barat Nieuw Guinea, dari Lembah Balim sampai ke Pegunungan Weyland, kurang lebih di belakang kawasan yang sekarang bernama Nabire, bagian selatan Teluk Cenderawasih.

Suku-suku Papua yang mendiami Pegunungan Nassau melakukan perdagangan barter dengan suku-suku Papua lainnya yang mendiami dataran tinggi berdanau di Pegunungan van Rees. Pegunungan ini berada di pedalaman kawasan Waropen, di sebelah barat Sungai Mamberamo.

Suku-suku di Pegunungan van Rees memakai suling keramat sementara suku-suku Pegunungan Nassau memakai harpa Yahudi. Harpa ini tampaknya ditemukan di seluruh Nieuw Guinea. Berbeda dengan musik paling primitif suku Kauwerawet, musik kedua kelompok suku ini berisi nyanyian-nyanyian rinci yang khas.

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Pegunungan Sudirman di Papua masa kini bernama Pegunungan Nassau zaman Belanda di Nieuw Guinea. Ia mencakup pegunungan salju bagian barat dan bagian dari pegunungan tengah yang menjorok ke arah barat Nieuw Guinea, dari Lembah Balim sampai ke Pegunungan Weyland, kurang lebih di belakang kawasan yang sekarang bernama Nabire, bagian selatan Teluk Cenderawasih.

Suku-suku Papua yang mendiami Pegunungan Nassau melakukan perdagangan barter dengan suku-suku Papua lainnya yang mendiami dataran tinggi berdanau di Pegunungan van Rees. Pegunungan ini berada di pedalaman kawasan Waropen, di sebelah barat Sungai Mamberamo.

Suku-suku di Pegunungan van Rees memakai suling keramat sementara suku-suku Pegunungan Nassau memakai harpa Yahudi. Harpa ini tampaknya ditemukan di seluruh Nieuw Guinea. Berbeda dengan musik paling primitif suku Kauwerawet, musik kedua kelompok suku ini berisi nyanyian-nyanyian rinci yang khas.

Nyanyian Suku Uringup

Nyanyian-nyanyian ini berasal dari suku Uringup yang mendiami Lembah Swart. Lembah ini dekat Sungai Swart, salah satu cabang Sungai Mamberamo; anak sungai yang mengalir dari kawasan Lembah Balim. Nyanyian-nyanyian ini diteliti J. Jongejans, seorang pegawai pemerintah asal Belanda, dan diterbitkan tahun 1921 dan Dr. P. Wirz, seorang ahli etnografi asal Swis. Penelitian Wirz yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1924 diterbitkan kembali dalam bahasa Inggris di Amsterdam, Belanda, 1952.

Sebagian besar frasa atau rangkaian melodik suku tadi menunjukkan ciri sangat primitif. Umumnya, jangkauan melodik frasa-frasa ini tidak melampaui interval keempat. Berdasarkan tradisi musikal Belanda, Dr. J. Kunst yang mendengarkan potongan-potongan tadi mengatakan lagu-lagu tersebut mengingatkan dia pada “sajak kanak-kanak dan nyanyian-nyanyian yang pendek dan sederhana orang Belanda.”

Dr. Wirz memberi tiga dan Jongejans memberi tiga contoh melodi suku Uringup. (Setiap contoh dibatasi garis birama ganda.)


Tapi suatu fragmen lain yang dicatat Jongejans berdasarkan nyanyian suku Awembiak sangat berbeda dengan potongan melodik yang lain:




Nyanyian Triad dan Fenfer

Frasa melodik terakhir mengingatkan Kunst pada suatu lagu pemberi isyarat militer dalam tradisi musik Barat. Isyarat ini adalah suatu potongan melodi yang dibunyikan, biasanya melalui trompet, misalnya, untuk memanggil anggota tentara apel pagi atau menurunkan bendera di sore hari.

Kesan tentang fragmen melodik tadi yang mirip lagu pemberi isyarat militer diperkuat sejumlah nyanyian dan fragmen nyanyian yang dikunpulkan Le Roux dan asistennya, Muhamad Saleh, dari suku Awembiak dan Dem.Kedua suku pedalaman ini berkerabat dengan suku Uringup dan tinggal di kawasan pegunungan dekat Enarotali masa kini.

Tapi fragmen tadi yang dinyanyikan suku Awembiak dicatat hanya berdasarkan pendengaran. Ini dikuatirkan mengabaikan interval yang aneh atau tidak lazim dari melodi asli Awembiak. Pengabaian bisa terjadi kalau pencatat melodi suku terasing cenderung dipengaruhi musik modern.

Meskipun demikian, ada cara untuk mengukuhkan apakah pencatatan melodi Awembiak dan Dem cermat atau tidak. Selain dicatat, ada juga melodi suku ini dan suku-suku lain di Nieuw Guinea yang mirip dengan yang sudah dicatat. Jadi, ada data pembanding untuk mengecek ulang tingkat kecermatan pencatatan lagu Awembiak.

Kunst lalu menuliskan kembali lagu-lagu suku Awembiak seperti yang dinyanyikan dan disiulkan Le Roux dan dimainkan pada biola oleh Muhamad Saleh sesudah mereka kembali ke Batavia. Lagu-lagu itu mengingatkan Kunst pada sejenis musik Barat yang disebut musik fenfer (fanfare). Ini adalah permainan sebuah atau beberapa buah trompet sebagai pembukaan upacara; terkadang diangkat juga ke dalam komposisi musik klasik Barat. Dalam musik pop modern, musik fenfer disebut brass band, ben yang melibatkan berbagai alat musik tiup dari kuningan atau logam, termasuk alat-alat pukul.


Melodi fenfer dalam dunia kemiliteran Barat atau modern dibentuk oleh tiga not dasar: do, mi, sol atau not lain – seperti fa, la, do – dan balikan-balikannya. Ketiga not dasar dan balikannya diutak-atik secara berseni dengan melibatkan pola ritme dan tingginada khas.

Melodi fenfer seperti yang dimainkan melalui trompet dalam dunia militer modern atau Barat disebut taptoe dalam bahasa Belanda. Suatu taptu adalah suatu isyarat dengan trompet tanda para prajurit harus pulang ke asrama atau barak; ia adalah juga musik bagi tentara untuk berbaris pada malam hari.

Dalam bahasa Inggris, taptu disebut reveille, trumpet call, bugle call. Notasi lagu pemberi isyarat militer ini dikenal dalam tradisi kemiliteran Inggris dan Amerika Serikat dengan judul Day Is Done. Melodi lengkap yang dimainkan dalam tempo agak lambat ini, demikian:


Tidak semua lagu yang memakai ketiga not dasar tadi bisa disebut melodi fenfer. Melodi ini punya ciri khasnya sendiri.

Melodi fenfer suku Awembiak yang Kunst catat dari Le Roux dan Saleh dia istilahkan musik “triad yang dihiasi”. Seperti yang sudah dijelaskan, triad adalah akord yang terdiri dari tiga urutan nada. Urutan ini vertikal kalau triad menjadi akord atau harmoni dan horizontal kalau triad menjadi melodi. Dalam tangganada C mayor, triad C terdiri dari not do-mi-sol dan kedua balikannya: mi-sol-do dan sol-do-mi. Triad inilah yang diberi hiasan dalam melodi suku Awembiak.

Dua macam nyanyian fenfer suku Awembiak bisa Anda simak. Yang pertama, Panizage, memakai pergantian antara jenis birama 3/8 dan 4/8. Yang kedua, berjenis birama 6/8, dinyanyikan oleh klen atau keret Delosi dari keluarga besar Ndani. Tidak ada terjemahan untuk syair kedua lagu ini.














Bagaimana tentang nyanyian fenfer suku Dem? Nyanyian mereka sangat menarik karena dinyanyikan secara berbalasan antara seorang penyanyi tunggal dan koor. Kunst menyebut penyanyi tunggal itu sebagai precentor (dibaca “presentor”). Ini suatu istilah Inggris yang mengacu pada seorang rohaniawan Kristen yang bertanggung jawab atas musik vokal dan secara teknis membawahi organis dalam ibadah Gereja Anglikan Inggris. Dengan kata lain, seorang presentor adalah seseorang yang punya kendali umum atas nyanyian dalam suatu ibadah gereja. Dalam hubungan dengan cara nyanyi suku Dem, Kunst memakai istilah “presentor” untuk mengacu pada penyanyi solo suku ini yang punya kendali umum atas nyanyian bersama.

Dua nyanyian yang melibatkan presentor dan koor suku Dem kedengaran seperti lagu modern. Yao adalah nyanyian pertama. Nyanyian kedua adalah suatu lagu nina bobo. Kedua-duanya adalah nyanyian triadik yang memakai melodi fenfer.











Kata aye dalam nyanyian pertama suku Dem berarti leluhur. Tidak ada terjemahan syair kedua lagu tadi. Karena itu, arti syairnya tidak bisa kita pahami seutuhnya.

Presentor dan Koor

Nyanyian suku Dem yang terdiri dari penyanyi tunggal (presentor) dan koor menarik. Ciri ini ada juga dalam nyanyian suku-suku lain di Nieuw Guinea dan masih ada dalam nyanyian modern. Harry Belafonte, seorang penyanyi asal Yamaika kelahiran New York, sering memakainya dalam beberapa lagunya yang berirama kalipso tahun 1960-an, seperti The Banana Boat Song. Belafonte menanyikan bagian solo dan paduan suara masuk pada bagian refrein atau perulangan melodi yang memakai kata-kata bahasa Inggris sehari-hari: Daylight come and me wan’ go home. Teknik nyanyi ini muncul juga dalam lagu-lagu ibadah Kristen, termasuk dalam ibadah Gereja Katolik. Jadi, teknik nyanyi yang memakai presentor atau penyanyi tunggal (solo) dan koor tampaknya berusia sangat panjang dan ada dalam musik tradisional dan modern.

Asal Musik Fenfer

Lalu, dari mana asalnya musik fenfer dengan triad yang dihiasi dari suku Awembiak? Kunst sulit menjawab pertanyaan ini karena info yang tidak ada, tidak atau kurang memadai. Secara khusus, kemungkinan pengaruh dari musik tradisional suku-suku pantai utara bagian barat Nieuw Guinea sulit dipastikan karena musiknya sudah mendapat pengaruh yang cukup kuat dari musik Nusantara di luar Nieuw Guinea.

Pengaruh Nusantara ini lebih kentara di pantai baratdaya Nieuw Guinea melalui pengaruh musik dari Maluku, terutama dari Tidore dan Ternate. Pengaruh ini bisa diamati dari melodi dan instrumen musikal – rebab, rebana, gong, dan tifa – yang dipakai penduduk Papua di pesisir baratdaya Nieuw Guinea.

Dari berbagai koleksi nyanyian-nyanyian asal Sarmi di pesisir utara Nieuw Guinea, J. Kunst menemukan musik tipe aborijin Australia dan musik yang tampaknya dipengaruhi musik Nusantara. Nyanyian dari lapisan budaya musikal Australia di Sarmi menunjukkan juga ciri-ciri triad tapi tanpa ciri fenfer.







Tapi ada satu nyanyian Sarmi yang berciri fenfer.

Koleksi Kunst mencakup suatu nyanyian dari Sarmi yang diduga sudah mendapat pengaruh Nusantara di luar Nieuw Guinea. Lagu pendek ini merdu tapi bersuasana agak sayu.



Tipe Aborijin dan Nusantara

Pengaruh musik tipe aborijin Australia yang ada di Kauwerawet dan musik Nusantara ditemukan juga dalam musik Pulau Yapen, Pesisir Waropen, dan Teluk Humboldt. Ini Kunst amati dari rekaman para penyanyi ketiga daerah ini dalam Pameran Etnografik di Batavia 1929. Nyanyian-nyanyian dari Yapen menunjukkan hubungan yang erat dengan nyanyian-nyanyian suku Kauwerawet. Tapi nyanyian-nyanyian dari Teluk Humboldt lebih bervariasi; ini bukan nyanyian fenfer tapi masih berkaitan dengan nyanyian tipe Australia. Sebaliknya, beberapa nyanyian dari Pesisir Waropen tampaknya mendapat pengaruh Nusantara. Ini bisa diamati dari apa yang Kunst istilahkan “ciri pelog” di dalam nyanyian-nyanyian yang di dalamnya interval setengahnada sering muncul.

Nyanyian lain dari Pesisir Waropen menunjukkan ciri triad yang menonjol tapi bukan dari jenis fenfer. Jangkauan nadanya satu oktaf.

Ciri-Ciri Lain

Tapi ada nyanyian untuk pesta dari Sarmi yang jangkauan melodinya duabelas nada – satu oktaf ditambah empat nada. Lagu ini indah dan bervariasi, punya jangkauan melodik yang sama dengan Panizage suku Awembiak.

