30 Juni 2008

11. Nyanyian Suku-Suku Lain di Pegunungan Tengah

Musik suku-suku Papua di Pegunungan Tengah tidak hanya terbatas pada nyanyian-nyanyian fenfer suku katai Awembiak dan Dem. Ada juga nyanyian empat suku katai lain di Pegunungan Tengah yang direkam melalui fonogram oleh Le Roux pada ekspedisi tahun 1939, yaitu, nyanyian suku Ekari (19 rekaman), Moni (3 rekaman), Simori (5 rekaman), dan Ndani (2 rekaman).

Kunst meneliti ciri-ciri musik mereka berdasarkan hasil rekaman Le Roux. Di samping itu, dia juga memakai hasil penelitian ahli-ahli lain yang meskipun bukan ahli musik profesional tidak melewatkan - untuk berbagai pertimbangan - gejala musikal suku-suku pedalaman tadi dalam penelitiannya.

Nyanyian, Melodi, dan Ritme

Untuk memahami nyanyian keempat suku Papua pegunungan tadi ditambah suku Awembiak dan Dem, Kunst mencoba menjelaskan perbedaan mendasar antara nyanyian mereka. Tapi dia sulit menjelaskannya.

Empat dari lima nyanyian suku Simori punya suatu ciri yang berbeda dengan kelima suku lainnya. Musik vokal mereka terdiri dari teriakan-teriakan yang mengungkapkan rasa gembira, pekikan-pekikan perang, nyanyian untuk tarian keliling, nyanyian ketika berbaris, dan nyanyian yang berisi mantera-mantera.

Tapi nyanyian lain suku Simori dan hampir semua nyanyian suku Ekari, Moni, dan Ndani punya ciri yang sama. Semuanya tergolong pada melodi fenfer.

Anda ingat dari tulisan sebelumnya bahwa melodi fenfer yang bersifat triadik menjadi suatu ciri khas musik vokal suku Awembiak dan Dem. Melodi fenfer mereka direkam secara cermat melalui ingatan Le Roux dan Muhamad Saleh. Kunst yang mendengarkan kembali melodi fenfer kedua suku katai ini memuji kecermatan ingatan dan rekaman berdasarkan ingatan Le Roux dan asistennya: mereka berdua "punya telinga yang baik dan ingatan yang baik".

Meskipun ingatan mereka berdua baik, lanjut Kunst, mereka tidak cermat dalam merekam ritme khas suku Awembiak dan Dem. Ritme melodi fenfer yang mereka rekam dipengaruhi ritme musik non-Papua pegunungan yang sudah tertanam dalam ingatan musikalnya.

Berbicara tentang ciri umum ritme khas nyanyian suku-suku Papua pegunungan tadi, Dr. J. Kunst menyatakan bahwa ritme itu cenderunhg lebih rumit dan berubah-ubah. Bentuk ritme nyanyian mereka, kata Kunst, bersifat sintetik, yaitu, bersifat meleburkan berbagai macam ciri ritmik.

Apa maksudnya dengan bentuk ritme yang bersifat sintetik? Hampir tidak ada "kesamaan matra". Tekanan tidak jatuh pada selang waktu yang teratur.

Dalam ilmu musik Barat, masalah tekanan sudah diatur. Siapapun yang mempelajari aksentuasi dalam musik Barat tahu apa yang Kunst maksudkan dengan frasa tadi.

Dalam musik pop modern Barat yang mengandalkan ritme yang kokoh dan teratur seperti rock 'n roll, disko, chacha, samba, dan salsa, kesamaan matra kita tahu dari jenis birama yang berlaku, lazimnya 4/4. Aturan standar tekanan aksentuasi metrik dalam jenis birama ini demikian: ketukan pertama mendapat tekanan berat, ketukan ketiga relatif berat, dan ketukan kedua dan keempat masing-masing mendapat tekanan ringan.

Jenis birama lain yang populer adalah 3/4 yang kita dengar pada musik berirama wals. Aturan dasarnya demikian: ketukan pertama mendapat tekanan berat sementara ketukan kedua dan ketiga masing-masing mendapat tekanan ringan.

Masih ada satu lagi jenis birama yang muncul dalam musik country dan mars tertentu: 2/4. Aksentuasi metrik dari melodi yang memakai jenis birama ini jatuh pada ketukan pertama; ketukan kedua mendapat tekanan ringan.

Setiap jenis birama dalam ilmu musik Barat tadi menunjukkan adanya kesamaan matra karena tekanan jatuh pada selang waktu yang teratur. Tapi bentuk ritme yang bersifat sintetik dari melodi suku-suku Papua pegunungan tadi yang menghasilkan perbedaan metrik yang menonjol jelas berbeda dengan aturan-aturan dasar tentang tekanan metrik dalam ilmu musik Barat tadi.

Kalau hampir tidak ada kesamaan matra dalam melodi suku-suku tadi, apakah ini bisa berarti hampir semua melodi suku itu tidak dikendalikan oleh satu jenis birama saja, seperti 4/4? Tepat sekali.

Misalnya, fragmen suatu melodi suku Ekari - disebut juga suku Kapauku - di Enarotali yang direkam melalui fonogram dan ditulis kembali dalam notasi balok oleh Kunst dan yang syairnya berkisah tentang sungai Edere mulai dengan birama 4/4 sejauh lebih dari tiga birama. (Ada ketukan "gantung", disebut pickup measure dalam bahasa Inggris, yang mengawali lagu ini). Bentuk ritmik bagian melodinya yang dikendalikan jenis birama 4/4 merupakan gabungan not bernilai seperempat, seperdelapan, rangkaian not yang masing-masing bernilai seperenam belas dan sepertiga puluh dua, triul pendek yang terdiri dari tiga rangkaian not yang masing-masing bernilai seperenam belas, dan not bertitik satu dan dua di kanannya. Sementara bergerak turun-naik dalam kendali birama 4/4, melodi lalu berubah matra dari 4/4 menjadi 9/8 sebanyak satu birama. Birama ini berisi kombinasi not bernilai seperempat, rangkaian not yang masing-masing bernilai seperenam belas dan sepertiga puluh dua, dan not seperdelapan bertitik satu di kanannya. Kombinasi not dengan berbagai nilai seperti ini tapi dengan bentuk-bentuk yang tidak sama muncul lagi ketika kendali birama 9/8 atas gerak melodi digantikan berturut-turut oleh birama 12/8 selama dua birama disertai suatu perhentian sementara melalui satu tanda fermata, kombinasi yang sangat langka dari birama 9/8 dan 1/8 sejauh satu birama, dan berakhir dengan birama 9/8 selama satu birama juga. Tanda diam bernilai seperenam belas dan not-not ornamental atau hiasan yang disebut grace notes dalam bahasa Inggris pun dipakai. Pergantian jenis birama seperti ini adalah suatu ciri khas melodi suku-suku Papua dari Pegunungan Tengah, pergantian yang jelas menunjukkan bahwa kesamaan matra tidak ada.

Bagaimana tentang ritme nyanyian tadi? Ritmenya disesuaikan dengan syair lagunya yang, kalau ditinjau dari sudut-pandang bentuk metrik musik Barat, bersifat tidak teratur secara metrik. Seharusnya syair lagu tadi dimuat di sini untuk memperjelas sifat iidak teratur secara ritmik dari syair lagu Kapauku tadi, syair yang dicatat lengkap dalam buku Kunst tentang musik di Nieuw Guinea. Tapi kita yang tidak bisa berbahasa Kapauku dan karena itu tidak memahami aksentuasi suku kata kalimat dalam bahasa ini tentu tidak akan memahami tekanan metrik syair tadi. Karena itu, suatu contoh lain dari suatu syair bahasa Indonesia bisa memperjelas pernyataan Kunst tadi.

Bagian awal lagu Burung Kakatua, suatu lagu pop klasik Indonesia berirama wals cepat dan berbirama 3/4, bisa memperjelas pernyataan tadi. Tekanan metrik yang berat fragmen melodi ini kita bunyikan sebagai DUM sementara tekanan metriknya yang ringan sebagai bunyi de. Pola metriknya demikian:

Burung Kakatua1

Tekanan metrik berdasarkan melodi tadi seharusnya selaras dengan tekanan metrik pada syair lagunya. Tapi tekanan metrik pada syairnya, seperti yang sudah dijelaskan, malah menghasilkan efek jenaka karena tidak sesuai dengan aksentuasi bahasa Indonesia lisan pada umumnya, sebagaimana yang digunakan penyiar radio dan televisi di Indonesia.

Untuk mempermudah pemahaman, tekanan ringan de diganti suku kata berhuruf kecil dan tekanan berat DUM dengan suku kata berhuruf besar. Huruf besar yang memulai suatu kalimat atau kata tertentu yang diikuti huruf kecil dihitung sebagai suku kata yang bertekanan ringan.

Bu-RUNG ka-KA-tu-A hing-GAP di JEN-de-LA.

Ne-NEK su-DAH tu-A, gi-gi-NYA ting-GAL du-A.

Seharusnya tekanan metrik yang berat dan ringan yang mengikuti bahasa Indonesia lisan yang lazim demikian:

BU-rung KA-ka-TU-a HING-gap DI jen-DE-la.

NE-nek SU-dah TU-a, gi-gi-NYA TING-gal DU-a.

Tekanan metrik yang keliru dari bagian syair lagu tadi mengakibatkan konflik antara tekanan metrik berat dan ringan dari melodi dan syair. Ini bertentangan dengan suatu aturan umum penciptaan nyanyian, menurut ilmu musik Barat: semua unsur musik harus bekerja sama untuk meningkatkan ungkapan umum dari pesan suatu lagu.

Untuk menerapkan aturan umum ini, kita perlu menyesuaikan matra melodi dengan matra naskah atau syairnya. Untuk itu, kita bisa menempuh dua cara. Kita menyesuaikan matra syair yang sudah ada dengan matra melodi Burung Kakatua dengan menuliskannya kembali atau kita menyesuaikan melodi dengan matra syair yang lazim.

Mana yang kita pilih? Lebih mudah menempuh pilihan kedua karena matra melodi lebih mudah disesuaikan dibanding menuliskan kembali syair lagu tadi demi keserasian tekanan metrik antara syair dan melodi.

Menurut saya, syair berdasarkan ucapan bahasa Indonesia yang lazim tadi lebih pas dipakai untuk melodi yang berjenis birama 4/4. Melodi ini memakai kombinasi not-not yang didominasi not bernilai seperempat dan seperdelapan yang akan membuat syairnya kedengaran wajar kalau diucapkan. Birama 3/4 untuk syair versi yang betul kurang pas karena ada suku kata yang mendapat tekanan berat yang ditarik agak panjang dari biasanya - kurang normal menurut bahasa-gaul. Meskipun demikian, birama 3/4 masih bisa dipakai.

Kalau bagian syair Burung Kakatua ini kita ubah mengikuti bunyi de DUM, pola bunyinya demikian:

DUM de DUM de DUM de DUM de DUM de DUM de

DUM de DUM de DUM de de de DUM DUM de DUM de.

Sekarang, matra fragmen melodi asli Burung Kakatua tadi kita sesuaikan dengan matra syairnya yang baru. Melodi asli terpaksa diubah sedikit agar selaras dengan syairnya. Perpaduan antara tekanan metrik melodi dan syair tampak demikian:

Burung Kakatua2

Modifikasi fragmen Burung Kakatua sekarang menunjukkan keselarasan antara tekanan metrik melodi dan syair.

Uraian tentang keserasian antara tekanan metrik melodi dan syair tadi memperjelas pernyataan Kunst tentang aturan keselarasan ini dalam ilmu musik Barat. Keselarasan macam ini tidak dia temukan dalam musik vokal suku-suku katai di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea.

Karena bentuk metrik nyanyian suku-suku Papua di Pegunungan Tengah tidak teratur, ritmenya menghasilkan pola-pola yang khas yang harus dicatat secara cermat, tanpa pengaruh musik Barat. Pola-pola ini mencakup gabungan not-not dengan berbagai nilai yang sudah dijelaskan. Le Roux dan Saleh gagal mencatat pola-pola ritmik dan metrik khas ini karena mereka dipengaruhi pola-pola ritmik dan metrik musik Barat.