Beberapa fragmen dari nyanyian Marind-anim cenderung memakai interval ketiga dan, sewaktu-waktu, triad. Nyanyian-nyanyian ini tergolong pada tipe nyanyian pendek suku Dem yang sudah dibicarakan. Akan tetapi, nyanyian dari Marind-anim bukanlah nyanyian fenfer.

Dua contoh fragmen nyanyian Marind-anim:











Suatu melodi yang agak panjang dan bervariasi dicatat Kunst dari nyanyian seorang lelaki dewasa dari Sungai Kaoh, Digul Atas, di bagian selatan Nieuw Guinea. Lelaki ini ikut Dr. de Rook, seorang Belanda, ke Bandung.





Rallentando dan a Tempo

Menarik untuk memerhatikan bahwa penyanyi Papua itu memakai apa yang dalam musik Barat disebut rallentando – tempo diperlambat secara berangsur-angsur – dan a tempo – kembali ke tempo semula – masing-masing sebanyak dua kali. Ini memperkuat daya ekspresif lagunya dan menunjukkan juga bahwa teknik rallentando dan a tempo ada juga dalam musik tradisional di Nieuw Guinea.


Rangkuman

Tingkat paling primitif budaya musikal suku Kauwerawet dan Uringup yang tergolong pada musik tipe aborijin Australia ditemukan juga dalam nyanyian-nyanyian tertentu penduduk pesisir di Sarmi, Yapen, dan Teluk Humboldt. Nyanyian-nyanyian ini dengan demikian menunjukkan suatu bagian dari musik asli Papua.

Suatu ciri umum dari semua nyanyian yang sudah dibicarakan dalam tulisan ini adalah jenis-jenis birama yang dipakai. Ada nyanyian yang dikendalikan oleh satu jenis birama. Jenis birama ini mencakup 2/4 (Yao), 3/4 (melodi pertama suku Uringup dan Melodi Fenfer Awembiak), 4/4 (Lagu Nina Bobo suku Dem, nyanyian-nanyian dari Sarmi, dan nyanyian kedua Marind-anim), 6/4 (kedua melodi terakhir Uringup), 9/4 (nyanyian pertama Marind-anim), dan 6/8 (Lagu Keret Delosi). Ada juga nyanyian-nyanyian yang dikendalikan oleh lebih dari satu jenis birama, yaitu Panizage 3/8, 4/8, 3/8); dan Nyanyian Digul Atas (9/8, 6/8, 9/8, 6/8). Pergantian birama macam ini menunjukkan bahwa gerak melodik lebih bebas, ketukan dan pola ritmik pun berubah.

Tingkat budaya musikal yang lebih tinggi diamati pada nyanyian-nyanyian suku Awembiak dan Dem di pedalaman dan pada nyanyian-nyanyian beberapa suku lain di Nieuw Guinea. Nyanyian-nyanyian Awembiak melibatkan triad berbentuk fenfer, suatu bentuk yang ada juga dalam nyanyian suku Dem. Di kawasan pesisir Nieuw Guinea, nyanyian-nyanyian triadik bukan-fenfer ditemukan di Waropen dan Sarmi.

Tingkat budaya musikal yang lebih tinggi tadi dikenal melalui beberapa cirinya. Apa ciri-cirinya?
Pertama, gerak melodinya bervariasi. Kalau kebanyakan nyanyian tradisional sangat primitif di Nieuw Guinea menuruni tangganada dengan not rendah atau paling rendah di akhir, nyanyian-nyanyian yang lebih berkembang menunjukkan gerak melodik yang bervariasi. Ada yang pendek tapi cenderung turun-naik tangganada, seperti melodi fenfer Awembiak, melodi nina bobo Dem, dan kedua melodi Marind-anim. Ada melodi yang agak pendek tapi menunjukkan gerak yang bervariasi; ia mulai dengan not tinggi dan cenderung menuruni tangganada, yaitu, nyanyian dari Digul Atas. Ada juga melodi yang agak panjang, gerak melodinya bervariasi, yaitu, turun-naik lalu turun di akhir lagu. Ciri ini ada pada Panizage.

Kedua, teknik menyanyi yang melibatkan penyanyi solo dan koor lebih berkembang dari yang ada pada nyanyian tipe Australia di Nieuw Guinea. Contoh yang jelas adalah nyanyian-nyanyian suku Dem yang melibatkan apa yang menurut penelitian Kunst disebut presentor dan koor, seperti yang ada dalam tradisi ibadah Gereja Anglikan di Inggris. Adanya presentor dan koor tampaknya memengaruhi konstruksi melodi triadik melalui balikan triad yang dipakai: do-mi-sol.

Ketiga, pengaruh musik Nusantara pada musik tradisional di Neuw Guinea memperkaya musik ini. Pengaruh yang berasal terutama dari Maluku, Tidore, dan Ternate ditemukan pada instrumen musikal yang dipakai di pesisir baratdaya Nieuw Guinea, seperti rebab, rebana, gong, dan tifa. Pengaruh musik Nusantara lain pada struktur melodi suatu nyanyian di Sarmi dan yang berciri pelog pada suatu nyanyian di Waropen.

Keempat, nyanyian triadik berbentuk fenfer seperti yang dinyanyikan suku Awembiak dan Dem dan berbagai variasi gerak melodiknya menunjukkan suatu taraf budaya musikal yang lebih tinggi dari taraf budaya musikal tipe aborijin di Nieuw Guinea. Taraf ini mengingatkan Kunst pada musik fenfer triadik di Barat, suatu asosiasi pikiran yang menunjukkan adanya identifikasi taraf budaya musikal yang lain.

Kelima, identifikasi rallentando dan a tempo berdasarkan ilmu musik Barat pada suatu nyanyian dari Digul Atas menunjukkan bahwa ada tahap perkembangan yang baru dalam musik tradisional Nieuw Guinea yang dibicarakan sejauh ini. Kedua istilah ini berkaitan dengan nuansa tempo – perbedaan yang halus dalam tingkat kecepatan suatu nyanyian atau lagu – dalam ilmu musik Barat. Ini menunjukkan bahwa perubahan nuansa tempo ada juga dalam musik tradisional di Nieuw Guinea.

Keenam, jangkauan melodik seluas satu setengah oktaf. Suatu melodi untuk pesta di Sarmi yang punya 12 nada – satu oktaf plus empat nada di atasnya – dan Panizage menunjukkan jangkauan suara yang luas. (Ini satu nada lebih luas dari 11 nada yang mendasari melodi Malam Kudus.) Luasnya jangkauan suara ini menunjukkan juga suatu perkembangan yang lebih tinggi dari musik vokal di Nieuw Guinea.




Read More....

21 Mei 2008

1. ABC Ilmu Musik Barat

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Kalau Anda ahli musik, abaikan saja bagian ini. Kalau Anda punya minat atau bakat musik tapi kurang tahu tentang ilmu musik Barat, saya akan menjelaskan dasar-dasarnya. Dasar-dasar ini dibatasi pada unsur-unsur musikal yang dijelaskan Dr. Kunst dalam bukunya tentang musik tradisional di Papua. Dengan demikian, Anda diharapkan akan memahami secara mudah pembahasan Kunst tentang musik tradisional di Papua dalam tulisan-tulisan mendatang. Anda bisa memakai bagian tulisan ini sebagai rujukan kalau penjelasan Kunst yang teknis itu kurang jelas atau membingungkan Anda.

Unsur-Unsur Musik Barat

Ada empat unsur umum musik Barat. Pertama, irama (dan matra); kedua, atmosfir; ketiga, suasana hati (mood), dan keempat, pesan.

Irama dan matra
Irama dalam musik pop atau kontemporer sering disebut style, tradisi, idiom, atau corak (genre). Dalam musik pop modern, irama mencakup country, folk, waltz, rock ‘n roll, samba, salsa, disko, dan lain-lain. Ia mencakup juga fusi atau peleburan berbagai corak pop seperti country-rock, jazz-rock, dan Latin-disco.
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Kalau Anda ahli musik, abaikan saja bagian ini. Kalau Anda punya minat atau bakat musik tapi kurang tahu tentang ilmu musik Barat, saya akan menjelaskan dasar-dasarnya. Dasar-dasar ini dibatasi pada unsur-unsur musikal yang dijelaskan Dr. Kunst dalam bukunya tentang musik tradisional di Papua. Dengan demikian, Anda diharapkan akan memahami secara mudah pembahasan Kunst tentang musik tradisional di Papua dalam tulisan-tulisan mendatang. Anda bisa memakai bagian tulisan ini sebagai rujukan kalau penjelasan Kunst yang teknis itu kurang jelas atau membingungkan Anda.

Unsur-Unsur Musik Barat



UMUM

Ada empat unsur umum musik Barat. Pertama, irama (dan matra); kedua, atmosfir; ketiga, suasana hati (mood), dan keempat, pesan.

Irama dan matra


Irama dalam musik pop atau kontemporer sering disebut style, tradisi, idiom, atau corak (genre). Dalam musik pop modern, irama mencakup country, folk, waltz, rock ‘n roll, samba, salsa, disko, dan lain-lain. Ia mencakup juga fusi atau peleburan berbagai corak pop seperti country-rock, jazz-rock, dan Latin-disco.


Anda yang bisa memainkan gitar irama tahu bahwa memainkan irama country, misalnya, berbeda dengan memainkan irama salsa. Pola pukulan gitarmu untuk jenis irama pertama berbeda dengan pola pukulanmu untuk jenis irama kedua. Dalam notasi khusus untuk irama gitar, setiap irama ini diperikan dengan pola kombinasi not dengan berbagai nilai tertentu.


Dalam musik, ritme adalah suatu bagian dari melodi atau lagu. Ia berhubungan dengan distribusi not-not dalam waktu dan tekanan not-not itu. Not-not dalam waktu ini diberi berbagai nilai.


Dalam ketukan 4/4, misalnya, satu not bernilai empat ketukan dibunyikan untuk jangka waktu yang agak lama (misalnya, selama 4 detik) sementara satu not bernilai satu ketukan membutuhkan waktu yang singkat untuk dibunyikan (misalnya, setengah detik). Satu not lain yang bernilai setengah ketukan jelas membutuhkan waktu lebih pendek dari not sebelumnya untuk dimainkan atau dinyanyikan.


Di samping itu, tidak semua not mendapat tekanan yang sama: ada yang mendapat tekanan berat, ada yang mendapat tekanan relatif berat, dan ada yang mendapat tekanan ringan. Dalam suatu lagu yang memakai ketukan 4/4 tadi, setiap empat not yang masing-masing bernilai satu ketukan dibatasi oleh dua garis tegak-lurus di kiri kanan kesatuan ini: ___. Setiap garis lurus tadi disebut garis birama dan kedua garis ini membentuk satu birama (disebut maat dalam bahasa Belanda dan bar dalam bahasa Inggris). Kesatuan empat not dengan nilai tadi membentuk satu birama. Menurut aturan baku, setiap not pertama dalam satu birama 4/4 mendapat tekanan berat, setiap not yang membentuk ketukan ketiga mendapat tekanan relatif berat, dan setiap not yang membentuk ketukan kedua dan keempat mendapat tekanan ringan.


Dalam hubungan dengan penelitian musik tradisional di Papua, Anda perlu tahu apa yang disebut “ritme bebas”. Ini jenis ritme yang tidak ditentukan oleh kejadian teratur dari garis-garis birama tapi kejadian yang timbul dari aliran alami atau konvensional dari not-not. Suatu lagu yang memakai ritme bebas secara praktis akan melibatkan pergantian jenis birama – ada yang tidak lazim – yang bisa lebih dari dua kali. Lagu, misalnya, dimulai dengan birama ganjil seperti 7/4 lalu beralih menjadi 2/4, kemudian 4/4 lalu berakhir dengan 7/4.


Di Indonesia, ritme bebas bisa Anda simak dari nyanyian-nyanyian mazmur dalam Mazmur dan Nyanyian Rohani susunan I.S. Kijne dan dalam Kidung Jemaat terbitan Yayasan Musik Gereja di Jakarta. Dalam ibadah Gereja Katolik, ia muncul dalam lagu-lagu Gregorian (Gregorian chants).


Ritme harus dibedakan dengan matra. Secara sederhana, matra adalah pengelompokan ketukan-ketukan dasar yang tetap dari suatu lagu. Dalam musik populer, ia disebut beat, suatu kata bahasa Inggris yang berarti “ketukan” dalam bahasa Indonesia. Jenis-jenis matra membentuk jenis-jenis birama seperti 2/4, 3/4, 4/4, 6/4, 3/8, 6/8, 9/8, dan 12/8. Angka di sebelah kiri garis miring menunjukkan jumlah ketukan per birama; angka di sebelah kanan menunjukkan nilai not dasar yang melandasi berbagai nilai not yang membentuk ritme suatu lagu.