Ciri fenfer

Menurut Kunst, nyanyian-nyanyian suku-suku tadi sama jenisnya. Semuanya adalah lagu-lagu fenfer. Semua nyanyian dibentuk oleh triad mayor atau sebagian triad ini. Satu nyanyian Ekari tidak termasuk ke dalam nyanyian fenfer karena ia memberi kesan sudah dipengaruhi dari luar. Ada juga dua kasus pemakaian not sisipan, yaitu, not keenam dalam suatu nyanyian suku Ndani dan not keempat dalam suatu nyanyian suku Moni.

Dua kelompok melodi triadik

Tapi ketika Kunst meneliti musik vokal suku-suku tadi lebih jauh, semua melodi triadik mereka bisa dibagi dalam dua kelompok. Apa kedua kelompok itu?

Pertama, kebanyakan melodi mereka punya nada dasar triad mayor sebagai titik pusat melodiknya. Triad C mayor dalam tangganada diatonik mayor C, misalnya, berisi susunan not do-mi-sol. Ia bersifat mayor atau besar karena ada lima setengahnada (do-di-re-ri-mi) dalam interval ketiga, do-mi, dan empat setengahnada (mi-fa-fi-sol) dalam interval ketiga lainnya, mi-sol. Interval kedua bersifat minor karena kekurangan satu setengahnada dari interval ketiga mayor. Singkat kata, triad C mayor dibentuk oleh dua interval ketiga dengan jumlah setengahnada yang berbeda dan dengan mi sebagai penghubung antara not do dan sol. Not paling rendah dari triad ini, yaitu do atau C, membentuk nada dasar triad mayor ini. Banyak melodi suku-suku katai Papua di Pegunungan Tengah menunjukkan pemakaian nada dasar dari triad yang membentuk melodinya.

Kedua, beberapa melodi mereka - serupa dengan ini, semua triad mayor ketiga - menunjukkan bahwa titik pusat melodik bukanlah nada dasar melainkan interval keempat di bawahnya. Sebagai akibatnya, interval keempat ini menghasilkan not dasar yang disebut not dominan.

Penjelasan Kunst tadi menyiratkan bahwa susunan not suatu triad mayor harus dibalikkan untuk menempatkan not dominan sebagai not dasar triadnya. Kalau triad C mayor tadi kita balikkan pertama kali, kita memperoleh urutan not mi-sol-do (do lebih tinggi dari sol dan mi). Balikan pertama ini menghasilkan bukan sol melainkan mi sebagai not dasarnya. Untuk menempatkan sol sebagai not dasar, kita harus balikkan lagi susunan awal triad C mayor tadi. Hasilnya adalah sol-do-mi. Do lebih tinggi dari sol dan mi paling tinggi di antara kedua not lainnya. Jarak nada antara sol sebagai not dasar dan do di atasnya adalah empat (sol-la-si-do). Balikan kedua triad C mayor dengan not sol sebagai not dasar yang membentuk interval keempat dengan not do di atasnya itulah yang dimaksudkan Kunst dengan istilahnya, "interval keempat di bawahnya" sebagai titik pusat melodik nyanyian suku-suku Pegunungan Tengah. Not sol ini disebut juga not dominan, suatu istilah yang Anda bisa temukan dalam pelajaran tentang akord. Dalam tangganada diatonik mayor C, akord dominan adalah G atau G7 (disebut dominan ketujuh).

Ciri apa lagi dari melodi suku-suku katai Papua di pedalaman yang diamati Kunst? Not dasar balikan kedua triad mayor tadi membentuk jangkauan nada yang bisa dikatakan bersifat plagal. Ini berlaku juga untuk sebagian besar nyanyian suku-suku tadi. Meskipun dibentuk berdasarkan nada dasar sebagai pusat nada melodik, nyanyian-nyanyian ini memakai secara luas interval keempat lebih rendah.

Kata "plagal" dalam konteks tadi mengacu pada suatu sifat melodi, dalam ilmu musik Barat. Secara sederhana, melodi plagal adalah turunan dari melodi asli atau otentik. Untuk memahami sifat plagal dari melodi, kita harus memahami lebih dahulu sifat otentiknya.

Kalau semua melodi suku-suku katai di Pegunungan Tengah kita sederhanakan dengan menulisnya berdasarkan tangganada diatonik mayor C, maka triad asli atau otentik C mayor yang dibentuk dari tangganada ini adalah yang berurutan not do-mi-sol. Secara melodik, triad ini ada dalam nyanyian suku-suku tadi. Tapi ia bukan satu-satunya. Ada juga melodi yang memperluas triad ini dengan memakai urutan not do-mi-sol-do atau do-mi-sol-do-mi dengan not-not terakhir sebagai not-not paling tinggi. Ada juga melodi yang mempersempit triad yang sama dengan memakai cuma dua urutan not: do-mi. Melodi yang memakai not do sebagai nada dasarnya, yaitu nada paling bawah dan paling rendah dari triad mayor, disebut melodi asli, melodi otentik. Not do membentuk interval ketiga mayor dengan not mi di atasnya; selanjutnya, not mi membentuk interval ketiga minor dengan not sol di atasnya.

Lalu, apa itu melodi plagal, melodi turunan? Itulah melodi yang dihasilkan melalui balikan-balikan triad mayor asli, termasuk perluasan dan penyempitannya. Balikan pertama triad mayor asli C adalah mi-sol-do. Ada melodi-melodi suku katai itu yang memperluas triad mayor ini menjadi mi-sol-do-mi, dengan mi kedua sebagai not paling tinggi, dan menghasilkan suatu bentuk melodi plagal. Selanjutnya, balikan kedua triad mayor asli C adalah sol-do-mi dengan sol-do sebagai interval keempat. Karena not sol lebih rendah dari not do di atasnya, interval keempat ini disebut "interval keempat lebih rendah" oleh Kunst. Banyak melodi suku-suku katai itu memakai melodi plagal jenis kedua, tapi dengan penyempitan atau perluasan triad plagal ini. Ada melodi yang dibentuk oleh hanya interval keempat lebih rendah saja: sol-do. Ada melodi yang dibentuk oleh perluasan triad mayor plagal jenis kedua menjadi sol-do-mi-sol atau sol-do-mi-sol-do.

Teknik Nyanyi Suku-Suku Katai

Entah bersifat otentik entah plagal, melodi-melodi yang dinyanyikan suku Ekari, Moni, Simori, dan Ndani di Pegunungan Tengah dan direkam tahun 1939 memberi kesan khusus tentang kualitas vokal mereka pada telinga Dr. J. Kunst. "Dengan mendengarkan nyanyian-nyanyian ini orang mendapat kesan bahwa seorang katai sejati tengah menyanyikannya. Nyanyiannya hidup, seperti nyanyian kaum muda yang bergairah. Suara dada tidak digunakan dan hasilnya adalah bahwa bahkan nyanyian lelaki dewasa sekalipun kedengaran agak mirip nyanyian anak lelaki yang suaranya belum berubah menjadi suara lelaki muda."

Lalu, bagaimana dengan syair, tema, dan ciri-ciri lain nyanyian mereka? Pertanyaan ini akan dijawab dalam tulisan mendatang.

Read More....

25 Juni 2008

10. Musik Pesisir Waropen

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Selain meneliti rekaman nyanyian orang Waropen di Batavia, Kunst meneliti lebih lanjut musik pesisir Waropen melalui hasil-hasil penelitian Prof. Dr. G.J. Held. Karya Held yang dipakai Kunst sebagai suatu sumber acuan adalah Papoea’s van Waropen, terbitan Leiden (Belanda) tahun 1947. Versi bahasa Inggrisnya, The Papuas of Waropen, diterbitkan di the Hague (nama Inggris untuk Den Haag, Belanda) tahun 1957.

Held bukan seorang ahli musik profesional, seperti Kunst. Dia sebenarnya seorang ahli bahasa yang dipekerjakan oleh pemerintah Belanda untuk melakukan penelitian bahasa daerah di Waropen.

Meskipun demikian, dia berkesempatan untuk melakukan rekaman nyanyian-nyanyian orang Waropen. Rekamannya memakai Fonograf merek Excelsior yang diberikan oleh Arsip Fonogram Kota Berlin, Jerman. Meskipun mencapai Berlin, tidak diketahui apakah hasil rekamannya tetap tersimpan utuh sesudah Perang Dunia II. Kalaupun masih ada sesudah perang besar itu, hasil rekamannya belum dialihkan dalam bentuk notasi balok disertai kata-kata – kalau ada. Sebagai akibatnya, Kunst meneliti musik pesisir Waropen hanya berdasarkan bahan-bahan terbitan Prof. Dr. G. J. Held. Yang Kunst buat adalah meneliti bagian-bagian yang relevan tentang musik pesisir Waropen dari buku Held.
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Selain meneliti rekaman nyanyian orang Waropen di Batavia, Kunst meneliti lebih lanjut musik pesisir Waropen melalui hasil-hasil penelitian Prof. Dr. G.J. Held. Karya Held yang dipakai Kunst sebagai suatu sumber acuan adalah Papoea’s van Waropen, terbitan Leiden (Belanda) tahun 1947. Versi bahasa Inggrisnya, The Papuas of Waropen, diterbitkan di the Hague (nama Inggris untuk Den Haag, Belanda) tahun 1957.

Held bukan seorang ahli musik profesional, seperti Kunst. Dia sebenarnya seorang ahli bahasa yang dipekerjakan oleh pemerintah Belanda untuk melakukan penelitian bahasa daerah di Waropen.

Meskipun demikian, dia berkesempatan untuk melakukan rekaman nyanyian-nyanyian orang Waropen. Rekamannya memakai Fonograf merek Excelsior yang diberikan oleh Arsip Fonogram Kota Berlin, Jerman. Meskipun mencapai Berlin, tidak diketahui apakah hasil rekamannya tetap tersimpan utuh sesudah Perang Dunia II. Kalaupun masih ada sesudah perang besar itu, hasil rekamannya belum dialihkan dalam bentuk notasi balok disertai kata-kata – kalau ada. Sebagai akibatnya, Kunst meneliti musik pesisir Waropen hanya berdasarkan bahan-bahan terbitan Prof. Dr. G. J. Held. Yang Kunst buat adalah meneliti bagian-bagian yang relevan tentang musik pesisir Waropen dari buku Held.

Ciri-Ciri Musik Pesisir Waropen

Nyanyian-nyanyian tradisional penduduk Waropen tentang mitos-mitos mereka. Ada rano, suatu jenis nyanyian yang dibawakan lelaki; ratara, jenis lain yang dinyanyikan wanita pada pernikahan atau kelahiran bayi; dan muna, jenis yang dinyanyikan pada upacara kematian oleh lelaki dan wanita. Meskipun rano, ratara, dan muna masing-masing dinyanyikan mengikuti gaya yang berbeda-beda, semuanya berhubungan dengan mitos-mitos.

Ada tujuh macam nyanyian yang tergolong pada rano. Pertama, soitirano, dinyanyikan ketika suatu pasangan mempelai yang “diarak” dengan perahu yang didayung orang lain keliling kampung untuk diperkenalkan kepada anggota sekampung. Ia dinyanyikan juga ketika sebuah perahu yang baru selesai dibuat didayung pertama kali. Kedua, ghomindano, dinyanyikan selama suatu pelayaran untuk menangkap budak-budak dan sesudah para pengayau kembali dari pelayaran itu. Ketiga, amairano, nyanyian pagi yang dinyanyikan pada upacara inisiasi yaitu upacara peralihan seorang anak menjadi orang dewasa. Keempat, damadorano, nyanyian di rumah inisiandus yaitu anak yang akan beralih menjadi orang dewasa selama pesta inisiasi. Kelima, nuarano, nyanyian tentang perdagangan yang dinyanyikan secara khusus di perahu. Keenam, ramasasiri, nyanyian khusus, biasanya dibawakan dalam suatu bahasa asing dan dinyanyikan hanya selama perjalanan dengan perahu. Ketujuh, ratisara, nyanyian tentang cinta, dibawakan di perahu dan rumah. Sesudah penduduk Waropen menjadi Kristen, mereka menyanyikan juga ketiga jenis nyanyian terakhir.

Suatu rano dinyanyikan sebagai semacam kanon. Seorang atau beberapa orang penyanyi menyanyikan suatu bagian nyanyian. Sebelum mereka selesai dengan nyanyian, seorang atau beberapa orang lain menyanyikan lagu yang sama dari awal sementara pihak pertama mengulangi nyanyiannya dari awal sesudah tiba di akhirnya. Pihak kedua melakukan hal yang sama. Pada suatu waktu tertentu, kedua pihak berhenti secara serempak atau berturut-turut.

Susunan suatu rano mengenal istilah euwo. Istilah ini berarti “dasar” atau “kaki”. Ini barangkali berarti bagian pertama dari strofa pertama. (Secara sederhana, strofa adalah bait syair atau bait lagu.) Dalam bentuk mirip kanon, euwo dari rano boleh dikatakan adalah bait pertama yang dinyanyikan salah satu dari dua kelompok yang membawakan rano. Kalau ada euwo, apakah ada uri, puncak rano? Tidak ditemukan meskipun ada upaya untuk menemukan puncak nyanyian ini.

Dalam suasana dan untuk alasan apakah para pedayung menyanyikan lagu-lagu untuk berdayung? Mereka hanya menyanyi ketika berdayung. Ketika hari panas terik, perahu tidak bisa berlayar karena tidak ada angin yang meniup layar, mereka sangat kepanasan. Tapi ketika laut bergelombang dan menghantam badan perahu, para pedayung menyanyi senyaring-nyaringnya melawan bunyi hembusan angin. Ketika malam tiba, ketika perjalanan laut berakhir dan awak perahu memasuki kampung, mereka menyanyikan lagu-lagu berdayung yang megah dan merdu sambil memakai ayunan dayung yang pendek untuk menarik dan memecah massa air laut menjadi percikan-percikan. Cara berdayung seperti ini disebut kikaworo, secara harfiah berarti “mereka menarik dan memercikkan air laut”. Sementara perahu didayung dengan cara demikian untuk memasuki kampung, penduduk yang menaruh minat berdiri sambil menonton perahu dan pedayungnya.

Rano adalah nyanyian untuk berdayung yang dibawakan dengan gaya kanon. Tulis Held: “Pertama, seorang lelaki menyanyikan nyanyian itu, pedayung lelaki lainnya di belakang perahu mengangkat bait pertama dan ketika mereka menyanyikan suatu bagian dari nyanyian itu, para pedayung di bagian depan masuk dengan bagian awal nyanyian itu. Jadi, untuk setiap kelompok penyanyi, ada serangkaian saat istirahat sejenak selama nyanyian itu dibawakan.” Cara menyanyi seperti ini mirip orang yang tengah mengejar sesuatu; setiap pihak saling mendorong untuk saling mendahului. Held menduga cara menyanyi seperti ini menunjukkan bahwa bahasa mitos sebagai sarana penciptaan nyanyian-nyanyian untuk berdayung penduduk Waropen membuat perahu melaju.

Di luar nyanyian untuk berdayung, ada nyanyian tradisional yang diiringi siwa, istilah bahasa Waropen untuk tifa. Tifa dari Waropen adalah instrumen musikal paling penting mereka dan diimpor terutama dari kepulauan Moor dan Mambor, Teluk Geelvink bagian selatan. Penduduk kepulauan ini punya keahlian khusus dalam membuat ukiran dari kayu. Held tidak menemukan bukti pernyataan bahwa orang Waropen pun ahli dalam membuat tifa.

Bentuk tifa tadi mirip gelas kimia (untuk percobaan di laboratorium kimia), kecuali siwabuino. Ini separuh tifa yang sering ditabuh wanita dan tampak mirip separuh ukuran siswa. Untuk mengiringi tarian, kedua jenis tifa itu harus disetem sesuai dua macam tingginada. Untuk penyeteman ini, kulit hewan yang direntangkan pada ujung tifa itu harus dikencangkan berkali-kali di atas api kecil. Ia juga harus punya bulatan-bulatan kecil dari damar yang dilekatkan pada permukaan kulit itu. “Tampaknya, orang Waropen menuntut standar bunyi yang tinggi dari tifa-tifa itu,” jelas Prof. Dr. G. J. Held. “Mereka memberi banyak nama individual pada tifa-tifanya dan mereka bisa mengenalnya pada suatu jarak melalui bunyinya.”

Bagaimanakah kulit itu menghasilkan bunyi yang diinginkan? Kulit itu dari moiwa, biawak, yang berlimpah-limpah di Waropen. Kulit itu dikerok sampai bersih ketika ia masih segar, direntangkan pada suatu kerangka yang dibuat dari bilah-bilah dan dikeringkan oleh matahari. Kalau kulit yang direntangkan pada tifa ingin diperbarui, orang terlebih dahulu harus melumasi lingkarannya dengan sejenis zat yang diperoleh dari buah pohon bakau. Kulit itu lalu dilenturkan dengan membasahinya, ditarik sampai menjadi tegang keliling tepi yang lengket dan diikat kencang dengan bilahan tali dari rotan yang sudah dikeringkan. Sesudah itu, kulit itu dikeringkan di matahari untuk mengencangkannya pada ujung tifa lalu bilahan tali rotan itu dilepaskan.

Alat-alat musikal lain dipakai juga di Waropen. Itu mencakup bermacam-macam mauno atau gong, dan buro, terompet dari kulit kerang yang salah satu bagiannya dilubangi untuk ditiupi. Tungge atau harpa Yahudi pun dipakai; diduga ia berasal dari pedalaman. Suling tradisional di Waropen memakai dua lubang tiup, tempat orang bisa memainkan lagu yang sederhana.

Held menyebut juga suatu instrumen musikal yang khas dan barangkali tidak ada lagi di Waropen masa kini: mbumbu. Ia berbentuk suatu baling-baling kayu yang diputar dengan menarik seutas tali yang berputar keliling suatu bulatan.

Read More....

16 Juni 2008

9. Nyanyian-Nyanyian Nieuw Guinea Utara

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE

Di samping meneliti musik tradisional suku-suku Papua di pedalaman, Dr. J. Kunst meneliti juga nyanyian beberapa suku Papua di Nieuw Guinea Utara pada tahun 1929. Mereka mencakup beberapa keluarga dari Serui, pada waktu itu adalah kampung utama pulau Yapen, dan dari penduduk pesisir Waropen. Yapen-Waropen terletak di Teluk Geelvink (kini Teluk Cenderawasih). Mereka juga mencakup beberapa orang lelaki dan wanita dari Hollandia dan Sarmi, suatu kawasan pesisir sekian ratus kilometer di barat Hollandia, dekat muara Sungai Mamberamo (kalau dilihat pada peta).

Kunst meneliti para penyanyi dari Papua ketika mereka ikut serta dalam pameran etnografik yang diselenggarakan di Batavia 1929. Pameran itu diadakan Perhimpunan Batavia Kerajaan selama Kongres Sains Pasifik Keempat di Batavia. Nyanyian dan musik mereka direkam melalui bantuan Ch. Le Roux, waktu itu kurator Perhimpunan Batavia Kerajaan. Selanjutnya, Kunst meneliti nyanyian dan musik mereka berdasarkan hasil rekaman Le Roux melalui fonogram.
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Di samping meneliti musik tradisional suku-suku Papua di pedalaman, Dr. J. Kunst meneliti juga nyanyian beberapa suku Papua di Nieuw Guinea Utara pada tahun 1929. Mereka mencakup beberapa keluarga dari Serui, pada waktu itu adalah kampung utama pulau Yapen, dan dari penduduk pesisir Waropen. Yapen-Waropen terletak di Teluk Geelvink (kini Teluk Cenderawasih). Mereka juga mencakup beberapa orang lelaki dan wanita dari Hollandia dan Sarmi, suatu kawasan pesisir sekian ratus kilometer di barat Hollandia, dekat muara Sungai Mamberamo (kalau dilihat pada peta).

Kunst meneliti para penyanyi dari Papua ketika mereka ikut serta dalam pameran etnografik yang diselenggarakan di Batavia 1929. Pameran itu diadakan Perhimpunan Batavia Kerajaan selama Kongres Sains Pasifik Keempat di Batavia. Nyanyian dan musik mereka direkam melalui bantuan Ch. Le Roux, waktu itu kurator Perhimpunan Batavia Kerajaan. Selanjutnya, Kunst meneliti nyanyian dan musik mereka berdasarkan hasil rekaman Le Roux melalui fonogram.

Ciri-Ciri Nyanyian di Yapen-Waropen

Ada sebanyak sembilan belas nyanyian tradisional Papua yang diteliiti Kunst. Nyanyian-nyanyian itu sering agak panjang. Intonasi nada-nada yang berbeda-beda berubah-ubah. Kunst tidak berupaya mengukur interval yang membentuk nyanyian-nyanyian itu. Meskipun demikian, dia mengatakan interval-interval yang didengarkannya bersifat sangat "kebarat-baratan" dan berbeda sedikit sekali dengan interval diatonik Eropa. Karena itu, rekamannya dalam bentuk notasi balok dari nyanyian-nyanyian itu mendekati interval aslinya.

Jenis-jenis interval apakah yang dipakai dalam nyanyian-nyanyian tadi? Pertama, pemakaian interval pertama dan kedua menonjol. Ini, menurut Kunst, lazim dalam hampir semua musik vokal suku-suku primitif. Kedua, berbagai nyanyian memakai bermacam-macam interval. Dua lagu dibentuk melulu dari interval kedua. Suatu lagu memakai interval ketiga minor dan mayor. Delapan lagu memakai interval kedua mayor dan/atau ketiga minor secara berganti-gantian. Suatu nyanyian lain memperdengarkan interval kedua, ketiga, dan keempat; nyanyian lain melibatkan interval keempat dan kelima; dan dua lagu lain terdiri dari bermacam-macam interval. Suatu lagu lain lagi melibatkan interval kedua, ketiga, keempat kurang, dan ketujuh. Masih satu lagu lagi menampilkan interval keempat kurang dan murni, interval ketujuh minor dan mayor dan, sekali saja, interval kesepuluh minor. Tapi yang menonjol dalam lagu ini adalah interval kedua dan ketiga.

Selanjutnya, tiga nyanyian dari Yapen tergolong pada melodi murni kaum aborijin Australia. Nyanyian-nyanyian ini karena itu bersifat sangat primitif. Salah satu dinyanyikan seseorang bernama Kamasepadai. Melodi ini setingkat dengan melodi primitif kaum aborijin di Australia tengah.


Dari rangkaian not nyanyian tradisional tadi, kita bisa menemukan bahwa jangkauan melodik dan tangganadanya sempit sekali. Skema jangkauan melodik dan tangganadanya demikian:


Kita memerhatikan juga pemakaian kesekian kalinya dari jenis birama 6/8. Seperti yang sudah dikatakan, jenis birama ini tampaknya adalah salah satu dari tiga jenis birama - dua lainnya adalah 3/8 dan 9/8 - yang digemari pencipta nyanyian tradisional dari Papua.

Ada juga nyanyian dari Serui yang lebih berkembang. Melodinya memakai interval setengahnada (semitone). Menurut Kunst, pemakaian jenis interval ini dalam nyanyian dari Serui menunjukkan pengaruh Melayu. Melodi tradisional yang melibatkan interval setengahnada jarang ditemukan dalam musik penduduk pesisir yang tinggal di timur, seperti di Teluk Humboldt, dan juga dalam musik penduduk Pegunungan Tengah. Tapi interval ini sangat lazim dalam musik Melayu-Polinesia.

Pengaruh musik Melayu-Polinesia, khususnya pada melodi tradisional dari Yapen-Waropen, berasal dari mana? Kunst menduga pengaruh interval setengahnada tadi berasal dari Tidore, Maluku Utara. Antara abad ke-16 dan awal abad ke-20, Kesultanan Tidore yang dominan Muslim itu punya pengaruh pada sebagian penduduk pesisir di utara Nieuw Guinea, terutama di bagian baratdaya dan Teluk Cenderawasih.Pengaruhnya berbekas juga pada musik tradisional tertentu penduduk Yapen-Waropen.

Salah satu contoh nyanyian tradisional yang dipengaruhi musik Melayu-Polinesia berasal dari Waropen, dinyanyikan seorang lelaki bernama Sindusi. Judulnya, Munabai. Kunst tidak mencatat kata-katanya.