Contoh matra bisa Anda dengar dengan jelas dari irama disko. Disko memakai ketukan 4/4 yang kuat dan cukup cepat. Keempat ketukan dasarnya dalam satu birama dipertegas oleh bunyi drumnya: DUM DUM DUM DUM. Bunyi ini berulang-ulang secara tetap selama lagu disko dimainkan.

Atmosfir


Atmosfir adalah lingkungan di sekitar suatu nyanyian. Atmosfir menjawab pertanyaan: “Anda di mana?” Di suatu pantai tropik atau pegunungan salju; di gereja, di rumah, atau di hotel?

Suasana hati


Bagaimanakah perasaan Anda yang tengah menyanyi tentang apa yang Anda katakan pada kami sebagai pendengar? Bahagia, merenung, sedih, damai, tenang, rindu, bercanda, sangat hormat, sepi?

Pesan


Apa yang Anda, penyanyi, katakan pada kami sebagai pendengarmu? Apa fakta, sudut-pandang, filsafatmu; tanggapan apakah yang Anda inginkan dari kami?


KHUSUS


Selain empat unsur umum, musik Barat berisi juga empat unsur khusus. Pertama, lirik; kedua, melodi; ketiga, harmoni; dan keempat ritme.

Lirik


Ini adalah kata-kata atau syair lagu. Ada beda arti antara pesan dan lirik. Pesan adalah apa yang Anda katakan melalui suatu nyanyian atau lagu; lirik adalah bagaimana Anda menyampaikan pesanmu melalui nyanyianmu.


Lirik mengungkapkan emosi (umum) dan nyanyian – mencakup melodi dan lirik – adalah ungkapan emosional. Lirik bisa terdiri dari bait (verse) dan koor (chorus). Bait menunjukkan, koor bercerita. Bait menunjukkan seseorang atau sesuatu melalui bahasa yang spesifik dan menarik; koor bercerita melalui komentar atau ringkasan tentang bait.

Melodi


Unsur ini adalah suatu gabungan dari rangkaian tingginada (pitch) dan ritme. Rangkaian tingginada dan ritme ditandai oleh rangkaian not dan tanda-diam dengan bermacam-macam nilai. Tergantung kebutuhan, harmoni – gabungan dua, tiga, empat nada atau lebih menurut aturan tertentu – dan lirik adalah bagian lain dari melodi.


Rangkaian not suatu melodi dibentuk oleh interval. Interval adalah “jarak” antara dua not, sejauh satu di antaranya lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Jarak antara not do dan re atau sebaliknya secara bertangga membentuk interval kedua karena Anda membunyikan secara naik-turun dua not. Interval ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan masing-masing adalah do-mi (ada tiga not, do-re-mi); do-fa (ada empat not, do-re-mi-fa); do-sol; do-la; do-si; dan do-do (do kedua lebih tinggi sejauh delapan nada dari not do pertama). Selain itu, ada interval yang berjarak lebih jauh dari satu oktaf, seperti interval ke-9 (do-re dengan re titik satu di atasnya), interval ke-10 (do-mi dengan mi titik satu di atasnya), interval ke-11 (do-fa dengan fa titik satu di atasnya), dan interval lain yang lebih jauh jaraknya.



Interval yang berdasarkan dua not dengan tingginada yang sama – jadi, bunyi musikalnya sama – ada juga. Karena melibatkan satu nada saja, ia disebut interval kesatu, seperti do-do, re-re, mi-mi, fa-fa, sol-sol, dan seterusnya.


Ciri interval bergantung juga pada tangganada. Contoh-contoh interval tadi berasal dari suatu tangganada Barat yang sangat lazim dipakai untuk menciptakan lagu: tangganada diatonik mayor. Urutan notnya dari yang paling rendah ke yang paling tinggi sejauh satu oktaf – delapan nada – adalah do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Anda bisa membunyikan urutan not ini dari yang paling rendah ke yang paling tinggi dan sebaliknya.


Semua contoh interval tadi yang berdasarkan tangganada diatonik mayor punya jarak nada. Nada-nada dalam tangganada ini adalah nada-nada pokok atau dasar. Setiap pasangan not yang paling berdekatan secara berjenjang punya jarak satunada (whole tone) kecuali jarak setengahnada (semitone) antara mi-fa dan si-do.


Karena tangganada diatonik mayor mengenal dua setengahnada, maka secara ilmu berhitung sederhana jarak nada antara pasangan not lain yang punya satunada bisa dibagi menjadi dua. Pasangan not do-re, re-mi, fa-sol, sol-la, dan la-si yang masing-masing berisi satunada sebagai akibatnya dibagi menjadi setengahnada. Timbullah suatu tangganada baru yang di dalamnya setiap pasangan not tadi diperkecil jaraknya menjadi setengahnada dan menghasilkan jaraknada yang sama antara semua pasangan not yang baru.


Tangganada baru berdasarkan hasil pembagian satunada menjadi setengahnada ini disebut tangganada kromatik. Dari yang paling rendah ke yang paling tinggi, urutan notnya demikian: 1-#1-2-#2-3-4-#4-5-#5-6-#6-7-1. Tanda kres (#) menaikkan not di sebelah kiri kres sejauh setengahnada. Ketika dinyanyikan, not-not yang diberi tanda # berbunyi – dari yang paling rendah ke yang paling tinggi – do-di-re-ri-mi-fa-fi-sol-se-la-li-si-do. Tapi kalau dibunyikan dari not do yang paling tinggi ke yang paling rendah, cara menulisnya berbeda: 1-7-b7-6-b6-5-b5-4-3-b3-2-b-1. Tanda mol (b) menurunkan not di sebelah kiri sejauh setengahnada juga. Urutan not ini dibunyikan sebagai do-si-sa-la-lu-sol-su-fa-mi-mu-re-ru-do.


Secara praktis, bunyi setengahnada pada posisi naik dan turun dari tangganada kromatik sama: di sama bunyinya dengan ru, ri sama bunyinya dengan mu, fi sama bunyinya dengan su dan seterusnya. Karena sama bunyinya, nada-nada ini disebut nada-nada enharmonik.


Tangganada diatonik mayor lazimnya dipakai untuk menciptakan lagu-lagu yang bersuasana gembira, ceria, cerah – pendek kata, lagu-lagu yang bersuasana optimistik. Tangganada kromatik memberi warna-warna halus pada suatu ciptaan musikal. Ada juga lagu-lagu yang, meskipun memakai tangganada diatonik mayor, bersuasana sedih. Coba dengarkan beberapa lagu rakyat atau lagu pop klasik dari Ambon/Maluku yang boleh dikatakan memakai tangganada diatonik mayor dan dinyanyikan dengan tempo lambat, seperti “lagu tanah” (lagu rakyat asli) asal Ambon berjudul “Nusaniwe” atau lagu pop Ambon tahun 1980-an berjudul “Sioh, Mamae.” Ada yang begitu tersentuh hatinya oleh suasana melodi dan kata kedua lagu ini sampai menangis.


Pola ritme khas suatu melodi dibentuk oleh kombinasi khusus berbagai interval tadi. Dalam musik vokal (gabungan nyanyian dan musik iringan), pola ritme ini dipengaruhi ritme dan makna liriknya. Not-not yang ditahan – misalnya, selama dua sampai dengan empat ketukan alam jenis birama 4/4 (1 . . . ) – cocok untuk menekankan pesan lirik yang penting, seperti judul suatu lagu. Pasangan atau rangkaian not yang bergerak cepat karena memakai satu garis penghubung di atasnya), kombinasi satu dan dua garis penghubung di atas tiga not, atau dua garis penghubung di atas empat not cocok untuk lagu-lagu yang bersifat cakap (conversational). Pola ritme yang ditandai oleh berbagai garis penghubung not-not bernilai kecil mengungkapkan suasana kegiatan yang membutuhkan energi tinggi seperti kesibukan pekerjaan, kehidupan yang terburu-buru, pertandingan olahraga seperti sepak bola, bahkan keadaan kacaubalau atau perang.


Ada lagi suatu teknik menyatukan berbagai not untuk membentuk pola ritme lain. Tiga not disatukan oleh satu garis penghubung di atasnya, ditambah tulisan angka 3. Ini disebut triul pendek dan dalam lagu berjenis birama 4/4, triul pendek dihitung sebagai satu ketukan. Ada juga empat not yang dihubungkan satu garis dan ditambah tulisan angka 4 di atasnya; ini disebut kuartol dan dihitung juga dalam jenis birama tadi sebagai satu ketukan. Rangkaian lima dan enam not yang masing-masing disatukan oleh satu garis penghubung di atasnya dengan tulisan 5 dan 6 disebut kuintol dan sekstol masing-masing dihitung juga sebagai satu ketukan dalam jenis birama tadi.


Contoh berikut berisi semua kombinasi khusus interval tadi demikian:

Dalam musik pop dunia, pola ritme khas melodi bisa menunjukkan asal dan bahkan bisa menaikkan “nilai jual” lagu. Bandingkan, misalnya, musik pop khas Eropa daratan, Inggris, dan Amerika Serikat yang memakai irama seperti wals, country, dan rock ‘n roll dengan musik pop khas Karibia seperti reggae dari Yamaika dan bolero dari Kuba dan juga dengan musik pop khas Amerika Latin seperti samba dan salsa. Anda akan mendengarkan pola ritme khas yang barangkali sulit Anda jelaskan dari berbagai kawasan tadi tapi yang sangat Anda rasakan – dan suka sekali sehingga Anda beli kaset atau CD-nya. Pola ritme ini dipengaruhi di antaranya oleh ritme dan makna lirik dan juga oleh gabungan khas berbagai macam interval dengan berbagai nilai not.



Pola ritme hasil kombinasi berbagai interval dengan berbagai nilainya bisa menghasilkan berbagai suasana hati. Kombinasi interval berjarak kecil dan agak kecil seperti interval ke-1, ke-2, dan ke-3 menghasilkan lagu yang bersuasana dari tenang sampai agak tenang. Kombinasi interval ke-4, ke-5, ke-6, dan di atasnya menghasilkan suasana dasar yang dramatik, menonjol. Urutan not bisa dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi atau sebaliknya.



Masih ada lagi satu jenis tangganada Barat yang lazimnya dipakai untuk menciptakan lagu-lagu bersuasana sayu, sedih, murung, merenung – pendek kata, lagu yang bersuasana introspektif. Itulah tangganada minor. Yang sering dipakai adalah tangganada minor naturel. Urutan notnya dari yang paling rendah ke yang paling tinggi demikian: la-si-do-re-mi-fa-sol-la. Tangganada ini bisa Anda bunyikan secara naik-turun.

Tapi ada juga lagu-lagu yang suasananya gembira meski memakai not-not minor. Beberapa lagu religius dari Israel dan lagu dangdut Indonesia yang bersuana ceria malah dibawakan dengan memakai not-not minor. Ini bukan kelaziman.



Entah tangganada diatonik, kromatik, atau minor naturel, melodi yang diciptakan berdasarkan salah satu dari antaranya punya ciri-ciri umum tertentu. Ciri-ciri apa itu?



Pertama, melodi itu dibentuk oleh suatu gagasan inti yang disebut motif melodi. Ini ibarat tiang utama suatu rumah. Dari tiang utama ini, pencipta – seperti seorang arsitek bangunan – mengembangkan rumah itu dengan menambah tiang lain, kerangka, dinding, atap, penghalusan, pengecatan dinding, penambahan ornamen, dan rincian-rincian konstruksi lain sampai rumah itu tampak keren – sama sekali berbeda dengan kali pertama ia dimulai dengan tiang utama. Pada komposisi melodi Barat, motifnya biasanya ada di awal lagu sebanyak satu sampai sekitar dua birama dan bisa diulang-ulangi – dengan memakai not yang sama atau berbeda – pada bagian lain dalam melodi.



Beberapa contoh penjelasan. Motif melodi atau gagasan inti lagu Natal “Malam Kudus” ada di awal lagu ketika jemaat menyanyi “Malam kudus, sunyi senyap.” Gagasan inti Yamko Rambe Yamko ada di awal lagu tempat orang menyanyi “Hei, yamko rambe yamko arunawa kombe.” Lagu G. F. Handel yang terkenal dan dinyanyikan dalam perayaan kebangkitan Yesus dan bahkan Natal “Haleluya Handel” punya motif melodi di awal lagu tempat koor menyanyi “Haleluya!” lalu mengulangi motif itu beberapa kali dalam lagu untuk koor gereja yang hebat ini.
Kedua, suatu melodi diciptakan melalui kombinasi not-not berbagai nilai dengan waktu istirahat tertentu di antara not-not itu. Not yang ditahan selama beberapa ketukan digabung dengan not yang berlangsung selama satu ketukan, setengah ketukan, seperempat ketukan, seperenam belas ketukan, dan seterusnya. Tanda istirahat biasanya muncul pada not yang ditahan yang bisa diikuti tanda koma atau tanda diam. Dalam notasi angka, tanda diam ditulis dengan memakai angka nol (0). Melodi tanpa waktu istirahat akan melelahkan untuk didengar dan dinyanyikan.