Terjadi pergantian jenis birama antara 3/8 dan 4/8. Pergantian kunci atau modulasi dari C ke B mol (bes) kita amati pada keempat birama terakhir. Ciri-ciri interval setengahnada yang diduga Kunst adalah hasil pengaruh Melayu-Polinesia, khususnya dari Tidore, muncul pada birama kedua, ketiga, kesebelas, dan pada rangkaian not yang dikendalikan kunci B mol (bes) pada ketiga birama terakhir.

Ada ciri-ciri lain lagi pada lagu tadi. Salah satu jenis birama yang sering muncul dalam lagu tradisional Papua, yaitu, 3/8, muncul lagi. Selain itu, kita memerhatikan pemakaian kombinasi not dengan berbagai nilai yang kecil, seperti not seperdelapan dan seperenam belas dan tanda diam dengan nilai yang sama. Kombinasi not ini bisa ditelusuri pada musik modern, termasuk musik pop masa kini. Jadi, sejarah ritme musikal modern boleh dikatakan merupakan kelanjutan dari ritme musikal masa lampau manusia.

Skema melodik dan tangganada nyanyian tadi berkembang. Dalam tangganada diatonik mayor C, ia mencakup enam not, dua di antaranya setengahnada.


Ciri-Ciri Nyanyian di Teluk Humboldt dan Sarmi

Kunst meneliti enam nyanyian yang direkam dari Teluk Humboldt dan Sarmi. Masing-masing menunjukkan perbedaan perkembangan. Ada dua nyanyian yang sangat sederhana, dua lagu yang masing-masing dibentuk secara bertangga oleh enam nada, dan satu lagu yang memakai jangkauan satu oktaf.

Nyanyian lain berjudul Mande dari Teluk Humboldt mirip suatu lagu kaum aborijin di Australia. Berkali-kali, ia melibatkan interval-interval setengahnada. Tapi interval ini tidak dipakai untuk membentuk melodinya; ia melatarbelakangi nyanyiannya.


Suatu nyanyian berjudul Tinguan dari Sarmi dibentuk oleh satu seperempat oktaf atau dua belas nada. Inilah lagu yang menurut Kunst paling bagus dari keenam nyanyian asal Teluk Humboldt dan Sarmi.

Rekaman notasi balok Kunst atas nyanyian ini menghasilkan 71 birama. Karena akan memakan ruang yang besar, notasi lengkap nyanyian ini tidak akan dimuat.

Skema jangkauan melodik dan tangganada Tinguan, dalam tangganada diatonik mayor C, demikian:

Apa penilaian Kunst tentang cara penyanyi dari Teluk Humboldt membawakan nyanyian-nyanyian mereka? Cara nyanyi mereka ceroboh dan kasar pada pendengaran orang Barat. Suara-suara mereka kasar dan tidak terlatih.Namun, lagu Tinguan yang mereka nyanyikan punya daya pesonanya sendiri. Jenis biramanya berubah-ubah, awal lagunya yang diulang-ulangi kokoh, pola ritmenya hidup, dan klimaksnya - tidak lazim dalam musik Papua - adalah suatu nyanyian yang ceria untuk pesta. Selain itu, nyanyian ini menimbulkan kesan tentang adanya modulasi atau pergantian kunci pada telinga pendengar Barat.

Lapisan Peradaban yang Mana?

Kunst memakai istilah “peradaban” dan “kebudayaan” ketika dia mencoba menjelaskan ada tidaknya pengaruh luar terhadap musik tradisional di Nieuw Guinea. Dia membayangkan pengaruh ini sebagai lapisan dan, karena itu, dia ingin tahu lapisan peradaban manakah yang mengendap di dasar paling bawah dari musik tradisional Papua. Dia menduga musik ini sudah dipengaruhi berbagai lapisan peradaban.

Kata “peradaban” mencakup kebudayaan, kemajuan; akhlak, kesopanan, moral. Kata “budaya” berarti akal budi, pikiran; adat, kebiasaan. Sementara itu, kata “kebudayaan” bisa berarti peradaban.

Dalam hubungan dengan musik tradisional di Nieuw Guinea, istilah “peradaban” yang Kunst pakai berarti budaya, kebudayaan, tingkat kemajuan. Makna inilah yang ada dalam frasa “lapisan peradaban”, suatu frasa dari Kunst.

Lapisan peradaban manakah yang sudah membentuk lapisan endapan dalam musik tradisional Papua di Nieuw Guinea? Belum bisa dipastikan, jawab Kunst. Nyanyian-nyanyian Papua yang sudah direkam dan diteliti belum cukup untuk menentukan lapisan satu budaya atau kebudayaan.

Berdasarkan info pada zamannya, Kunst mengajukan beberapa dugaan cerdas. Lapisan peradaban paling tua dari musik tampaknya adalah musik tipe Australia sebagaimana yang ditemukan di antara penduduk asli Australia. Ciri-cirinya ditemukan dalam nyanyian suku Kauwerawet di pedalaman dan dalam sebagian nyanyian dari pulau Yapen. Sesudah itu, mengendaplah lapisan peradaban Negrito yang membudayakan musik fenfer, terutama di antara suku-suku Pegunungan Tengah. Lapisan peradaban yang menyusul berasal dari Melanesia dan meninggalkan endapannya pada musik tradisional Papua, seperti di Papua New Guinea. (Kini diketahui endapan peradaban Melanesia ada juga pada musik tradisional penduduk Papua di pesisir, seperti di Papua bagian utara.) Akhirnya, lapisan peradaban Melayu-Polinesia meninggalkan endapan pelog, interval setengahnada, dan instrumen musikal seperti rebana, kecapi, dan gong pada musik tradisional Papua di Nieuw Guinea bagian utara dan baratdaya. Akan tetapi, lapisan-lapisan ini tumpang-tindih. Semua dugaan cerdas Kunst ini tentu bisa berubah kalau ada penelitian lanjutan yang menyingkapkan fakta-fakta dan teori-teori baru.

Pada zamannya, Dr. J. Kunst sudah kuatir tentang akibat mengabaikan penelitian tentang dan rekaman lanjutan dari musik tradisional Papua di Nieuw Guinea. Hal yang utama sekarang ini, katanya, adalah mendokumentasikan (melalui penelitian lapangan, sketsa, gambar, foto, dan rekaman nyanyian) musik tradisional Papua. Kalau terlambat, maka gelombang peradaban modern dari Barat bisa menyapu bersih musik asli itu dan menafikan dokumentasinya. Tentang dokumentasi ini, Kunst menyatakan: "Inilah satu-satunya cara musikologi mampu menyumbang pada suatu pengetahuan yang lebih luas dan handal tentang ras-ras dan kebudayaan yang menghasilkan orang Papua dan peradabannya."

Read More....

09 Juni 2008

8. Apa yang Bisa Dikembangkan?

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Untuk mengembangkan musik modern khas Papua, musikus perlu melakukan seleksi dan modifikasi. Tidak semua ciri musik tradisional Papua cocok untuk abad ke-21. Melodi yang pendek dan sangat sederhana dan yang arah geraknya monoton – seperti yang mulai dengan nada paling tinggi lalu berakhir dengan nada paling rendah – cepat menjemukan ketika didengar. Pencipta musik populer modern yang kuat ritmenya – seperti reggae, disko, rock ‘n roll, samba, salsa, dan chachacha – boleh dikatakan mustahil mengembangkan iramanya kalau jenis birama idiom ini berubah-ubah dalam satu lagu, seperti dari 2/4 ke 4/4 ke 3/4 lalu ke 4/4. Lebih lagi, setiap idiom musikal modern ini punya versi dansanya yang dikembangkan hanya berdasarkan satu jenis birama saja. Gerak pedansa karena itu akan terganggu kalau lagunya berubah-ubah irama sesuai perubahan jenis biramanya, apalagi memakai jenis birama yang langka, seperti 9/4 dan 4/8. Semua idiom ini umumnya memakai jenis birama 4/4, kemudian 3/4, dan ada kalanya 2/4. Karena itu, kecenderungan musik tradisional Papua berganti jenis birama berkali-kali, termasuk jenis birama yang tidak lazim, tidak praktis dalam penciptaan idiom populer. Nyanyian gereja masa kini pun jarang memakai pergantian jenis birama. Kalau lagu-lagu tradisional yang memakai lebih dari satu jenis matra tadi ingin dimodernisasi, musikus sebaiknya melakukan modifikasi dengan memakai hanya satu jenis birama saja. Jadi, seleksi dan modifikasi musik tradisional Papua memang perlu demi memampukannnya menjadi bagian dari musik abad ke-21 secara nasional dan internasional.
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Untuk mengembangkan musik modern khas Papua, musikus perlu melakukan seleksi dan modifikasi. Tidak semua ciri musik tradisional Papua cocok untuk abad ke-21. Melodi yang pendek dan sangat sederhana dan yang arah geraknya monoton – seperti yang mulai dengan nada paling tinggi lalu berakhir dengan nada paling rendah – cepat menjemukan ketika didengar. Pencipta musik populer modern yang kuat ritmenya – seperti reggae, disko, rock ‘n roll, samba, salsa, dan chachacha – boleh dikatakan mustahil mengembangkan iramanya kalau jenis birama idiom ini berubah-ubah dalam satu lagu, seperti dari 2/4 ke 4/4 ke 3/4 lalu ke 4/4. Lebih lagi, setiap idiom musikal modern ini punya versi dansanya yang dikembangkan hanya berdasarkan satu jenis birama saja. Gerak pedansa karena itu akan terganggu kalau lagunya berubah-ubah irama sesuai perubahan jenis biramanya, apalagi memakai jenis birama yang langka, seperti 9/4 dan 4/8. Semua idiom ini umumnya memakai jenis birama 4/4, kemudian 3/4, dan ada kalanya 2/4. Karena itu, kecenderungan musik tradisional Papua berganti jenis birama berkali-kali, termasuk jenis birama yang tidak lazim, tidak praktis dalam penciptaan idiom populer. Nyanyian gereja masa kini pun jarang memakai pergantian jenis birama. Kalau lagu-lagu tradisional yang memakai lebih dari satu jenis matra tadi ingin dimodernisasi, musikus sebaiknya melakukan modifikasi dengan memakai hanya satu jenis birama saja. Jadi, seleksi dan modifikasi musik tradisional Papua memang perlu demi memampukannnya menjadi bagian dari musik abad ke-21 secara nasional dan internasional.

Ciri-ciri manakah yang bisa diseleksi dan dimodifikasi? Usul-usul berikut bersifat pribadi.

Pertama, kembangkanlah nyanyian khas Papua dengan mengutamakan satu jenis birama saja. Pilihlah jenis birama yang lazim dalam musik masa kini, seperti 2/4, 3/4, 4/4, 6/4, 3/8, 6/8, dan 9/8. Kemudian, tentukanlah satu jenis birama untuk lagu-lagu tradisional yang memakai lebih dari satu jenis birama. Langkah ini akan mempermudah penyerapan musik modern khas Papua ke dalam musik nasional dan internasional, terutama musiik pop, masa kini. Kekecualian tentu ada. Kalau suatu lagu tradisional Papua ingin dikembangkan menjadi lagu yang bebas matra seperti nyanyian mazmur atau nyanyian Gregorian, musikus bisa melakukan penyesuaian.

Kedua, lagu-lagu triadik berbentuk fenfer dari suku Awembiak dan Dem tampaknya mudah dikembangkan menjadi lagu-lagu modern. Melodi triadik fenfer lazim dalam musik militer modern Barat. Ia juga bisa kita telusuri pada frasa-frasa musikal berbagai lagu kebangsaan modern dan bahkan dalam beberapa lagu gereja terkenal. Dalam lagu-lagu perjuangan Indonesia, fragmen triadik fenfer bisa kita dengar dalam bagian awal Maju Tak Gentar tempat orang menyanyikan penggalan kalimat, “Maju tak gentar” dan dalam bagian awal Dari Barat Sampai ke Timur tempat orang menyanyikan penggalan kalimat lain: “Dari Barat sampai ke Timur, berjajar”. Ia terdengar pada awal lagu kebangsaan Perancis dan awal lagu gereja, Hai Bangkit bagi Yesus – nyanyian aslinya, Stand Up, Stand Up for Jesus – tempat jemaat menyanyikan penggalan larik bait satu, “Hai bangkit bagi Yesus, pahlawan.” Fragmen-fragmen melodi triadik fenfer ini lalu diolah secara kreatif mengikuti aturan-aturan musikal tertentu dan menjadikannya lagu-lagu terkenal di Indonesia, Perancis, dan dalam ibadah-ibadah gereja Kristen di seluruh dunia. Jelas, potensi untuk mengembangkan lagu-lagu triadik fenfer Awembiak dan Dem menjadi modern ada.