Ketiga, suatu melodi diciptakan berdasarkan tangganada. Tangganada Barat yang paling lazim dipakai adalah tangganada diatonik mayor. Karena ada tujuh not pokok dalam tangganada ini, maka ada juga tujuh kunci atau nada dasar. Kunci ini ditulis dengan memakai abjad. Padanannya dengan not angka demikian: C (do), D (re), E (mi), F( fa), G (sol), A (la), dan B (si). Tangganada Barat kedua yang lazim dipakai adalah tangganada minor naturel: A-B-C-D-E-F-G. Kedua jenis tangganada paling populer ini berdasarkan tangganada diatonik mayor C.



Keempat, suatu melodi bisa memakai not-not akordal atau gabungan not-not akordal dan non-akordal. Untuk memahami pernyataan ini, kita memakai susunan not akordal dari tiga not – disebut triad – dalam tangganada C mayor. Ambil saja, misalnya, akord C (1-3-5), F (4-6-1), dan G (5-7-2). Ketiga jenis triad ini bisa Anda balikkan urutannya, masing-masing sebanyak dua kali. Balikan pertama mulai dari not kedua dari bawah; Anda memperoleh balikan pertama: 3-5-1 (C), 6-1-4 (F), dan 7-2-5 (G). Untuk balikan kedua, Anda mulai dengan not paling atas dari susunan awal: 5-1-3 (C), 1-4-6 (F), dan 2-5-7 (G). Melodi apa pun yang memakai berbagai kombinasi triad ini, yaitu, susunan awal dan kedua balikannya, disebut bersifat akordal. Melodi akordal ini memakai kombinasi interval ke-3, yaitu, 1-3, 4-6, dan 5-7 dan interval ke-4: 5-1, 1-4, dan 2-5. Kombinasi interval ke-3 dan ke-4 menimbulkan suasana hati yang dramatik. Untuk memberi variasi pada not-not akordal ini, pencipta bisa menyisipkan not-not tertentu yang disebut not-not sisipan. Not-not ini umumnya membentuk interval kedua dengan not di kiri-kanan yang mengapitnya. Dalam urutan akordal 1-3-5, 4-6-, dan 5-7-2, misalnya, pencipta bisa menyisipkan not-not di luar ketiga macam triad ini demikian: 1-2-3-4-5 (C), 4-5-6-7-1 (F). dan 5-6-7-1-2 G). Not-not nonakordal dalam akord C adalah 2 dan 4, dalam akord F 5 dan 7, dan dalam akord G 6 dan 1. Penyisipan not-not akordal ini berfungsi untuk memuluskan gerak melodi dan sekaligus memberi efek-efek musikal tertentu. Pemain gitar bas yang menghias not-not akordalnya dengan not-not sisipan akan membuat jalur melodik yang dipetiknya menjadi lentur dan menawan untuk didengar.



Kelima, melodi bisa menempuh berbagai gerak. Ia bisa mulai dengan not yang tinggi lalu menurun dan berakhir dengan not yang rendah. Banyak melodi tradisional di Papua memakai gerak ini. “Yamko Rambe Yamko”, misalnya, mulai dengan not paling tinggi di awal lagu (yaitu, not do titik satu di atasnya) lalu berakhir dengan not paling rendah, sejauh satu oktaf (yaitu, not do tanpa titik di atas atau di bawahnya). Ia bisa juga mulai dengan not yang paling rendah dan berakhir dengan not yang paling tinggi. Lagu pop Barat terkenal oleh Billy Joel, “My Way” memakai teknik ini. Awal lagu mulai dengan not sol satu titik di bawahnya dan berakhir dengan rangkaian not si-do-re-re-do – dengan re (satu titik di atasnya) sebagai not paling tinggi. Klimaks lagu dicapai di akhir yang tinggi itu. Gerak melodi lain bisa merupakan berbagai variasi dari kedua gerak tadi. Ada gerak melodi seperti orang turun-naik bukit; notnya rendah kalau orang ada di lembah, meninggi kalau ada di puncak bukit, menurun kalau orang turun lereng, rendah-tinggi berulang-ulang kalau orang naik-turun bukit berulang-ulang, lalu menjadi paling tinggi kalau orang mendaki puncak tertinggi bukit itu lalu turun lagi ke lembah dan istirahat di sana. Itulah gerak khas lagu “Oh, Danny Boy” yang era 1960-an dipopulerkan penyanyi bersuara bariton-bass yang menawan, Jim Reeves.



Keenam, melodi bisa bergerak memakai satu atau beberapa nada dasar dan satu atau beberapa jenis birama. Lagu, misalnya, tetap mermakai satu nada dasar seperti C atau dimulai dengan nada dasar C mayor lalu berubah di tengah jalan menjadi E mayor lalu kembali lagi ke C mayor sebelum berakhir. Lagu bisa juga memakai satu jenis birama seperti 4/4 atau bisa juga berganti jenis birama; ia mulai dengan 4/4 lalu berubah menjadi 2/4 di tengah gerak majunya dan kembali lagi ke 4/4. Jelas ada variasi dalam gerak melodi itu.



Ketujuh, karena pengaruh musik etnik atau tradisional, ada jenis melodi yang diciptakan berdasarkan tangganada ini. Yang lazim adalah tangganada pentatonik, tangganada yang memakai lima urutan nada atau not yang berbeda. Salah satu bentuk tangganada pentatonik yang tersebar luas di dunia memakai urutan not do-re-mi-sol-la (dalam tangganada C mayor). Dalam musik tradisional atau gereja di Barat, tangganada ini – tanpa not fa dan si – mendasari lagu pergantian tahun baru “Auld Lang Syne”; lagu gereja “Amazing Grace”; lagu pop Amerika Serikat tahun 1980-an, “Kung Fu Fighting”, dan lagu-lagu gospel orang Amerika hitam seperti “Swing Low Sweet Chariot”, “Joshua Fit the Battle of Jericho”, dan “Nobody Knows the Troubles I’ve Seen.” Tangganada pentatonik jenis ini ada dalam musik tradisional Papua, Korea, China, Batak, Jawa, Sunda, dan Bali. Bahkan musik pop modern dari Korea Selatan dan Mandarin (China) memakai tangganada pentatonik ini dalam lagu-lagu pop tertentu. Di Jawa tangganada ini disebut laras slendro dan muncul dalam lagu-lagu rakyat, seperti “Lir Ilir”.



Tangganada pentatonik ini dipakai juga oleh para musikus Kristen di Indonesia untuk menciptakan berbagai lagu gereja. Dalam buku nyanyian Kidung Jemaat, ia mendasari, misalnya, “Betapa Kita Tidak Bersyukur” karya Subronto Kusumo Atmodjo dan “Gembala Baik Bersuling nan Merdu” ciptaan C. Akwan. Ia juga mendasari, umpamanya, “Semua yang Tercipta” gubahan M. Karatem dalam Nyanyikanlah Kidung Baru, sebuah buku nyanyian jemaat yang dipakai oleh Gereja Kristen Indonesia (GKI).



Jenis tangganada pentantonik lain yang muncul khusus dalam musik gamelan di Jawa adalah pelog. Salah satu jenis pelog yang sering muncul memakai urutan not do-mi-fa-sol-si.
Tangganada ini sudah mendasari ciptaan berbagai nyanyian jemaat Kristen di Indonesia. Subronto Kusumo Atmodjo menciptakan berdasarkan pelog ini “Roh Kudus Turunlah” dan “Puji Allah Pencipta” dalam Kidung Jemaat; buku nyanyian jemaat Kristen yang sama berisi “SabdaMu Abadi” yang juga memakai pelog ini ciptaan Romo (Pater) Soetanta S.J. Pendeta Dr. Sutarno, mantan rektor Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah, menciptakan berdasarkan pelog ini “Ya Tuhanku, Kasihanilah Daku” dan “Amin, Haleluya!” dalam Nyanyikanlah Kidung Baru.



Kedelapan, melodi – terutama yang dinyanyikan – diciptakan dalam jangkauan tertentu. Untuk nyanyian bersama, jangkauan nada paling rendah dan paling tinggi dibuat rata-rata. Kalau lagunya berisi not yang terlalu rendah, suara tinggi seperti sopran dan tenor akan kesulitan menyanyikannya dengan mantap. Kalau lagunya berisi not yang terlalu tinggi, suara rendah seperti alto dan bas akan kesulitan juga menyanyikannya dengan mantap. Untuk nyanyi solo, jangkauan not melodi disesuaikan dengan setiap jenis suara - seperti sopran, alto, tenor, atau bas – dan luasnya jangkauan nada yang bisa dia capai secara mantap (tidak dipaksakan).



Beberapa contoh lagu-lagu dengan berbagai jangkauan suara. Huembello, suatu lagu rakyat Sorong yang dipopulerkan di dalam dan di luar Indonesia oleh ben the Black Brothers era 1970-an/1980-an, memakai jangkauan nada yang sangat terbatas. Ada hanya empat urutan nada berdasarkan suatu tangganada tradisional Papua empat nada: sol-sa-do-ri (5-b7-1-#2). Tangganada ini – sampai batas tertentu – mengingatkan kita pada musik blues orang Amerika hitam. Diru-Diru Nina, lagu tradisional Papua lain yang dimainkan ben yang sama dengan irama reggae, punya jangkauan not yang agak sempit karena memakai lima urutan not saja pada melodi utama, yaitu, suara satu: do-re-mi-sol-la. Urutan not ini sekaligus adalah suatu contoh tangganada pentatonik. Lagu Apuse yang diciptakan berdasarkan tangganada diatonik mayor tanpa not la (tersirat di dalam melodinya) memakai jangkauan not satu oktaf: sol-si-do-re-mi-fa-sol. Sajojo yang juga dipopulerkan pertama kali di Indonesia oleh the Black Brothers punya jangkauan yang cukup luas; ia memakai urutan sembilan not dengan perulangan sol-la-do satu oktaf lebih tinggi: sol-la-do-re-mi- fa-sol-la-do. “Malam Kudus” memakai urutan sebelas not diatonik mayor: do-re-mi-fa-sol-la-si-do-re-mi-fa. Lagu-lagu dengan jangkauan suara yang berbeda-beda ini bisa dinyanyikan secara solo atau berkelompok.



Kesembilan, melodi-melodi modern yang dipengaruhi musik Barat entah pop entah klasik mengikuti bentuk-bentuk tertentu. Ada bentuk yang disebut “bentuk strofik”. Secara sederhana, suatu nyanyian berbentuk strofik mengulangi – secara sama atau hampir sama – setiap bait liriknya. Lagu Apuse, misalnya, punya satu bait lirik. Ia terdiri dari dua bagian: melodi utama dan buntutnya yang memakai kata-kata “Arafa bye auswara kwar.” Seandainya lagu rakyat ini punya tiga bait pada melodi utamanya, ketiga-ketiganya akan dinyanyikan persis sama lalu diakhiri dengan buntutnya. Ini suatu contok lagu berbentuk strofik.



Contoh strofik lain berisi perulangan bagian-bagian tertentu dari melodi dan sering lirik. Lagu Yamko Rambe Yamko, misalnya, berisi perulangan bagian-bagian. Dalam lagu pertama, ada dua frasa yang diulangi sekali lagi: “Hei, yamko rambe yamko arunawa kombe” dan “Temino kibi kuba muko bumbeko yuma nobungo awe ade.” Perulangan seperti ini ada juga dalam lagu Diru-Diru Nina.



Bentuk sebaliknya disebut lagu non-strofik. Dalam jenis lagu ini, musik bergerak terus, tidak mengulang-ulangi bagian-bagiannya atau dirinya.



Kesepuluh, suatu melodi punya suatu nada dasar dan tempo atau tingkat kecepatan membawakan melodi itu. Pada notasi angka, nada dasar ditulis di antaranya sebagai do=c, do=g, do=bes, dan lain-lain. Temponya ditulis dengan memakai semacam singkatan baku seperti q = 100 atau MM = 100. Artinya, lagu yang dibawakan berlangsung selama 100 ketukan per menit. Kepanjangan singkatan MM adalah Maelzel’s Metronome. Metronom adalah suatu alat penemuan Winkel, seorang Belanda, beberapa abad yang lalu dan dipakai untuk menghitung tempo lagu. Tapi hasil penemuan Winkel lalu dicuri Maelzel, seorang Perancis, dan sejak itu dipatenkan atas namanya.