Ketiga, pola ritme khas nyanyian-nyanyian tradisional Papua perlu dikembangkan dengan hati-hati. Ini demi mempertahankan ritme khas Papua. Tanpa ritme khas, musik Papua yang dimodernisasi kehilangan identitas khasnya karena tidak berbeda dengan ritme musik lain. Musik vokal tradisional berisi ritme yang dipengaruhi syair atau kata-kata suatu bahasa dan, sampai batas tertentu, irama alam. Kata-kata yang dipilih untuk melodi tradisional berisi tekanan suku kata (ada suku kata yang diucapkan lebih nyaring dari suku kata lain), intonasi (tinggi-rendahnya suara yang mengucapkan rangkaian kata bermakna), tempo (cepat-lambatnya suatu rangkaian kata bermakna diucapkan), instrumen musikal yang dipakai, dan – dalam kasus-kasus tertentu – imitasi suara alam, seperti suara hewan dan kicauan burung. Setiap bahasa dan lingkungan alam yang berbeda menghasilkan ritme yang berbeda. Karena itu, musikus yang ingin mengolah ritme khas Papua mesti menyerap ritme khas itu sebelum menciptakannya kembali dalam musik modern khas Papua.

Keempat, musikus perlu juga mengembangkan melodi khas Papua. Karena ritme adalah salah satu komponen penting melodi, musikus perlu mempelajari kaitan antara ritme dan bangunan melodik khas Papua. Kombinasi not-not dengan berbagai nilai dan pemakaian triul pendek dan sejenisnya perlu dipelajari secara teliti sebelum musikus menciptakan kembali pola ritme khas Papua.

Kelima, bangunan melodik ditentukan juga oleh jenis tangganada, jangkauan nada, dan bentuk melodik yang dipakai. Ada, misalnya, tangganada tradisional empat not – sol, sa, do, ri – yang mendasari bangunan melodik lagu Huembello dan tangganada lima not – do, re, mi, sol, la – yang mendasari lagu Yamko Rambe Yamko, Diru-Diru Nina, dan Gembala Baik Bersuling nan Merdu. Masih ada jenis tangganada tradisional lain yang belum diolah menjadi lagu khas Papua, sebagian akan dijelaskan dalam tulisan mendatang. Jangkauan nada nyanyian tradisional satu oktaf, kurang atau lebih dari itu. Lagu Papua modern bisa memakai berbagai jangkauan nada sesuai kebutuhan. Bentuk melodik yang sering muncul dalam lagu-lagu tradisional Papua yang dibicarakan sejauh ini adalah bentuk strofik. Bentuk ini ada juga dalam musik modern; jadi, musikus yang menciptakan kembali musik Papua bisa memanfaatkan bentuk-bentuk strofik modern ini.

Keenam, teknik menyanyi yang melibatkan presentor dan koor dari suku Dem perlu dikembangkan. Teknik ini bisa memberi kesegaran pada musik pop sekuler, musik pop Kristen, dan musik gereja.

Ketujuh, munculnya pemakaian jenis birama 3/8, 6/8, dan 9/8 berkali-kali dalam melodi tradisional Papua adalah suatu gejala musikal yang menarik. Ini bukan karena jenis-jenis birama ini khas Papua; musik modern sering memakainya. Rasanya ini termasuk jenis birama favorit pencipta lagu tradisional Papua. Kalau memang disukai, apa yang menyebabkan para pencipta lagu tradisional menyukainya? Tidak gampang menjawab pertanyaan ini. Ritme adalah suatu gerak abadi dari alam, di sekitar dan di dalam diri manusia pencipta musik. Oleh pengaruh faktor-faktor yang sulit dijelaskan, para pencipta lagu tradisional Papua didorong oleh daya ciptanya, bisa spontan bisa direncanakan, untuk memilih ketiga jenis birama tadi dan pola ritme yang menyertainya. Pilihan ini punya makna afektif, makna emosional, yang mereka sukai.

Kalau ketiga jenis birama tadi memang disukai para pencipta lagu tradisional, musikus modern bisa menciptakan kembali melodi tradisional Papua dengan memakai salah satu dari ketiganya. Karena lagu-lagu gereja modern sering memakai salah satu dari ketiga jenis birama tadi, melodi khas Papua untuk gereja berdasarkan salah satu jenis birama tersebut rasanya mudah diciptakan kembali. Tapi tampaknya tidak mudah memakai jenis birama tadi dalam musik pop masa kini yang umumnya diciptakan dengan memakai jenis birama 4/4, 2/4, dan 3/4. Ini membuka peluang yang menantang bagi musikus Papua atau non-Papua untuk menciptakan kembali lagu-lagu pop modern khas Papua yang memakai jenis birama 3/8, 6/8, atau 9/8. Hanya musikus yang kreatif dan gigih yang bisa menjadi trend setter musik pop baru dari Papua, musik pop berdasarkan salah satu dari ketiga jenis birama tadi.

Kedelapan, penggunaan reduplikasi, vokalisasi khas Pegunungan Tengah yang memakai selingan bunyi o a o a, dan pilihan kata yang menghasilkan bunyi yang enak didengar perlu dipelajari dan dipakai dalam musik Papua modern. Ciri-ciri ini bisa memperkuat ciri khas musik ini.

Kesembilan, frasa-frasa atau fragmen-fragmen melodik suku-suku pegunungan dan beberapa suku pesisir seperti yang sudah dijelaskan bisa dikembangkan dalam musik pop modern, seperti disko. Ada potensi besar dari melodi-melodi pendek itu untuk dikembangkan menjadi musik modern.

Ada jenis disko modern yang mengandalkan ritme yang kuat tapi memakai melodi-melodi pendek sebagai bagian dari irama disko. Dua contoh dicatat dari rekaman disko D.J. Mangoo dalam http://www.mp3.com/mangoo, yaitu, Screw Me dan Sad Memory. Kedua lagu ini pendek dan sederhana; akord yang dipakai pun mendasar. Ukuran dan kesederhanaan kedua lagu Mangoo tidak beda banyak dengan yang dinyanyikan suku-suku pegunungan dan beberapa suku pesisir di Nieuw Guinea. Tapi Mangoo bisa mengembangkannya menjadi lagu disko yang menarik.


Tangganada memakai tujuh not – sol-la-si-do-re-mi-fa – sementara melodi dasar di awal lagu mencakup empat not: si-do-mi-fa. Nanti dalam pengembangan lanjutannya, Anda mendengarkan tangganada lengkap yang mendasari variasi yang cepat, lincah, dan menawan dari melodi yang dikembangkan. Melodi yang dikembangkan dimulai dari birama 5 dan berakhir pada birama 8. Mulai dari birama 13, Anda memperhatikan pengembangan lanjutan melodi pertama dengan menambah not-not yang bernilai lebih kecil tapi yang tetap ada dalam akord-akord yang dipakai. Dalam permainan asli lagu disko ini, Anda akan mendengarkan variasi melodik yang lebih banyak.


Tabuhan drum lagu disko ini mengikuti matra atau ketukan dasar lagu. Ia ditingkahi petikan bas yang kedengaran setengah ketukan sesudah tabuhan drum. Kombinasi drum dan bas macam ini menghasilkan bunyi pukulan dasar mirip pukulan tifa di Teluk Cenderawasih.

Tangganada lagu disko ini memakai enam not: re-mi-sol-la-si-do. Seperti lagu-lagu tradisional di Papua, melodi dasarnya pendek dan sederhana. Ketukan pertama dan kedua setiap birama melodi dasar diisi not. Tapi dalam melodi yang dikembangkan berdasarkan melodi dasar, penundaan selama dua ketukan diikuti not yang ditahan selama 4 dan 6 ketukan melintasi dua birama bisa Anda amati, misalnya, pada birama 7, 8, 9, 10, dan 11. Birama 18 dan 19 adalah variasi birama 10 dan 11. Akord-akord yang dipakai adalah juga akord-akord dasar. Tapi melodi disko yang asli karya D.J. Mangoo lebih bervariasi dari yang dijelaskan di sini.

Yang menarik dari lagu disko ini ialah pemakaian instrumen musikal yang menghasilkan bunyi mirip harpa Yahudi di Papua. Ritme ini yang diperkuat pukulan drum dan petikan bas khas disko menimbulkan asosiasi pada suatu suguhan modern melodi Papua yang diiringi pukulan tifa dan petikan bas khas.

Selain dalam musik disko modern, melodi pendek dipakai juga dalam musik rap. Corak musik pop modern ini menggabungkan antara nyanyian berdasarkan melodi yang pendek dan kata-kata yang diucapkan secara agak melodik dan ritmik.

Belum ditemukan musik mirip rap dalam musik tradisional Papua. Tapi melodi-melodi pendek dalam musik etnik ini bisa dikembangkan secara kreatif berdasarkan ciri-ciri khas melodi, ritme musikal dan bahasa daerah atau dialek Indonesia-Papua menjadi musik rap khas Papua.

Dengan belajar dari melodi-melodi yang pendek dan sederhana yang bisa dikembangkan menjadi menarik dan bahkan menawan oleh Mangoo dan musik rap khas Papua, musikus Papua sekarang ditantang untuk mengolah kembali melodi-melodi tradisional dan pendek itu menjadi lagu-lagu modern. Seingat saya, the Black Brothers memelopori modernisasi melodi-melodi Papua macam ini, dan melodi-melodi pendek lain dari Pasifik, terutama sesudah mereka tinggal di luar negeri. Huembello yang dibentuk dari empat not dikembangkan menjadi menawan karena menggabungkan antara musik pop Barat dan Papua. Ada, misalnya, suara-suara “rimba raya” khas Papua yang terdengar bercampur dengan musik modern.

Kepeloporan mereka layak dilanjutkan oleh musikus Papua yang lain. Bahan-bahan dasarnya sudah ada – melodi-melodi asli berbagai suku di Papua. Siapa yang mau mengembangkannya?


Read More....

04 Juni 2008

7. Ciri-Ciri Lain Nyanyian Suku Pegunungan

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Apa ciri-ciri lain nyanyian di Nieuw Guinea, seperti yang diuraikan J. Kunst? Ciri-ciri ini mencakup melodi dan syair dan diteliti pada musik Kauwerawet, orang Papua Mamberamo, suku-suku pegunungan tengah, penduduk Merauke, dan suku-suku katai di Lembah Swart. Untuk pemahaman yang lebih luas, Kunst membandingkan musik suku-suku ini dengan yang terdapat di pesisir Nieuw Guinea, Papua New Guinea, dan Asia bagian timur.

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Apa ciri-ciri lain nyanyian di Nieuw Guinea, seperti yang diuraikan J. Kunst? Ciri-ciri ini mencakup melodi dan syair dan diteliti pada musik Kauwerawet, orang Papua Mamberamo, suku-suku pegunungan tengah, penduduk Merauke, dan suku-suku katai di Lembah Swart. Untuk pemahaman yang lebih luas, Kunst membandingkan musik suku-suku ini dengan yang terdapat di pesisir Nieuw Guinea, Papua New Guinea, dan Asia bagian timur.

Ciri-Ciri Nyanyian Kauwerawet dan Awembiak

Nyanyian-nyanyian Kauwerawet menunjukkan empat ciri. Nyanyian mereka memakai tangganada pentatonik, gerak melodi menuruni tangganada, not kunci yang lebih rendah mengakhiri lagu, dan syair lagu memakai paralelisme.

Dalam paralelisme, ejaan dan bunyi kata-kata awal dua larik sama tapi berbeda di kata-kata akhirnya. Kata-kata awal setiap larik bisasepasang dan merupakan pengulangan kata yang sama atau pengulangan kata kedua. Bisa juga ada satu kata bersuku kata banyak pada setiap larik yang bagian awalnya tidak sama tapi bagian akhirnya sama ejaan dan bunyinya.

Paralelisme

Bukan saja syair suku Kauwerawet melainkan juga syair nyanyian suku Awembiak berisi paralelisme. Nyanyian berjudul Yamo suku ini bisa memperjelas paralelisme.

Naga naga dewi wowai
Dega dega duwa wowai o a o
Mugu naga lu ambagage o
Asiloe naga naga duwang wae

Syair empat larik ini berisi paralelisme pada setiap pasangan lariknya. Pada pasangan larik pertama, kata naga-naga yang sama ejaan dan bunyinya berpasangan dengan kata dega-dega yang juga sama ejaan dan bunyinya. Demikian juga, ejaan dan bunyi kata-kata awal pasangan larik kedua mugu naga dan asilu naga-naga menunjukkan paralelisme pada kata naga dan perulangannya. Paralelisme ada juga pada akhir pasangan larik pertama: dewi wowai dan duwa wowai. Tapi pasangan kata-kata di akhir larik ketiga dan keempat tidak sama.

Dalam syair lain, pasangan kata awal tidak berbunyi sama di awal tapi di akhir. Ini khusus berlaku untuk kata-kata yang jumlah suku katanya lebih dari tiga, tampaknya adalah kata-kata majemuk. Suatu contoh diberikan Kunst berdasarkan suatu nyanyian suku Kauwerawet:

Mamakanane
Kerekanane

Vokalisasi

Bunyi o a o adalah selingan atau selaan berbentuk bunyi vokal (huruf hidup) “pengisi lowongan” dalam ritme bait. Ini mirip vokalisasi, yaitu, bunyi vokal pengisi lowongan dalam nyanyian pop modern, seperti o, oh, hm, uh, du, na, la, paparapap, cucua, dan lain-lain.

J. Kunst memandang bunyi selaan tadi sebagai suatu “keanehan” . Dr. P. Wirz yang memerhatikan keanehan ini mencoba menjelaskannya berdasarkan nyanyian-nyanyian suku Papua lain yang juga memakai bunyi selingan itu. Selama menyanyi, kata-kata tidak diucapkan dengan cara yang lazim tapi selalu berakhir dengan bunyi vokal. Wirz menduga ini suatu upaya penyanyi untuk memperkenalkan rima atau persajakan. Selain itu, kata-kata selalu berakhir dengan bunyi vokal karena pengaruh melodi.

Ciri-Ciri Lain Nyanyian Pegunungan Tengah

Selanjutnya, nyanyian suku-suku yang mendiami Pegunungan Tengah dikenal juga melalui ciri-ciri utama lain. Ciri-ciri apakah itu?

Upacara

Nyanyian mereka berhubungan dengan upacara. Nyanyian fenfer mereka secara khusus berhubungan dengan upacara.

Reduplikasi

Selain itu, nyanyian itu memanfaatkan reduplikasi, tampaknya untuk mempertinggi efek atau keindahan musikal melalui syair. Reduplikasi adalah pengulangan kata yang sama. Contoh reduplikasi dalam syair nyanyian dari Pegunungan Tengah: solu-solu, naga-naga, mina-mina, dega-dega, wae-wae-wae-wae,we u we-we u we, dan wi o-wi o.

Reduplikasi muncul juga dalam bahasa Indonesia. Sering, ia menunjukkan bentuk jamak suatu nomina tunggal, seperti seseorang (tunggal)-orang-orang (jamak), sebuah rumah-rumah-rumah, dan lain-lain. Ada kalanya reduplikasi dipakai untuk beberapa nomina yang bersifat tunggal atau jamak, seperti mata-mata dan agar-agar.

Bunyi “Klik” dengan Jari

Mereka juga mengiringi nyanyiannya dengan menghasilkan bunyi “klik” atau bunyi gemeretak dengan jari-jarinya. Iringan yang memanfaatkan anggota tubuh ini tampaknya langka dalam musik modern masa kini. Tapi iringan macam ini tidak unik. Sekitar tahun 1958, Tuan P. Kanaar asal Belanda, dokter leprosarium gereja di Manggurai, Teluk Wondama (sekarang bagian dari Provinsi Papua Barat), memutar film untuk umum di depan rumahnya di Wasior, “ibu kota” distrik Wondama waktu itu pada malam hari. Pemutaran film ini bagian dari perayaan 30 April, hari ulang tahun Ratu Yuliana, ratu Belanda waktu itu. Film hitam putih di layar tancap itu tentang musikus Amerika hitam yang bermain musik, tampaknya jazz. Pada suatu penampilan, mereka berhenti memainkan instrumen tiupnya dan menggantikannya secara ritmis dengan bunyi “klik” beberapa kali dengan jarinya sebelum mereka melanjutkan permainan musiknya.

Tremolo versus Vibrato

Yang juga menarik adalah teknik musikal Barat yang dikenal sebagai tremolo dalam suara-nyanyi suku-suku Pegunungan Tengah. Ini mirip vibrato dalam teknik nyanyi modern asal Barat.

Secara sederhana, vibrato dalam seni-nyanyi adalah turun-naiknya suara-nyanyi secara teratur dan cepat sesuai nada yang dinyanyikan dan volume suara yang dihasilkan. Dalam bahasa sehari-hari, vibrato disebut “getaran suara-nyanyi”. Not yang cocok untuk menghasilkan vibrato adalah not tunggal yang ditahan agak lama, semisal, dua sampai dengan delapan ketukan. Kalau not do selama empat ketukan Anda nyanyikan dengan teknik vibrato, Anda bisa menghasilkan pertukaran yang teratur dan cepat dari not do dan not lain setinggi bukan setengahnada (di) melainkan setinggi kira-kira seperempatnada (quarter step) – bunyi not antara do dan di – selama empat ketukan. Tingkat vibrato rata-rata antara 5 sampai dengan 9 pulsa (denyutan) per detik. Dalam nyanyian modern Barat, vibrato yang benar dihasilkan melalui diafragma, yaitu, melalui otot-otot perut – dengan dukungan kuat dari napas dan diafragma – yang mengaktifkan denyutan-denyutan. Denyutan-denyutan ini mengakibatkan udara mengalir melalui pita suara mengikuti gerak mirip gelombang.

Jenis vibrato vokal lain yang tidak dianjurkan dalam seni-nyanyi modern Barat disebut vibrato tenggorokan. Jenis getaran suara-nyanyi ini dihasilkan dengan mengutak-atik otot-otot tenggorokan supaya menggerakkan pangkal tenggorokan ke atas dan ke bawah. Gerakan turun-naik pangkal tenggorokan lalu menghasilkan tingginada yang juga turun-naik.

Tremolo dalam musik Barat adalah suatu teknik hiasan melodi yang lazimnya dipakai dalam musik instrumental, seperti instrumen dawai atau senar yang mencakup biola dan gitar. Dalam tremolo, dua not dengan tingginada yang berbeda dibunyikan secara berganti-gantian dan secepat-cepatnya. Lazimnya, kedua not itu membentuk interval kedua, seperti do-re, re-mi, mi-fa, fa-sol, dan seterusnya.

Tentu suku-suku Pegunungan Tengah yang membawakan nyanyiannya yang diteliti para ahli musik dari Barat tidak mengenal istilah untuk hiasan melodik dari Barat tadi. Sebaliknya, ahli musik itu mendengarkan suatu gejala musikal dalam nyanyian suku-suku tadi yang mereka identifikasi dalam ilmu musik Barat sebagai tremolo. Istilah ini menunjukkan bahwa ada teknik nyanyi suku-suku pedalaman itu yang di dalamnya dua not yang membentuk interval kedua dinyanyikan secara berganti-gantian dan secepat-cepatnya.

Ada beberapa ahli seni-nyanyi Barat yang secara keliru memakai istilah tremolo untuk apa yang sebenarnya adalah vibrato. Tapi pergantian dua not dalam teknik vibrato mengandalkan jarak interval yang jauh lebih kecil dari interval kedua sementara gejala musik vokal suku-suku Pegunungan Tengah tadi mesti melibatkan pergantian dua not dari interval kedua. Kalau pergantian dua not dari interval kedua itulah yang didengar para ahli musik Barat, maka istilah tremolo yang dipakai Kunst untuk mengidentifikasi teknik hiasan nyanyian itu memang benar.

Bagaimanakah para penyanyi Awembiak dan Dem menghasilkan tremolo? Mereka menghasilkannya melalui pangkal lidahnya ketika mereka menyanyikan not-not tunggal yang ditahan lama. Kalau mau dibandingkan dengan teknik vibrato, frasa “pangkal lidahnya” tampaknya mengacu pada vibrato tenggorokan yang sudah dijelaskan.

Desahan Aneh

Masih ada teknik nyanyi khas lain suku-suku pedalaman ini. Mereka menghubung-hubungkan larik-larik syair melalui desahan aneh. Desahan khas ini dihasilkan melalui napas yang disedot. Ada penyanyi yang sambil menyedot napas menutup matanya karena perasaan gembira yang meluap.

Keanekaragaman Ritmik

Nyanyian-nyanyian Pegunungan Tengah menunjukkan ciri lain: keanekaragaman ritmik. Ini khususnya ada pada syair nyanyian-nyanyian itu.

Syair lazimnya dibentuk dari kata-kata dan kata-kata dibentuk dari suku kata. Kata-kata bisa bersuku kata sedikit – ada satu sampai dengan tiga suku kata – atau bersuku kata banyak – ada lebih dari tiga suku kata.

Ritme musikal pada kata-kata ditentukan di antaranya oleh pergantian antara suku kata yang ditekan – diucapkan lebih nyaring – dan yang tidak ditekan – diucapkan kurang nyaring dan keteraturan tekanan itu. Ritme musikal dalam arti ini ditentukan juga oleh aturan baku tentang tekanan yang berlaku dalam bahasa lisan. Dalam bahasa Indonesia lisan, misalnya, kata-kata bersuku kata dua diberi tekanan pada suku kata pertama – seperti MA-ri, DU-duk, LA-par, BE-bas – atau pada suku kata kedua – seperti se-BAB, le-PAS, me-NANG. Kata-kata Indonesia bersuku kata tiga dan di atasnya terikat pada aturan tekanan yang lain. Untuk kata bersuku kata tiga, tekanan bisa diberikan pada suku kata kedua, seperti ke-MA-rin, di-PU-tar, meng-GA-li, ru-MAH-nya atau ru-mah-NYA. Untuk kata bersuku kata empat atau lebih, aturannya lain, yang biasanya ditekan adalah suku kata sebelum suku kata terakhir, seperti mem-ba-LIK-kan, di-per-ma-LU-kan, dan mem-per-ma-in-KAN-nya.

Banyak-tidaknya jumlah suku kata dalam suatu bahasa sudah diteliti para ahli. Ada bahasa yang selain kaya akan kata-kata bersuku kata banyak kaya juga akan kata-kata bersuku kata sedikit: bersuku kata satu, dua, dan tiga. Bahasa ini disebut bersifat monosilabik, secara harfiah berarti bersifat satu (mono) suku kata (silabik, dari kata Inggris syllabic). Bahasa Inggris bersifat monosilabik. Ada juga bahasa yang kaya akan kata-kata yang bersuku kata banyak tapi miskin kata-kata bersuku kata sedikit. Bahasa ini disebut bersifat polisilabik, secara harfiah berarti bersifat banyak (poli) suku kata (silabik). Bahasa Indonesia bersifat polisilabik.

Sifat monosilabik atau polisilabik suatu bahasa penting dalam penciptaan lagu, khususnya, syair lagu. Sifat ini memengaruhi penataan ritme dan matra lagu. Semakin sedikit jumlah suku kata yang membentuk suatu syair, semakin mudah musikus menata ritme dan matra suatu nyanyian; semakin banyak jumlah suku kata dalam suatu syair, semakin sulit musikus menata ritme dan matra suatu nyanyian. Kesulitan ini kentara ketika seorang penerjemah bahasa Indonesia yang polisilabik menerjemahkan syair suatu nyanyian asing yang bahasanya monosilabik, seperti bahasa Inggris. Demi keserasian antara tekanan melodik dan kata, dia akan mengalami kesulitan dalam menata ritme dan matra dari terjemahannya yang melibatkan kata-kata Indonesia bersuku kata banyak sebagai padanan kata-kata Inggris bersuku kata sedikit.