Kesebelas, untuk kepentingan analisis melodi, para ahli menemukan cara untuk meringkaskan not-not yang begitu banyak dalam melodi menjadi not-not intinya dan model geraknya. Teknik ini disebut skema bentuk melodi. Skema ini dipengaruhi jenis tangganada yang dipakai.
Dalam notasi balok, not inti yang merupakan not akordal dicetak dengan not berkepala putih sementara not sisipan atau not nonakordal dicetak dengan not berkepala hitam. Untuk memudahkan pemahaman Anda, saya akan menggantikan not berkepala putih dengan not angka, yaitu, suatu not angka diikuti satu titik, seperti 1 . dan 2 (re) tanpa titik di belakangnya untuk not balok berkepala hitam.



Ambil, misalnya, Apuse sebagai suatu contoh penjelasan. Lagu rakyat 4/4 ini memakai tangganada diatonik mayor tanpa not la. Untuk mempermudah pemahaman Anda, saya akan memakai kunci C mayor untuk menjelaskan semua contoh lagu dalam tulisan ini dan kata-kata disertai akord dasarnya dalam kunci tadi.


Dalam posisi tanpa balikan, apa susunan setiap akord dasar tadi? C terdiri dari 1-3-5, G 5-7-2, G7 5-7-2-4, dan F 4-6-1.
Not sisipan (mi) untuk akord G7 terdapat dalam suku kata “kon-“ dari kata “kukondao” dan “ki-“ dari kata “bekipase”. Untuk akord C, not nonakordalnya terdapat pada suku kata “-ren” (kena not re) dan “re-“ (kena not fa) dari frasa “Soren Doreri”. Not nonakordal untuk akord F (yaitu sol) ada pada suku kata “ni-“ dari “baninema” dan “a-“ dari “Arafa”.


Lagu dimulai dengan not sol titik satu di bawahnya, sekaligus sebagai not paling rendah. Dalam gerak majunya, not sol dipakai lebih dari sekali: sol titik satu di bawahnya dipakai 5 kali sementara sol tanpa titik di atas atau di bawahnya dipakai satu kali. Not si satu titilk di bawah dipakai dua kali. Not do dipakai 4 kali.Not re dan mi masing-masing dipakai 8 kali. Not fa dipakai 4 kali.


Untuk meringkaskan melodi “Apuse” supaya memahami “sokoguru” atau “tiang utama” bangunan melodinya, para ahli musik memilih satu not saja dari semua bentuk not yang sama yang dipakai dalam lagu rakyat tadi. Mereka memilih not inti dari awal ke akhir lagu dan menyusunnya secara bertangga, meninggi atau menurun sesuai arah gerak melodi. Semua not akordal punya dua ketukan, semua not nonakordal punya satu ketukan. Jadi, nada inti atau not inti yang menjadi “sokoguru” melodi “Apuse” berjangkauan satu oktaf – delapan nada dengan not la tersirat – ini demikian:

5 . 7 . 1 . 2 . 2 3 4 . 4 5 .

Analisis inti bangunan melodi seperti ini akan Anda temukan berkali-kali ketika kita membicarakan hasil penelitian Dr. Jaap (dibaca “Yaap”) Kunst tentang musik tradisional di Papua. Dengan memahami struktur dasarnya, Anda dipermudah untuk mengembangkannya menjadi melodi khas Papua dengan memadukannya secara apik dengan unsur-unsur musik modern.

Harmoni


Secara sederhana, harmoni adalah struktur akord. Penjelasan tentang akord lebih mudah dipahami melalui susunan tiga notnya berdasarkan kombinasi interval tertentu; susunan macam ini disebut “triad”. Yang akan dipakai sebagai contoh penjelasan pun akord-akord dasar. Semua triad dibentuk – dari not paling rendah ke not paling tinggi – oleh dua macam interval: interval ke-3 dan interval ke-4. Triad C, misalnya, dibentuk masing-masing oleh interval ke-3, yaitu, 1-3 dan 3-5. Ketika mengalami balikan kesatu, urutan notnya menjadi 3-5-1 yang dibentuk sekarang oleh interval ke-3 (3-5) dan ke-4 (5-1). Anda bisa menemukan aturan yang sama ketika menguraikan interval akord-akord dasar lain, yaitu, F dan G – semuanya dalam tangganada C mayor. Tangganada minor naturel yang dibentuk dari tangganada C mayor memakai triad minor seperti Am (6-1-3), Dm (2-4-6), dan Em (3-5-7). Setiap triad minor ini dibentuk oleh gabungan dua interval ke-3. Balikkan triad Dm, misalnya, menjadi 4-6-2 dan Anda menemukan gabungan interval ke-3 (4-6) dan ke-4 (6-2). Akord-akord minor tadi adalah juga bagian dari tangganada diatonik C mayor.


Akord-akord mayor – seperti C, F, dan G – umumnya dipakai untuk mengungkapkan suasana “terang”, “cerah”, bahagia – pendek kata, suasana optimistik. Akord-akord minor – seperti Am, Dm, dan Em – umumnya dipakai untuk mengungkapkan suasana hati yang sedih, muram, gelap, sayu, parah – pendek kata, suasana introspektif. Dalam musik vokal, kedua macam suasana ini ditentukan oleh makna lirik dan bentuk melodi yang disesuaikan dengan makna lirik.
Selain struktur akord, harmoni mencakup juga apa yang diistilahkan “voicing”. Ini adalah pilihan dari not-not akord yang ingin Anda mainkan atau nyanyikan. Suatu akord yang lengkap lebih luas jangkauan notnya dari bentuk triadnya. Ambil akord C lagi sebagai contoh penjelasan. Di atas triadnya ada C6 (1-3-5-6), CM7 (1-3-5-7), C7 (1-3-5-b7), C9 (1-3-5-b7-2), C11 (-3-5-b7-2-4), C13 (1-3-5-b7-2-4-6). Kalau akord ini ditambah angka-angka tertentu di belakangnya, susunan notnya makin bervariasi: Cadd9 (1-3-5-2), C+(1-3-#5-1), C6/9 (3-6-2-5-1-3), C7sus (1-4-5-b7), Co7 (b3-6-1-b5), C7#5 (3-b7-3-#-1-3), C7b5 (3-b7-1-b5), C7#9 (1-3-b7-#2), C7b9 (1-3-5-b7-b2), C7#5b9 (3-b-3-#5-b2-3, dan lain-lain. Ketika Anda ingin membuat duet, Anda hanya akan memakai dua dari sekian not dalam susunan berbagai jenis akord C tadi; Anda tidak mungkin memakai lebih dari dua. Kalau melodi utama adalah suara sopran dan melodi “pewarna” adalah suara tenor, maka susunan not sopran-tenor tentu bergantung pada suara utama. Kalau suara utama memakai mi, misalnya, suara pewarna memakai sol. Anda lalu memilih dua dari sekian not dalam akord C yang begitu banyak variasinya. Teknik yang sama Anda pakai untuk membentuk trio – paduan suara dari tiga suara; triad pun Anda pakai untuk memainkan organ dan, karena itu, Anda harus memilih tiga dari sekian not pada akord-akord C tadi. Gitar enam senar yang Anda mainkan tidak mungkin memainkan kombinasi not lebih dari enam, seperti C13. Sesuai setelan gitar dan aturan yang berlaku, Anda harus memilih enam dari 7 not dalam akord ini. Pilihan not-not akordal yang Anda buat demi nyanyian atau iringan disebut voicing.


Harmoni adalah suatu konsep musikal khas Barat. Ia tidak ditemukan dalam musik tradisional di Papua. Yang sering ditemukan oleh penelitian Kunst adalah nyanyi sama-sama memakai satu suara – disebut nyanyi dalam bentuk unison. Kalau terdengar suara lain yang mirip harmoni atau paduan suara, kombinasi berbagai suara ini tidak mengikuti aturan harmoni Barat.

Ritme


Ritme dalam bentuk notasi musikal – rangkaian not balok atau not angka – menghidupkan makna kata-kata suatu lagu. Perasaan ritme karena itu harus sejalan dengan perasaan kata-kata. Ritme bahkan menghidupkan lirik.


Secara praktis, ritme dalam bentuk notasi musikal diperkuat daya pikatnya oleh iringan musikal. Dalam musik pop modern, iringan musikal ini disebut irama, style, idiom, corak, tradisi. Anda yang terbiasa memainkan keyboard Yamaha PSR 3000 akan menemukan berbagai irama ini pada tulisan Styles di bagian atas keyboard. Anda akan menemukan tombol dengan tulisan Ballad yang berisi Classical Piano Ballad dan tombol Hard Rock. Setiap style dilengkapi empat macam tombol variasi yang disebut fill.


Pilihan berbagai irama musik pop modern pada keyboard ini Anda sesuaikan dengan jiwa lagu. Suatu lagu yang memenuhi syarat harus menunjukkan keserasian atau semacam “kerjasama” antara lirik dan melodi; artinya, bentuk lirik harus disesuaikan dengan ritme dan makna lirik. Kalau suatu pesan lirik menimbulkan suasana lembut (mellow) dan melodi mendukungnya, ritme atau style yang mendukung kedua-duanya pun harus lembut. Jenis-jenis ballad yang lembut pada keyboard Yamaha tadi cocok untuk mengungkapkan pesan dan melodi yang lembut. Kalau pesan liriknya dan melodi yang menunjangnya bersuasana romantik (suasana seperti mimpi indah atau seperti Anda sedang berada di Eden atau kebun bunga yang menimbulkan suasana mirip Eden), ritme iringannya pun romantik. Classical Pop Ballad pada keyboard tadi cocok untuk mengiringi lirik dan melodi yang romantik. Kalau pesannya keras, melodi dan iringannya pun keras. Hard Rock cocok untuk pesan dan melodi yang keras.


Penguatan suasana lagu melalui keserasian antara lirik, melodi, dan iringan adalah suatu aturan baku dalam menciptakan dan membawakan lagu modern. Aturan ini menjadi berantakan kalau terjadi konflik di antara ketiga-tiganya. Irama samba dan salsa yang energik menjadi loyo – tanpa energi extra joss – kalau Anda mainkan dengan irama yang rileks atau romantik. Idiomnya keliru. Sebaliknya, lirik tentang suasana damai di pedesaan menjadi tidak pas kalau melodinya bergerak lincah dan cepat dan iringan musiknya energik seperti disko, funky, atau heavy-metal rock. Supaya pas, lagu-lagu dibawakan sesuai iramanya yang khas, atmosfir, dan suasana dari makna liriknya.


Ritme tadi berkaitan dengan dinamika. Nyanyian apa pun membutuhkan energi, tenaga. Bahkan nyanyian yang tenang sekalipun membutuhkan intensitas, kepadatkentalan tenaga, untuk menghidupkannya. Ritme menolong menghidupkan musik.

Peleburan Semua Unsur Musik

Dalam musik modern, semua unsur musik tadi – umum dan khusus – harus dileburkan demi memperkuat suatu pesan utama dari nyanyian. Aturan umum yang berlaku demikian: Semua unsur nyanyian harus bekerja sama untuk mempertinggi perasaan dari makna pesan.


Salah satu penerapan aturan ini adalah penyelarasan tekanan melodik dengan tekanan kata. Sangat banyak lagu modern di Indonesia entah pop entah klasik mengabaikan asas keserasian ini – untuk berbagai alasan yang akan menjadi terlalu banyak untuk dijelaskan di sini. Yang bisa dikatakan adalah bahwa para pencipta lagu dan lirik dengan tekanan yang saling bertabrakan ini rupanya tidak atau belum memahami aturan tentang keserasian ini.


Suatu contoh yang dikutip sebagai contoh konflik antara tekanan melodik dan tekanan kata adalah lagu Burung Kakatua. Kalau bagian awalnya kita baca menurut logal Indonesia yang berlaku umum – seperti yang dipakai para penyiar televisi dan radio – kata-kata lagu ini harus dibaca demikian (dengan suku kata yang dicetak dengan huruf besar dibacakan lebih nyaring dari yang tidak dicetak demikian):

BU-rung KA-ka-TU-a HING-gap DI jen-DE-la.
NE-nek SU-dahTU-a, gi-gi-NYA TING-gal DU-a.


(Kata “gigiNYA” bisa juga ditekan pada suku katanya yang kedua: giGInya.)

Tapi apa yang kita dengar kalau kita baca tekanan kata sesuai tekanan melodiknya tidak pas sehingga menimbulkan efek jenaka.

Bu-RUNG ka-KA-tu-A hingGAP JEN-de-LA.
Ne-NEK su-DAH tu-A, gi-gi-NYA ting-GAL du-A.

Ini salah satu dari banyak lagu ciptaan di Indonesia yang berisi konflik antara tekanan kata dan melodik.


Salah satu dari sedikit lagu perjuangan Indonesia yang tekanan kata dan melodiknya sempurna adalah Maju Tak Gentar karya Cornel Simanjuntak. Sedikit dari buku nyanyian jemaat yang mematuhi secara ketat aturan umum tadi – termasuk, keserasian antara tekanan kata dan melodik – adalah Kidung Jemaat terbitan Yayasan Musik Gereja di Jakarta, Mazmur dan Nyanyian Rohani susunan I. S. Kijne, dan Nyanyikanlah Kidung Baru (sampai batas tertentu). Anda yang berminat bisa mempelajari keserasian unsur-unsur tadi dalam ketiga buku nyanyian ini.

Melodi, Lagu, dan Nyanyian

Sejauh ini, kata “melodi”, “lagu”, dan “nyanyian” dipakai berulang-ulang. Apa arti ketiga istilah ini? Melodi adalah suatu urutan not yang bervariasi dalam tingginada dan punya suatu bentuk musikal yang bisa dikenal. Singkat kata, melodi mencakup urutan not dan tingginada. Melodi berarti juga lagu atau nyanyian. Nyanyian adalah komposisi vokal pendek apa pun, entah diiringi musik entah tidak.


Dengan penjelasan tentang beberapa segi dasar-dasar ilmu musik Barat, Anda sekarang sudah dipermudah untuk memahami hasil penelitian Dr. Jaap Kunst tentang musik tradisional di Papua lebih baik. Sambil berjalan, saya akan menjelaskan istilah-istilah teknis lain kalau belum dicakup dalam bagian tulisan ini.



Read More....

5. Suling Tradisional di Nieuw Guinea

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Suling buluh sembilan lubang yang dipakai dalam suatu orkes suling – terutama, sepanjang pesisir utara, timurlaut, dan baratdaya Nieuw Guinea – bukanlah suling khas Papua. Ia barangkali diperkenalkan orang-orang Kristen Maluku kepada orang Kristen Papua di masa lampau.

Salah satu ujung suling ini diberi penutup sementara ujungnya yang lain terbuka. Dekat ujungnya yang tertutup, orang membor sebuah lubang bundar tempat bibir meniup not-not lagu sementara delapan lubang bundar lain dibor pada bagian lain – kira-kira di tengah buluh itu menuju ujung lainnya yang terbuka – untuk ke delapan jari peniup suling. Urutan satu oktaf dari tangganada diatonik mayor – do, re, mi,fa,sol, la, si, do tanpa setengahnada lain seperti ri, fis, sel, dan sa – bisa dihasilkan oleh jari-jari yang membuka dan menutup lubang-lubang tertentu.

Suatu orkes suling terdiri dari satu suling solo dari buluh ukuran kecil dan bersuara tinggi dan menembus (piercing), mirip pikolo. Suling ini memainkan melodi utama dan menjadi suling penuntun lagu-lagu yang dimainkan. Suling buluh lain yang berukuran sedang membentuk sopran, alto, dan tenor. Suling buluh berukuran besar membentuk bas. Tambur dan dan drum bas – lengkap dengan stiknya, biasanya semua dibuat sendiri – membentuk bagian perkusi dari suatu orkes suling lengkap, dimainkan oleh paling kurang 7 orang.

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Suling buluh sembilan lubang yang dipakai dalam suatu orkes suling – terutama, sepanjang pesisir utara, timurlaut, dan baratdaya Nieuw Guinea – bukanlah suling khas Papua. Ia barangkali diperkenalkan orang-orang Kristen Maluku kepada orang Kristen Papua sekitar awal abad ke-20.

Salah satu ujung suling ini diberi penutup sementara ujungnya yang lain terbuka. Dekat ujungnya yang tertutup, orang membor sebuah lubang bundar tempat bibir meniup not-not lagu sementara delapan lubang bundar lain dibor pada bagian lain – kira-kira di tengah buluh itu menuju ujung lainnya yang terbuka – untuk ke delapan jari peniup suling. Urutan satu oktaf dari tangganada diatonik mayor – do, re, mi,fa,sol, la, si, do tanpa setengahnada lain seperti ri, fis, sel, dan sa – bisa dihasilkan oleh jari-jari yang membuka dan menutup lubang-lubang tertentu.

Suatu orkes suling terdiri dari satu suling solo dari buluh ukuran kecil dan bersuara tinggi dan menembus (piercing), mirip pikolo. Suling ini memainkan melodi utama dan menjadi suling penuntun lagu-lagu yang dimainkan. Suling buluh lain yang berukuran sedang membentuk sopran, alto, dan tenor. Suling buluh berukuran besar membentuk bas. Tambur dan dan drum bas – lengkap dengan stiknya, biasanya semua dibuat sendiri – membentuk bagian perkusi dari suatu orkes suling lengkap, dimainkan oleh paling kurang 7 orang.

Tidak ada dalam sejarah suling tradisional Papua bentuk suling lubang sembilan macam ini. Jelas, suling ini dari budaya luar Papua.

Suling Tradisiolnal dan Nada Harmonik

Kalau begitu, seperti apa suling tradisional di Nieuw Guinea? Ada banyak macam suling yang dikenal di kawasan ini.

Tapi ada dua jenis yang lazim dipakai di pantai utara. Pertama, suling pemberi isyarat berukuran kecil yang dipakai di Witriwai dan Teluk Humboldt. Kedua, suling yang dipakai suku Saberi di timur Sungai Apauwar. Salah satu ujungnya terbuka dan sebagian ujung lainnya ditutup oleh buku yang dilubangi. Kedua jenis suling terakhir khas daerah itu.

Salah satu segi musikal yang ikut dicari pada pada alat musik tiup tradisional ini adalah apakah ia bisa menghasilkan nada-nada harmonik atau tidak. Secara sederhana, nada-nada harmonik adalah sejumlah nada yang menyertai bunyi nada utama. Nada-nada harmonik tidak sekuat nada utama, bahkan sering tidak terdengar.

Kalau do jadi nada utama, apa nada-nada harmoniknya? Bisa do satu oktaf di bawahnya, si titik satu di bawahnya, mi, sol, dan sa. Nada-nada harmonik ini menyertai nada utama – do – ketika do dimainkan melalui suling. Kalau Anda mendengarkan seseorang meniup not do yang panjang di suling buluh sambil mencoba mendengarkan juga nada-nada harmoniknya, Anda bisa saja mendengarkan bunyi ikutan pada not do sebagai nada utama. Bunyi ikutan ini bisa saja not do satu oktaf di bawahnya ditambah not mi dan sol. Tapi not-not ikutan lain seperti si titik satu di bawah, sa, lalu fa dan la, masing-masing bertitik satu di atasnya bisa saja tidak Anda dengarkan karena bunyinya terlalu halus.

Anda bisa melakukan suatu percobaan sederhana untuk membunyikan nada-nada harmonik. Cobalah bunyikan not do pada instrumen musikal yang menghasilkan nada yang ditahan lama seperti organ sembari memperkuat nada-nada harmonik – seperti do satu titik di bawah, si satu titik di bawahnya, mi, dan sol – secara melodik dengan dehamanmu. Lama-kelamaan Anda akan mendengarkan semacam suara duetmu bersama nada utama. Percobaan sederhana ini hanya untuk memperjelas nada-nada harmonik.

Tidak selaras

Kunst yang memperhatikan juga nada-nada harmonik yang dihasilkan musik suling tradisional membedakan dua ciri nada-nada ini: selaras atau tidak selaras. Maka, sebuah suling tradisional yang menghasilkan nada utama bisa menghasilkan nada-nada harmonik yang entah selaras entah tidak selaras.

Kedua jenis suling pertama yang sudah disebut dirinci G.A.J. van der Sande. Salah satu suling itu punya berbagai ukuran. Ia tipis, panjang, dan ditiup dari bagian atasnya; bagian bawahnya ditutup oleh buku. Cara pembuatannya ikut memengaruhi kualitas nada-nada harmoniknya. Nada utama yang dihasilkannya disertai nada-nada harmonik yang tidak selaras.

Selaras

Jenis suling yang lain punya bermacam-macam bentuk. Dibanding jenis pertama, ia lebih lebar dan lebih pendek. Di samping itu, ia punya lubang yang bundar, lonjong atau bersegi di tengah. Umumnya, lubang itu lebih dekat ujungnya yang tertutup daripada dekat ujungnya yang terbuka. Cara pembuatan suling ini bisa menghasilkan nada-nada harmonik yang selaras, tapi diameter yang besar dari buluh itu tampaknya menghalangi bunyi lebih dari satu nada tunggal.

Suling-suling yang dijelaskan tadi pendek dan tebal. Instrumen tiup ini lebih mudah dimainkan daripada suling-suling yang tipis dan panjang.

Suling-Suling Keramat

Suling-suling yang tipis dan panjang disebut “suling-suling keramat” karena ditiup hanya pada upacara-upacara keramat. Wanita dilarang melihat atau menonton suling-suling keramat ini atau mendengarkan peniupannya.

Begitu sulitnya memainkan suling-suling tadi sehingga tidak satupun orang Eropa, bahkan Dr. Kunst sekalipun, mampu meniupnya! Upaya Kunst bahkan berakhir dengan kegagalan yang – seperti katanya sendiri – memalukan.

Hanya lelaki Papua yang berbadan kekar, berdada bidang, dan matang sajalah yang mampu meniupnya. Karena membutuhkan energi sangat besar untuk meniupnya, mereka yang mampu membunyikan suling-suling keramat ini hanya bertahan dalam waktu singkat, cepat cape, dan bermandikan keringat. Van der Sande yang menyaksikan langsung permainan suling keramat berkomentar: “Jarang saya melihat seorang Papua berusaha lebih keras daripada menghasilkan musik kramat ini.”

Nada-nada musik suling buluh itu sudah diukur dengan sangat hati-hati dan cermat. Nada-nada harmonik manakah yang dibunyikan? Upaya untuk menetapkannya ternyata gagal, sebagian karena tingginada suling itu tidak berdasarkan teori tentang nada-nada harmonik dalam musik Barat.

Untuk suling keramat jenis pertama, yaitu yang berbuku, van der Sande menetapkan #C (do=di) sebagai nada dasarnya. Tapi dia menetapkan not A (la), C (do) dan E (mi) sebagai nada-nada harmoniknya; nada-nada ini tidak selaras.

Akord 9

Meskipun demikian, suatu bagian rekaman melodi yang dimainkan suling-suling itu menghasilkan empat nada yang bisa diapresiasi telinga musikal orang Eropa. Keempat nada itu terdengar manis dan lembut, mirip bunyi organ. Bukan itu saja. Keempat nada itu malah membentuk suatu akord sejati, akord ke-9 yang dibentuk oleh hanya empat nada. Ini kedengaran lazim bagi orang Barat dan sangat menyenangkan bagi mereka.

Dalam tangganada C mayor, akord ke-9 untuk C dibentuk oleh not do sebagai not paling rendah. Dengan naik secara bertangga dari not do, Anda menemukan re titik satu di atasnya sebagai not ke-9: do-re-mi-fa-sol-la-si-do-re. Sesuai aturan harmoni baku, C9 disusun dari rangkaian not do-mi-sol-sa-re, dengan re sebagai not paling tinggi.

Suling-suling keramat yang menghasilkan empat nada musikal itu memperdengarkan voicing suatu akord ke-9. Kalau ini suatu akord C9, ada sekurang-kurangnya dua macam voicing. Pertama, seleksi urutan nada do-mi-sol-sa; atau, kedua, seleksi urutan nada mi-sol-sa-re.

Apakah akord ke-9 empat nada itu sama dengan salah satu urutan tadi? Ternyata, Kunst mencatatnya – lihar “Notasi asli akord 9” – demikian:


Suatu padanan yang praktis untuk dinyanyikan bisa Anda lihat pada “Transposisi”.

Urutan not dalam tangganada diatonik C mayor ini ternyata adalah empat dari lima urutan nada akord F9#11 yang nada B atau si-nya tidak dipakai. Dari not paling rendah ke yang paling tinggi urutan lengkap akord 9 ini demikian:

1 b3 6 7 5 . Not B (7 atau si) yang tidak dipakai menyisakan empat urutan not:

1 b3 6 5 . Kalau disusun kembali, urutan yang dicatat Kunst ditemukan: 1 6 b3

5 (do la mu sol). Not setengah b3 (mu) yang sama bunyinya dengan #2 (ri) bisa juga ditulis sebagai #2. (Lihat “Akord 9 dan Akord F9#11”.)

Tempo yang berubah-ubah

Selain akord ke-9 ini, Kunst juga mencatat kecepatan atau tempo lagu berdasarkan jumlah nada yang dimainkan dalam satu menit. Kecepatannya adalah 60 nada per menit.