Demi kemudahan menata ritme dan matra lagu, kebanyakan pencipta lagu karena itu cenderung memakai kata-kata yang bersuku kata sedikit. Kata-kata ini biasanya tergolong pada bahasa lisan.

Anda yang ingin memperdalam pengetahuanmu tentang jumlah suku kata dalam syair bisa mempelajari syair-syair dalam dua buku nyanyian gereja yang memenuhi syarat tadi. Itulah Mazmur dan Nyanyian Rohani susunan I.S. Kijne dan Kidung Jemaat terbitan Yayasan Musik Gereja, Jakarta. Akan tetapi, syair-syair dalam kedua buku nyanyian jemaat ini bersifat baku resmi (formal standard) – mematuhi secara ketat aturan tatabahasa yang baik dan benar – sementara bahasa lisan bersifat baku takresmi (informal standard) – masih memakai aturan tatabahasa yang baik dan benar – atau nirbaku (non-standard), seperti dialek Indonesia yang dipakai di Papua yang kurang memerhatikan tatabahasa yang baik dan benar.

Ritme suatu nyanyian dalam arti modern dikatakan baik dan benar kalau ada keselarasan antara tekanan melodik dan kata. Sayangnya, banyak nyanyian di Indonesia menunjukkan konflik antara tekanan melodik dan kata. Sebagian syair dan lagu Burung Kakatua yang sudah dijelaskan menunjukkan suatu contoh tabrakan antara tekanan melodik dan kata.

Salah satu dugaan tentang penyebab ketidakselarasan tadi adalah ketidaktahuan pencipta lagu tentang aturan tentang keselarasan itu. Dengan kata lain, musikus itu tidak mengerti aturan musikal modern tentang keselarasan tersebut.

Dugaan lain adalah belum adanya aturan baku tentang tekanan kata dalam bahasa Indonesia. Ini mengakibatkan kata-kata yang bersuku kata banyak (polisilabik) bisa mengalami pergeseran tekanan karena berbagai alasan, seperti pengaruh bahasa daerah atau intonasi (“lagu” kalimat) bahasa daerah itu. Sewaktu-waktu, beberapa orang pendeta Kristen yang barangkali mendapat didikan dari dosen Belanda yang berbahasa Indonesia meniru tekanan kata yang keliru dari dosen itu kemudian hari ketika mereka berkhotbah di gereja. Anda lalu mendengar pergeseran tekanan kata seperti ini: di-per-mu-li-a-KAN-lah, DI-per-mu-li-a-KAN-lah, di-PER-mu-li-a-kan-LAH, atau DI-per-MU-lia-kan-LAH. Ucapan yang terakhir sering dipakai pendeta Indonesia yang meniru aksen Indonesia yang keliru dari dosen asal Belanda.

Pergeseran tekanan pada kata-kata bersuku kata banyak, seperti dalam contoh-contoh tadi, bisa menghasilkan apa yang Kunst istilahkan “keanekaragaman ritmik dari polisilabel” dalam syair nyanyian suku-suku Pegunungan Tengah. Entah dalam satu nyanyian atau dua nyanyian yang berbeda-beda, satu kata yang dipakai bisa mengalami pergeseran tekanan. Misalnya, kata nairoe – bersuku kata empat – diucapkan dalam suatu nyanyian dengan tiga macam tekanan: na-I-ro-e, na-i-ro-E, atau na-i-RO-e. Kata ambagage – empat suku kata – dalam dua nyanyian yang berbeda diucapkan sebagai am-ba-ga-GE dalam satu syair tapi sebagai AM-ba-ga-ge dalam syair lain.

Bahkan kata-kata bersuku kata sedikit pun mengalami pergeseran tekanan dalam syair nyanyian suku-suku pedalaman tadi. Dalam salah satu nyanyi, peneliti mendengarkan ucapan MI-na yang tekanannya bergeser menjadi mi-NA dalam nyanyian lain. Dalam satu nyanyian, satu kata bersuku kata dua diucapkan dengan dua tekanan yang berbeda: A-je dan a-JE.

Mengapa terjadi pergeseran tekanan kata dalam syair nyanyian suku-suku Pegunungan Tengah? Kunst tidak menjelaskan penyebabnya kecuali mengidentifikasi gejala pergeseran ini sebagai keanekaragaman ritmik dari kata-kata yang bersuku kata banyak dalam syair-syair itu (dan, sewaktu-waktu, dalam kata-kata yang bersuku kata sedikit).

Rima Akhir

Bukan hanya pergeseran tekanan yang diperhatikan Kunst. Dia juga memerhatikan rima (rhyme) dalam syair-syair nyanyian Pegunungan Tengah. Secara sederhana, rima adalah kesejajaran bunyi akhir, yaitu, bunyi akhir dari dua kata atau lebih. Istilah ini lazim dalam pelajaran puisi dan syair, bagian dari pelajaran sastra, dan juga dalam syair lagu. Rima dipengaruhi juga oleh tekanan ritmik dan metrik. Dua larik berikut berima di ujungnya karena ada kesejajaran bunyi kata terakhir dan ada keteraturan ritmik dan metriknya:

Angkat nyanyian Wayase
Sambil berdansa Wayase


Kata Wayase yang diulangi membentuk persamaan bunyi akhir kedua larik karena ejaan dan bunyinya sama. Kedua kata akhir ini membentuk apa yang disebut “rima akhir” (yang sempurna).

Apa rima akhir yang dipakai dalam nyanyian suku-suku pegunungan di Nieuw Guinea? Dalam satu nyanyian, rima akhir itu berbentuk bunyi huruf hidup yang sama di akhir tiga kata: wowai-ujuwi-ragiwi. Nyanyian lain berisi suatu rima akhir yang sejati: asiloe berima akhir dengan naga-naga duwang wae. Tapi nyanyian yang sama berisi juga suatu upaya untuk membentuk rima yang lebih primitif karena ia dibentuk oleh selingan bunyi – o: wowai o a o yang berima dengan ambagage o.

Bunyi Kata yang Enak Didengar

Kunst tidak menyoroti masalah penggabungan huruf dan suku kata untuk menghasilkan bunyi kata yang enak atau tak enak didengar dalam syair-syair nyanyian Pegunungan Tengah. Ciri yang tidak diteliti ini akan dilihat lebih jauh.

Enak dan tak enaknya bunyi kata yang didengar berkaitan dengan penulisan puisi dan merupakan bagian dari pelajaran sastra. Kualitas bunyi ini pun muncul dalam penulisan syair lagu. Dalam kesusastraan modern, setiap kualitas bunyi dinilai berdasarkan aturan-aturan tertentu.

Untuk mengungkapkan sesuatu yang indah, penyair yang terlatih menyeleksi kata-kata tentang obyek yang indah itu. Selain itu, dia menyeleksi kombinasi huruf dan suku kata yang menghasilkan bunyi yang enak untuk didengar. Istilah teknis dalam kesusastraan untuk kombinasi bunyi bermakna yang enak didengar adalah eufoni. Kata-kata yang merupakan gabungan huruf-huruf yang menghasilkan getaran suara atau yang diucapkan dengan mulut terbuka cenderung menghasilkan eufoni. Contoh: Diru-diru nina o a/ Sawate
diru nina, nina-nina o./

Kalau dia ingin mengungkapkan sesuatu yang jelek, buruk, atau jahat, dia menyeleksi juga kata-kata terkait dengan sorotannya dan kombinasi huruf dan suku kata yang menghasilkan kombinasi bunyi bermakna yang tak enak didengar. Istilah teknis dalam kesusastraan untuk bunyi bermakna yang tak enak untuk didengar adalah kakofoni. Ucapkanlah kalimat berikut dan rasakan apakah ia enak didengar atau tidak: Kuku kaki kakak kakek Kiki kaku. Menurut saya, pemakaian yang sangat banyak dari huruf k dan kombinasinya dengan bunyi vokal sesuai urutan tadi menimbulkan efek bunyi yang tak enak untuk didengar dan juga mempersulit ucapannya.

Apakah penyair nyanyian-nyanyian suku pegunungan di Nieuw Guinea mengenal juga apa yang dalam kesusastraan modern dari Barat disebut eufoni dan kakofoni? Karena tidak ada info tentang pokok ini, pertanyaan ini sepintas lalu kedengaran tidak bijaksana.

Tapi ada cara lain untuk menjawab pertanyaan tadi. Contoh-contoh syair dari pedalaman kita pelajari dengan memerhatikan kombinasi huruf dan suku katanya. Berdasarkan pengetahuan kita tentang ilmu bahasa (linguistik) modern dan ciri-ciri umum eufoni dan kakofoni dalam kesusastraan modern, kita berusaha menentukan apakah ada atau tidak ada eufoni dan kakofoni dalam syair-syair mereka.

Kita ambil sekali lagi syair Yamo dari suku Awembiak. Untuk kemudahan pemahaman, kita uraikan syair ini menjadi suku kata.

Na-ga na-ga de-wi wo-wa-i (9 suku kata)
De-ga de-ga du-wa wo-wa-i o a o (12 suku kata)
Mu-gu na-ga lu am-ba-ga-ge o (10 suku kata)
A-si-lo-e na-ga na-ga du-wang wa-e (12 suku kata)

Apa ciri-ciri syair tadi?
  • Kalau selingan bunyi dihitung juga sebagai suku kata, maka seluruh syair itu dibentuk oleh 43 suku kata. Suku kata yang diurutkan dari huruf mati ke huruf hidup – seperti na, ga, dan de – berjumlah 32, sekitar 74 persen dari total suku kata yang dipakai. Jumlah kedua terbesar dibentuk oleh suku kata satu huruf – semuanya huruf hidup – berjumlah 9, sekitar 20 persen dari jumlah total suku kata. Jumlah ini disusul 1 suku kata yang menggabungkan huruf hidup dan huruf mati, yaitu am, dan 1 suku kata yang huruf hidupnya diapit huruf mati: wang.
  • Kalau bunyi selingan pada larik kedua dan ketiga dikeluarkan, kita punya tiga larik yang jumlah suku katanya sama, masing-masing 9 suku kata. Ini mengakibatkan ritme ketiga larik pertama terdengar simetrik atau berimbang. Larik terakhir yang memakai 12 suku kata bisa dipandang sebagai variasi terhadap ketiga larik pertama.
  • Dengan tetap mengeluarkan bunyi selingan, syair tadi menunjukkan skema rima aabb. Skema ini dibentuk oleh rima kedua larik pertama yang berakhir dengan bunyi i – wowai, wowai – dan rima kedua larik terakhir yang berakhir dengan bunyi e – ambabage, wae.
  • Seluruh syair tadi memakai 12 macam huruf: 8 huruf mati (b, d, g, l, m, n, s, w) dan 4 huruf hidup (a, i, e, o). Kecuali s, semua huruf mati tergolong pada huruf mati bersuara. (Huruf mati jenis ini bisa Anda cek dengan mengucapkannya sambil meletakkan belakang telapak tanganmu pada tenggorokanmu. Getaran pita suara melalui tenggorokan yang Anda rasakan menunjukkan ciri bersuara dari huruf mati ini.) Semua huruf hidup bersuara.
  • Berapa tingginya frekuensi pemakaian huruf mati dan hidup dalam syair tadi? Huruf mati dari frekuensi yang paling tinggi sampai dengan yang paling rendah demikian: g 11 kali, w 7 kali, d 5 kali, n 4 kali, l dan m masing-masing 2 kali, dan b sekali. Huruf hidup dari frekuensi paling tinggi sampai dengan paling rendah demikian: a 21 kali, e dan o masing-masing 6 kali,dan i 4 kali. Huruf mati dan hidup yang bersuara yang menggetarkan selaput suara ketika menyanyi menonjolkan kualitas musikal syair tadi

Untuk memahami lebih baik kualitas bunyi yang enak didengar, kita seharusnya memahami juga makna syair itu dan mengapa ada kombinasi huruf semacam itu dalam kata-kata lagu. Karena tidak ada terjemahan syair itu, kita agak sulit menjelaskan kualitas bunyi syair itu. Kita juga tidak tahu apakah ada aturan khusus dalam seni mencipta syair suku-suku pegunungan yang menetapkan hubungan antara pilihan huruf dan keindahan bunyi kata. Penelitian Kunst sebagai rujukan kita tidak menyediakan data ini.