Rekaman lain menunjukkan perkembangan ciri-ciri melodi dan tempo yang berbeda-beda. Melodi mulai dengan suatu kekacauan bunyi yang samar-samar dan lembut, suatu bisikan merdu dalam nada-nada tinggi. Lagu yang dimainkan bergerak cepat, sekitar 240 nada per menit. Terdengar sesudah itu suatu gerak musikal yang sayu dan diulang-ulangi beberapa kali. Gerak ini mulai dengan tempo 148 nada per menit, meningkat menjadi 196 dan akhirnya menurun pada 148.

Lagu yang dimainkan dimulai dengan sepasang not titik dua di atasnya disusul pasangan not lain bertitik satu di atasnya. (Lihat “Notasi asli suara suling keramat”.) Supaya bisa dinyanyikan, urutan not melodi ini – dengan kedua not pertama bertitik satu di atasnya – diubah. (Lihat “Transposisi suara suling keramat”.)

Keempat nada ini dibunyikan melalui empat suling yang berbeda. Dua berukuran panjang dan dua berukuran pendek.

Sulit Dikembangkan

Suling-suling tradisional tadi, termasuk suling-suling keramat, tampaknya sulit untuk dikembangkan. Lubang yang sangat terbatas, kesulitan meniup suling keramat, hubungan suling keramat dengan kepercayaan kuno, dan keterbatasan lain menyulitkan pengembangan suling-suling itu menjadi modern.

Akan tetapi, perkiraan ini tidak dimaksudkan untuk menutup kemungkinan bagi musikus Papua atau dari mana saja yang berminat untuk mengembangkannya. Daya kreatif bisa mengubah kesulitan menjadi kemudahan penciptaan kembali alat musik lama.

Yang menurut bayangan saya bisa dikembangkan adalah melodi empat nada yang dihasilkan empat suling keramat tadi dan perubahan melodi, suasana, dan temponya. Dengan membayangkan keempat urutan nada ini sebagai suatu motif melodi, seorang musikus yang kaya imajinasi musikal dan ilmu musik Barat serta berbagai tekniknya bisa menciptakan suatu karya musikal modern yang masih berciri Papua.

Kemungkinan Pengembangan

Suatu perbandingan bisa dibuat dengan suling modern sembilan lubang. Sejak diperkenalkan pertama kali di Nieuw Guinea barangkali oleh orang Kristen Maluku sekitar awal abad ke-20, suling ini hanya bisa menghasilkan not-not diatonik, not-not tanpa setengahnada di luar mi-fa dan si-do, seperti ri, fis, sel, dan sa atau kebalikannya. Kalau Anda bisa memainkan suling modern ini, Anda membunyikan setiap not ini secara berurutan dengan menggeser bagian dalam jarimu untuk setiap not sementara menutup yang lain juga dengan bagian dalam jarimu.

Dengan membutuhkan sedikiit imajinasi, Anda bisa bertanya pada dirimu apa jadinya seandainya Anda membuka jarimu separuh saja? Anda pasti menghasilkan setengahnada yang tidak ada itu – ri, fis, sel, dan sa – pada setiap delapan lubang suling buluh modern! Silahkan mencobanya.

Anda bahkan bisa melakukan modulasi atau perpindahan kunci! Kalau suling disetem pada nada C (do=c), misalnya, dan suling itu bisa menghasilkan lebih dari 8 nada secara bertangga, seperti 11 nada, maka Anda pasti bisa pindah kunci dari C ke kunci lain, seperti G. Tapi lagu yang Anda mainkan pada kunci yang baru itu bisa saja terbatas pada satu oktaf. Silahkan coba.

Dengan memakai imajinasi musikal yang tidak rumit, Anda bisa mengembangkan suling buluh modern. Anda memperluas warna suaranya melalui penambahan setengahnada dan jangkauan melodiknya melalui perpindahan kunci.

Dari percobaan ini, Anda mengerti bahwa imajinasi musikal, daya cipta musikal, mampu mengubah apa yang sulit dan bahkan dipandang mustahil menjadi nyata. Realitas musikal bukan tembok kaku yang tidak bisa didobrak melalui kreativitas. Realitas ini seperti dunia “karet” dengan berbagai macam kelenturan kreatif dalam dimensi yang berbeda-beda.

Read More....

19 Mei 2008

2. Musik Vokal Suku Kauwerawet

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Suku Kauwerawet menghuni bagian pegunungan dekat tepi bagian hulu Sungai Mamberamo. Mereka disebut juga suku Takutameso. Kunst meneliti musik vokal dan instrumental suku ini.

Ada dua nyanyian yang direkam. Setiap lagu punya lebih dari satu versi dan masing-masing dinyanyikan oleh empat orang lelaki yang berbeda-beda.

Sesudah merekam kedua nyanyian ini dan versinya, Kunst dan koleganya menelitinya lebih lanjut. Mereka ingin tahu bagian manakah dari melodi-melodi ini yang bisa dipandang paling mendasar dan bagian manakah yang adalah variasi.
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Suku Kauwerawet menghuni bagian pegunungan dekat tepi bagian hulu Sungai Mamberamo. Mereka disebut juga suku Takutameso. Kunst meneliti musik vokal dan instrumental suku ini.

Ada dua nyanyian yang direkam. Setiap lagu punya lebih dari satu versi dan masing-masing dinyanyikan oleh empat orang lelaki yang berbeda-beda.

Sesudah merekam kedua nyanyian ini dan versinya, Kunst dan koleganya menelitinya lebih lanjut. Mereka ingin tahu bagian manakah dari melodi-melodi ini yang bisa dipandang paling mendasar dan bagian manakah yang adalah variasi.

Untuk itu, mereka meneliti berbagai unsur musik Kauwerawet. Nyanyian-nyanyian itu sangat pendek, setiap kali dinyanyikan dengan kata-kata yang berbeda-beda. Misalnya, salah satu nyanyian tadi memakai tiga macam syair yang masing-masing berbeda kata-katanya. Kalau ejaan kata-kata setiap lagu disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia masa kini, setiap syair demikian:

Versi pertama:

En-ce ma-ri-ri bo pi-ra-wa ri-ni-o
mak a ti bi-bi-dan.


Ada 18 suku kata, larik pertama 12 suku kata, larik kedua 6 suku kata.

Versi kedua:

A-na ma-u ki-tau ki-ta ta ra mau
sab-a-ta bu-nu ki-ta.

Ada 18 suku kata, larik pertama 11 suku kata, larik kedua 7 suku kata.

Versi ketiga:

En-ce bo-ya bo-ya, ko-bo ra-mak o so
tom a ko-ja sa-tu.

Ada 18 suku kata, larik pertama 12 suku kata, larik kedua 6 suku kata.

Meski jumlah suku kata nyanyian ini sama, kata-kata untuk setiap versi berbeda. Le Roux memberi terjemahan arti kata-kata versi pertama ketiga versi dari satu nyanyian ini. Tidak ada terjemahan untuk kedua versi lainnya. Jadi, kita tidak bisa menetapkan apakah setiap versi syair tadi adalah bait yang berbeda yang menopang satu pikiran pokok atau bait yang berdiri sendiri.

Terjemahan versi pertama salah satu nyanyian itu dimulai dengan kata-kata “Ence mariribo”. Ence, seorang pemburu burung, datang dari seberang laut. Dia dibunuh di pedalaman karena soal asmara.
.
Kemudian, naskah atau kata-kata lagunya bersifat strofik. Jadi, nyanyiannya diulang-ulangi.

Sementara itu, matranya agak bebas. Artinya, nyanyian ini agak bebas dari kendali satu jenis birama, seperti 4/4 atau 6/8. Ini mengingatkan kita pada lagulagu Gregorian dan mazmur-mazmur yang juga bebas dari pengaruh matra.

Selanjutnya, jumlah suku kata dalam suatu larik sangat bervariasi. Dalam ketiga versi syair satu nyanyian tadi, kita lihat bahwa jumlah suku kata dalam kedua larik versi pertama dan ketiga sama tapi jumlah suku kata larik pertama dan kedua dalam versi kedua agak berbeda. Pada contoh lain, variasi jumlah suku kata larik dari berbagai versi nyanyian lain berbeda. Variasi ini jelas memengaruhi ritme melodinya.

Untuk memahami perubahan ritme karena penambahan atau pengurangan jumlah suku kata larik suatu bait lebih jauh, kita akan menambah beberapa kata pada bait pertama lagu yosim-pancar (yospan) terkenal di Papua beberapa tahun yang lalu: Gara-Gara Janda Muda. Syair aslinya dan jumlah suku kata setiap larik demikian:

Ga-ra-ga-ra jan-da mu-da, 8 suku kata
ga-ra-ga-ra jan-da mu-da, 8 suku kata
ru-mah tang-ga ja-di ru-sak, 8 suku kata
ru-mah tang-ga ja-di ru-sak. 8 suku kata

Total ada 32 suku kata dalam lagu ini. Ini suatu nyanyian yang berisi simetri, keseimbangan, karena jumlah suku kata setiap larik sama. Pembagian jumlah suku kata ini menetapkan jenis ritme lagunya, yaitu, jenis dan pola kombinasi not yang dipakai.

Sekarang, syair ini kita ubah sedikit dengan memperbanyak secara tidak teratur jumlah suku kata setiap larik, seperti ini:

Ga-ra-ga-ra Yo-se-fi-na jan-da mu-da,12 suku kata
ga-ra-ga-ra jan-da si Yo-se-fi-na, 11 suku kata
Ru-mah tang-ga pa-ce ja-di ru-sak, 10 suku kata
ru-mah tang-ga-nya ja-di ru-sak. 9 suku kata

Sekarang, ada 42 suku kata yang membentuk lagu ini dengan jumlah suku kata yang tidak sama untuk setiap larik. Supaya penambahan kata yang menambah jumlah suku kata ini bisa dinyanyikan mengikuti melodi asli, penyanyi harus menambah not dengan nilai yang berbeda-beda pada melodi asli. Penambahan ini sekaligus mengubah pola ritme lagu yospan tadi.

Perluasan syair asli lagu yospan tadi memperjelas penemuan Kunst tentang jumlah suku kata yang sangat berrvarisi dari larik beberapa versi lagu suku Kauwerawet. Dari segi komposisi nyanyian modern, penambahan jumlah suku kata seperti ini sering dilakukan meski tidak persis seperti yang ada dalam musik tradisional suku Kauwerawet. Tapi penambahan jumlah suku kata dalam nyanyian modern tetap menopang satu gagasan pokok.

Ciri khas apa lagi yang ada pada musik suku Kauwerawet? Tiruan suara burung yang dijalin penyanyi ke dalam nyanyiannya. Ketika rekaman diadakan, tiruan kicauan burung oleh seorang penyanyi suku itu bukan saja terjalin ke dalam lagu itu melainkan juga enak didengar oleh para perekam. Pada saat rekaman, kokok ayam dan bunyi kwek-kwek alami di sekitar tempat rekaman malah ikut terekam dan membentuk suatu ritme “alami” dengan tiruan kicauan burung oleh seorang penyanyi. Komasa, salah seorang penyanyi, adalah ahli dalam meniru suara burung.

Meniru suara burung tidak hanya melalui suara manusia. Ini bisa juga ditiru melalui instrumen musik tradisional di kawasan lain di luar yang dihuni suku Kauwerawet, yaitu, di timurlaut Nieuw Guinea. G.A.J. van der Sande, seorang peneliti Belanda yang lain yang ikut dalam suatu ekspedisi ke Nieuw Guinea awal abad ke-20, mengamati pada penduduk pesisir di Teluk Humboldt keahlian mereka meniru suara burung melalui suling keramatnya. Ini bukan suling sembilan lubang yang dipakai dalam suatu orkes suling modern, seperti dalam ibadah gereja. Suling ini barangkali berasal dari pengaruh orang Maluku Kristen yang membawanya ke Nieuw Guinea dan sejak itu menjadi tradisi musikal di antara orang Papua Kristen. Suling keramat yang dilihat van der Sande dibuat dari seruas buluh yang panjang. Salah satu ujungnya berlubang dengan bundaran dibelah membentuk semacam huruf U; bagian yang dekat dengan ujung ini diberi berbagai motif. Suling ini keramat karena dipakai hanya pada upacara-upacara keramat menurut tradisi.

Mengapa suara burung ditiru dalam musik tradisional penduduk timurlaut Nieuw Guinea dan suku Kawerawet? Van der Sande menduga burung-burung yang suaranya ditiru peniup suling keramat di Teluk Humboldt adalah suatu bagian dari kepercayaan religius sesuai tradisi pra-Kristen mereka. Berdasarkan dugaan van der Sande, Dr. Jaap Kunst menduga juga bahwa tiruan suara burung dalam nyanyian suku Kauwerawet berasal dari agama tradisionalnya.

Teknik meniru suara hewan dalam nyanyian tradisional di Papua diamati juga pada para penyanyi suku Pesechem. Mereka tinggal di lereng pegunungan Jayawijaya bagian selatan masa kini. Tapi menurut Kunst, suara-suara hewan yang mereka jalin dalam nyanyiannya berfungsi sebagai hiasan-hiasan musikal.

Meniru suara hewan ternyata menjadi suatu teknik nyanyi yang dipakai dalam musik komersial abad ke-20. Teknik ini kentara dalam suara parau seorang peniup trompet dan penyanyi jazz Amerika hitam tenar abad ke-20: Louis Amstrong. Dalam beberapa nyanyiannya (seperti “Hello, Dolly”), dia meniru suara mirip geraman anjing atau serigala – pendek kata, suara rimba raya – yang kemudian terkenal dengan istilah “growl”, suatu kata Inggris yang berarti “geraman”.

Lalu, bagaimana dengan ritme melodi suku Kauwerawet, penduduk Teluk Humboldt dan Yapen? Pola-pola atau bentuk-bentuk ritmenya sederhana. Beberapa nada bernilai kecil diikuti suatu not yang ditahan lama, biasanya suatu not yang lebih rendah. Tapi ritme bisa berkembang kalau melodi disertai kata-kata. Naskah lagu lalu bisa menghasilkan gabungan not-not bernilai perenam belasan, triul pendek – rangkaian tiga not dengan satu garis di atasnya yang ditandai angka 3 – dan kuintol – rangkaian lima not dengan satu garis di atasnya yang ditandai angka 5. Keseringan memakai triul pendek dalam melodi suku Kauwerawet sudah diamati dalam musik tradisional di Papua New Guinea, sekarang bernama Papua Nugini. Triul pendek didengar juga dalam melodi penduduk Teluk Humboldt dan Pegunungan Tengah. Dr. J. Kunst sendiri mendengar lagu berjenis birama 6/8 dalam triul dalam nyanyian peserta asal Teluk Humboldt dan Yapen ketika mereka menyanyikan lagu-lagunya dalam Pameran Etnografik di Weltevreden – sekarang Jatinegara – di Batavia.

Pemakaian triul dan kuintol bukan pola ritme melodik khas Papua. Pola ritme ini dibentuk oleh pembagian yang tidak teratur dari ketukan. Lazimnya, setiap ketukan dibagi dua untuk mendapatkan ketukan yang bernilai lebih kecil. Tapi triul dan kuintol adalah hasil pembagian satu ketukan menjadi tiga dan lima kesatuan not. Meskipun demikian, triul secara khusus tampaknya sangat lazim dalam musik kaum aborijin di Queensland, dan dalam melodi Melanesia dan Nusantara, seperti dalam musik tradisional Nias, Sunda, dan Flores.

Apa skema bentuk melodik kedua nyanyian dan versi-versi suku Kauwerawet? Ada dua catatan Kunst tentang skema bentuk melodik nyanyian pada halaman terdahulu, dengan skema kedua sebagai yang dinyanyikan paling jelas.

Skema bentuk melodik pertama menunjukkan jangkauan satu oktaf. (Lihat "Skema Melodi 1".)Sementara itu, jangkauan melodik skema kedua dari mi titik satu di atasnya sampai dengan fa, not terakhir, adalah tujuh not, suatu jangkauan melodik yang agak sempit. (Lihat "Skema Melodi 2".)

Kemudian, apa tangganada yang mendasari bangunan melodik kedua nyanyian suku Kauwerawet? Tangganada salah satu lagu itu disusun dari empat not pokok, salah satunya (not do) diulangi. (Lihat "Tangganada 1".) Dari not do titik satu di atasnya sampai dengan not do di akhir, tangganada itu demikian:

Tangganada lagu kedua - lihat "Tangganada 2" - diperkirakan dari hasil tiga rekaman yang berbeda. Not ke-4 dan ke-5 masing-masing menunjukkan perkiraan adanya dua not yang tersirat dalam tangganada ini.

Ada karena itu antara empat dan enam not pokok, salah satunya (not do) diulangi. Masing-masing bentuk tangganada tadi menunjukkan jangkauan not sejauh satu oktaf, suatu jangkauan yang tidak begitu luas.

Angka Romawi huruf besar di bawah setiap not ketiga bentuk tangganada tadi - "Tangganada 1", "Tangganada 2", dan "Tangganada 5" - menunjukkan jenis-jenis interval yang dipakai. Interval, seperti yang sudah dijelaskan, adalah jarak antara dua tingginada sejauh satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Karena ketiga bentuk tangganada tadi tidak mengikuti tangganada diatonik mayor atau minor Barat, jarak satunada dan setengahnada yang berlaku dalam tangganada Barat sulit diterapkan pada ketiga bentuk tangganada lagu suku Kawerawet tadi.

Misalnya, jarak not 1-6 dalam bentuk tangganada ke-1 menunjukkan interval ketiga (1-7-6) dalam tangganada diatonik mayor Barat. Seharusnya, sesuai aturan, angka Romawi III yang ditulis di bawah not 6 (la). Tapi dalam tangganada melodi Kauwerawet tadi, not la ("Tangganada 1") malah adalah not kedua sesudah not do di depannya. Karena itu, not la membentuk interval kedua dengan not do di depannya. Jadi, urutan not dalam tangganada tradisional Papua tadilah yang menentukan jenis interval yang dipakai.

Jenis-jenis interval apakah yang sering dinyanyikan suku Kauwerawet? Menurut Kunst, interval rata-rata yang mereka nyanyikan mencakup interval kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Suatu rekaman lain dari nyanyian suku Kauwerawet memperdengarkan suatu campuran antara penyanyi solo dan koor. Ada empat orang penyanyi pria, salah seorang di antaranya bisa disebut sebagai penyanyi solo sementara ketiga orang pria lainnya membentuk koor bersama penyanyi solo. Penyanyi solo selalu menyanyikan melodi dan ketiga lelaki lainnya ikut menyanyi bersama-sama pada not-not kunci lagu itu. Lihat "Tangganada 3 (solo)" dan "Tangganada 4 (koor)" pada gambar tadi.

Not pokok pada koor mulai dari not fa pertama sampai dengan not fa kedua yang satu oktaf lebih rendah dari yang pertama. Tapi bagian koor ini ditambahkan Kunst berdasarkan ilmu musik Barat.

Pada bagian koor, suara keempat penyanyi pales dan ritmenya berantakan. Menurut gagasan musikal Barat, nyanyian mereka “tidak rapi” dalam hal ritme dan melodi. Tapi mereka kompak ketika menyanyikan not-not yang ditahan. Menurut Kunst, kekhasan nyanyi koor mereka adalah suatu ciri terkenal musik primitif.

Variasi lain salah satu nyanyian suku Kauwerawet menghasilkan suatu skema bentuk melodik dan tangganada yang lain. Skemanya bisa Anda amati pada contoh tadi: "Skema Melodi 3".

Modernisasi Nyanyian Kauwerawet

Para ahli musik Belanda yang meneliti musik suku Kauwerawet atau Takutameso menggolongkannya pada musik paling primitif. Ini diketahui dari ketiga ciri paling menonjol melodi suku ini: lagunya pendek, melodinya cenderung menuruni tangganada, dan nyanyian koor yang berantakan. Musik inini karena itu mengindikasikan lapisan budaya paling awal dari sejarah kebudayaan masyarakat Papua.

Meskipun demikian, sebagian ciri-ciri nyanyian mereka bisa ditelusuri pada musik modern, termasuk yang dimainkan di Indonesia. Ciri-ciri lain khas suku Kauwerawet dan suku-suku lain di Nieuw Guinea dan Papua New Guinea.. Ciri-ciri apakah itu?
  • Naskah lagunya bersifat strofik, suatu sifat yang terdapat dalam banyak lagu modern pengaruh Barat di Indonesia.
  • Matranya agak bebas. Kecenderungan metrik ini bisa kita telusuri pada nyanyian-nyanyian mazmur seperti yang terdapat dalam Mazmur dan Nyanyian Rohani susunan I.S. Kijne dan dalam lagu-lagu Gregorian.
  • Tiruan suara burung dalam nyanyian suku Kauwerawet dan dalam tiupan suling keramat penduduk Teluk Humboldt tampaknya berkaitan dengan kepercayaan religius. Pada suku Pesechem, tiruan suara hewan dalam nyanyiannya adalah hiasan musikal. Ini semua adalah ciri khas nyanyian tradisional di Nieuw Guinea. Dalam musik jazz abad ke-20, tiruan suara hewan, yaitu, geraman (growl) bisa kita dengar pada beberapa nyanyian Louis Amstrong, seperti “Hello, Dolly”.
  • Ciri khas lain melodi suku Kauwerawet adalah singkatnya lagu, kecenderungan melodi untuk menuruni tangganada, dan nyanyian koor yang berantakan. Ciri khas ini hampir tidak ditemukan dalam musik modern.
  • Pola-pola ritme khas yang dipakai dalam nyanyian suku Kauwerawet mencakup gabungan interval ke-1 sampai dengan ke-8 dan not-not berbagai nilai, termasuk pola triul pendek dan kuintol. Secara khusus, triul pendek terdapat juga dalam melodi penduduk Teluk Humboldt, Yapen, kaum aborigin di Queensland Australia, Melanesia, dan Nusantara. Triul pendek sering dipakai dalam musik modern tapi kuintol jarang muncul dalam musik modern, termasuk musik pop modern.
  • Tangganada tradisional yang paling panjang punya urutan enam not secara bertangga. Yang paling pendek punya urutan empat not, juga secara bertangga.
  • Interval yang dipakai dari interval kesatu sampai dengan interval keenam. Aturan interval untuk tangganada khas melodi suku Kauwerawet berbeda dengan yang berlaku untuk tangganada diatonik Barat.
  • Skema bentuk melodik nyanyian-nyanyian suku Kauwerawet pun khas karena dipengaruhi tangganada yang mendasarinya.

Jelas, ada dua macam ciri dalam lagu suku Kauwerawet dan suku-suku Papua yang lain. Ada ciri-ciri yang bisa ditemukan dalam musik modern pengaruh Barat. Tapi ada juga ciri-ciri khas nyanyian suku-suku Papua ini yang tidak atau sulit ditemukan dalam musik modern.

Untuk kebutuhan musik awal abad ke-21 dan seterusnya, musikus profesional Papua dan non-Papua perlu memodernisasinya. Hidup adalah perubahan; karena itu, musik tradisional Papua pun haruslah diubah agar sesuai dengan rasa musikal abad ini. Sedikit sekali orang, di antaranya ahli etnomusikologi, yang tampaknya menggemari musik tradisional apa adanya. Tapi kebanyakan orang akan merasa asing dengan musik tradisional macam ini. Karena itu, musik tradisional harus dimodernisasi, disesuaikan dengan tuntutan zaman.

Bagaimanakah musikus Papua atau bukan-Papua bisa memodernisasi ciri-ciri ini? Jawaban atas pertanyaan bersifat pribadi:

  • Modernisasi nyanyian tradisional di Papua tidak boleh menghilangkan ciri-cirinya, termasuk ciri-ciri khasnya. Hilangnya ciri-ciri ini akan mengakibatkan nyanyian tradisional tidak berbeda lagi dengan nyanyian-nyanyian modern yang lain. Padahal, ciri-ciri khaslah yang memberi cap khusus pada nyanyian-nyanyian tradisional yang dimodernisasi dan bisa menambah suatu corak baru ke dalam khazanah musik dunia.
  • Penciptaan kembali nyanyian-nyanyian tradisional di Papua membutuhkan kekuatan pembaharuannya dari musik modern, seperti variasi melodi dan harmoni. Meskipun demikian, ciri khasnya tetap dipertahankan. Berbagai skema bentuk melodik dan tangganada yang sudah disebut bisa mendasari komposisi modern dengan warna-warna musikal khas Papua, termasuk warna ritmik, metrik, dan harmoniknya.
  • Baik lagu sekuler maupun lagu religius modern bisa diciptakan kembali berdasarkan ciri-ciri nyanyian tradisional di Papua tadi.
  • Kalau unsur paling primitif dari nyanyian tadi ingin ditonjolkan, pencipta bisa menciptakan kembali nyanyian tradisional di Papua dengan mengungkapkan sisi primitif dari hati manusia, seperti sifat iri, dendam, benci, dan lain-lain.
  • Tanpa ketekunan, modernisasi nyanyian tradisional di Papua tidak akan efektif. Untuk itu, para musikusnya haruslah punya latar belakang pendidikan resmi agar mereka profesional.

Read More....