Kualitas bunyi bermakna dalam puisi modern adalah sarana untuk menyatukan bentuk (bentuk kata atau larik) dan makna. Dalam musik vokal modern, penyatuan ini melibatkan juga melodi. Penyatuan ini berdasarkan suatu aturan umum: bentuk mengikuti fungsi. Kalau suatu syair berfungsi untuk memuja roh leluhur dalam upacara tradisional, bentuk kata dan melodi disesuaikan untuk mendukung fungsi syairnya.

Karena kita tidak tahu arti syair Yamo, kita tidak bisa menjelaskan apakah maknanya punya suatu fungsi yang ditunjang oleh bentuk huruf dan suku kata yang dipilih dan oleh bentuk melodiknya. Melihat pilihan huruf dan suku kata yang tampaknya dipilih secara sengaja, kita merasa ada hubungan antara fungsi syair – untuk upacara – dan bentuk kata dan melodi yang dipilih. Hanya penelitian lanjutanlah yang akan membuktikan apakah dugaan ini benar atau meleset.

Apakah seluruh syair itu menghasilkan efek musikal yang enak didengar? Banyaknya bunyi huruf mati dan hidup yang bersuara, adanya perulangan bunyi vokal (huruf hidup) terutama pada larik pertama dan kedua, dan rima akhir pada syair itu menghasilkan bunyi musikal yang, menurut saya, enak didengar.


Bahasa Syair Tidak Seutuhnya Dipahami

Yang mengherankan, teks atau syair nyanyian-nyanyian suku pegunungan, terutama nyanyian untuk upacara, umumnya mereka pahami sebagian saja. Naskah itu “penuh kata-kata kuno, rusak atau menyimpang”. G. A. J. van der Sande memperjelas pengamatan yang cermat dari Kunst dengan menyoroti ciri ini pada nyanyian penduduk pesisir utara. Bahasa nyanyian penduduk Teluk Humboldt dan Seka di bagian barat teluk ini konon berasal dari bahasa kuno. Bahasa ini tidak lagi menjadi bahasa gaul dan hanya dipahami secara tidak utuh.

“Stratifikasi Musikal”

Semua ciri tadi dan ciri-ciri lain musik tradisional Pegunungan Tengah yang mencakup nyanyian-nyanyian untuk upacara dan nyanyian biasa menunjuk pada apa yang Kunst istilahkan “stratifikasi musikal”. Dengan kata lain, musik vokal ini menyiratkan tingkat-tingkat budaya musikal. Secara khusus, nyanyian untuk upacara suku-suku katai di Pegunungan Tengah sangat mirip dengan yang dinyanyikan penduduk Kepulauan Karesau, utara Papua Nugini masa kini. Nyanyian ini dibentuk oleh not-not triadik, sebagian menghasilkan nyanyian fenfer.

Tiga Dugaan Cerdas

Bagaimana sampai ada kemiripan nyanyian dari penduduk dua tempat yang letaknya berjauhan? Kunst mengajukan tiga dugaan cerdas.

Barangkali, nyanyian untuk upacara di Pegunungan Tengah diwariskan dari suku ke suku. Di masa lampau yang jauh, penduduk Karesau mewariskan nyanyian untuk upacara pada suku-suku pedalaman tadi; beberapa suku yang tinggal di antara Karesau dan Pegunungan Tengah diperkirakan sudah memiliki nyanyian-nyanyian yang sama. “Perkembangan budaya suku-suku pegunungan,” tulis Kunst, “sekurang-kurangnya tampak sangat homogen.”

Kalau dugaan pertama kurang tepat, ada dugaan kedua. Barangkali, penduduk Pegunungan Tengah dan Karesau pernah saling kontak lalu hidup bersama-sama di masa lampau. Karena komunikasi macam ini, nyanyian-nyanyian triadik tadi diwariskan oleh penduduk Karesau pada penduduk pegunungan di Nieuw Guinea.

Kalau kedua dugaan pertama belum pas, ada dugaan ketiga. Bisa saja musik “fenfer” penduduk Karesau dan Pegunungan Tengah masa kini menunjuk pada suatu pengaruh lain di masa lampau. Ada suatu peradaban khusus di masa lampau yang menyebar pada suatu kawasan yang lebih luas. Kemudian hari, peradaban itu dilanda oleh berbagai gelombang suatu kebudayaan yang lebih baru. Musik fenfer yang diwariskan peradaban ini meninggalkan suatu endapan musikal lebih tua yang muncul ke permukaan secara terserak-serak di suatu kawasan yang luas sesudah “digali” oleh para ahli musik Barat, termasuk Dr. J. Kunst dari Belanda. Endapan musikal dari peradaban itu lalu dilanda gelombang budaya musikal baru dari Melanesia dan Australia dan meninggalkan endapannya yang berusia lebih muda.

Tiga Pertanyaan Penting

Mana dari ketiga kemungkinan atau dugaan cerdas itu yang benar? Sebelum menjawab pertanyaan ini, Kunst mengatakan ada tiga pertanyaan penting yang harus dijawab secara memuaskan dan tuntas.

Pertama, apakah nyanyian-nyanyian fenfer tadi terdapat juga di antara suku-suku lain di dalam dan dekat Nieuw Guinea? Ya, jawab Kunst. Nyanyian-nyanyian fenfer terdapat juga di Bougainville di Kepulauan Solomon, pada penduduk Karesau, pada suku Kongara, dan pada suku Yabim di Finschhafen, semuanya di Papua New Guinea. Nyanyian-nyanyian itu ada dalam nyanyian-nyanyian untuk sihir di New Ireland pusat.

Kemiripan terdapat juga dalam naskah atau syair lagu penduduk Papua New Guinea tadi dengan yang ada di Pegunungan Tengah. Nyanyian-nyanyian itu dicirikan, misalnya, oleh duplikasi kata, penyelesaian naskah frasa melodik melalui vokalisasi bunyi huruf hidup sebagai pengganti kata-kata yang kurang pada melodi, pergeseran tekanan dari satu suku kata ke satu kata yang lain dalam kata yang sama, dan pemakaian rima akhir, yaitu persajakan di akhir larik, seperti dalam kata-kata wowai-ujuwi-ragiwi – masing-masing berakhir dengan bunyi i.

Kedua, nyanyian-nyanyian fenfer tadi harus dihubungkan dengan ras atau agen budaya yang mana? Dihubungkan dengan migrasi, jawab Kunst. Migrasi boleh jadi dari utara atau timurlaut Nieuw Guinea. Selain itu, nyanyian-nyanyian fenfer suku Awembiak dan Dem bisa juga dihubungkan dengan musik tiup penduduk Bougainville di Kepulauan Solomon. Penduduk pulau-pulau itu memakai seikat suling buluh berukuran sedang. (Ikatan suling ini yang terdapat juga di kawasan lain di Papua New Guinea dan Nieuw Guinea terdiri dari tiga, empat, lima, tujuh, atau delapan buluh.) Ujungnya yang ditiup punya lubang bundar yang berjejer secara merata. Ujungnya yang lain dipotong begitu rupa sehingga lubang yang dibentuk tampak lancip di ujung bawahnya; bagian bawah jejeran itu mulai dari ukuran paling panjang sampai dengan yang paling pendek, untuk menghasilkan berbagai nada. Ikatan suling buluh seperti ini mirip pan-pipe dalam musik modern Barat dan, karena itu, disebut suling pan-pipe. Nyanyian-nyanyian fenfer Bougainville barangkali dipengaruhi trinada dan balikan-balikannya yang dihasil suling pan-pipe yang ditiup musikus di sana. Tapi suling pan-pipe terdapat juga di kawasan lain di Papua New Guinea dan Nieuw Guinea, khususnya Merauke. Sementara nyanyian fenfer khas penduduk Karesau dan Pegunungan Tengah. Karena itu, sulit menetapkan hubungan antara nyanyian fenfer dan suling pan-pipe sebagai sumber penciptaan nyanyian fenfer karena jenis nyanyian ini terbatas pada penduduk kedua kawasan tadi. Karena itu, hubungan nyanyian fenfer di pedalaman Nieuw Guinea dengan migrasi dari arah Papua New Guinea sulit dipertahankan.

Ketiga, apakah ada kemungkinan menemukan penyebab adanya nyanyian-nyanyian fenfer itu? Kemungkinan itu ada.

Kalau bukan dari arah Timur, pengaruh terhadap nyanyian fenfer di Karesau dan Pegunungan Tengah dari mana ? Barangkali, dari Asia bagian timur, jawab Kunst. Suling pan-pipe, kata Kunst, produk suatu peradaban yang berkembang tinggi di Asia bagian timur. Diperkirakan suling ini dibawa suku-suku daratan Asia yang bermigrasi ke arah timur di masa lampau dan masuk ke Nieuw Guinea barangkali secara tidak langsung melalui pulau-pulau di Papua New Guinea. Suling pan-pipe tetap suatu unsur asing dalam budaya musikal Melanesia; ia tidak pernah diasimilasi ke dalam instrumen musikal Melanesia. Suling ini pun sulit diterima sebagai sumber penciptaan nyanyian fenfer Karesau dan Pegunungan Tengah. Nyanyian fenfer di kedua kawasan ini selalu bersifat ritual dan tidak sekalipun suling ini berperan sebagai instrumen musikal yang keramat atau untuk upacara. Sebagai aturan umum, suling tradisional di Nieuw Guinea digunakan untuk maksud-maksud upacara. Jadi, pengaruh suling pan-pipe suku-suku Asia yang bermigrasi ke Nieuw Guinea terhadap penciptaan nyanyian fenfer Karesau dan Pegunungan Tengah bisa diabaikan.

Asal Nyanyian Fenfer

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sudah dijelaskan, Kunst mengajukan suatu argumen tentang asal nyanyian fenfer di Karesau, Bougainville, New Ireland, dan Pegunungan Tengah. Argumen ini sekaligus menjawab pertanyaan sebelumnya: Bagaimana sampai ada kemiripan nyanyian dari penduduk dua tempat yang letaknya berjauhan?

Boleh jadi, nyanyian-nyanyian ini bukti kelangsungan suatu lapisan purba bawah dari suatu kebudayaan yang lazim pada kawasan-kawasan tadi. Kebudayaan itu adalah suatu peradaban utama yang pada kebanyakan tempat sudah digantikan oleh gelombang-gelombang budaya yang lebih muda, yang sudah melapisisnya.

Bentuk musikal kuno ini sudah ada dan berdampingan dengan musik yang berbeda dan lebih muda. Bagi suku-suku Pegunungan Tengah, nyanyian fenfer mereka tidak dipengaruhi suling pan-pipe sekalipun jenis suling ini menghasilkan melodi triadik. Kalau asumsi ini diterima, maka jelas bahwa musik kuno di Pegunungan Tengah tadi dan di kawasan lain di Papua New Guinea sudah dilestarikan sampai dengan abad ke-20 dan diteliti oleh Kunst dan ahli-ahli musik yang lain. Kawasan-kawasan tadi terlindung paling baik dari masuknya pengaruh asing dari luar. (Mungkin tidak lagi masa kini.)

Bentuk nyanyian ini boleh dipandang warisan budaya asli Papua dari Pegunungan Tengah. Dalam hubungan ini, Dr. P. Wirz yang meneliti suku-suku katai di Lembah Swart mengatakan bahwa jejak-jejak yang jelas dari salah satu lapisan budaya Australia dan Melanesia paling tua, suatu lapisan budaya negritik (budaya yang berciri ras negro atau ras hitam), ada di Nieuw Guinea bagian tengah.

Peradaban Negritik yang Lebih Tinggi

Menurut Kunst, lapisan budaya negritik ini bisa disebut suatu peradaban negritik yang primitif. Akan tetapi, dari sudut-pandang musikal, peradaban ini lebih tinggi dari kebudayaan-kebudayaan lebih muda yang mendesaknya ke pedalaman. Secara musikal, nyanyian-nyanyian fenfer suku-suku Awembiak dan Dem di Pegunungan Tengah lebih maju dari musik tipe Australia – yang juga terdapat di pesisir utara Nieuw Guinea – dan juga lebih maju dari kebanyakan gejala musikal yang ditemukan zaman Kunst di Nieuw Guinea.

Read More....