21 Juli 2008

14. Musik Suku Biak-Numfor (2)

Jadi, apa itu Koreri dan bagaimana hubungannya dengan nyanyian tradisional suku Biak-Numfor yang berisi penantian kembalinya Manseren Koreri dan dunia baru yang dibawanya bagi suku Biak-Numfor dan orang Papua lainnya? Dr. F.C. Kamma (1906-1987) adalah pakar yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini. Pengetahuannya tentang topik ini mendalam.

Koreri, Manseren Koreri, dan Gerakan-Gerakan Koreri

Dr. F. C. Kamma bukan saja seorang misionaris Protestan dari Gereja Hervormd Belanda yang bekerja di Nieuw Guinea. Dia adalah juga seorang ahli sosiologi dan ahli antropologi-budaya tamatan Universitas Leiden, Belanda. Selain itu, dia seorang ahli sejarah gereja.

Sebagai utusan Gereja Hervormd Belanda, dia dan isterinya bekerja di pantai utara Nieuw Guinea, khususnya di Genyem, Sorong, dan Hollandia - kini Jayapura. Mereka berdua tinggal juga di antara orang-orang Biak di daerah emigrasinya di Kepulauan Raja Ampat.

Konsep tentang Koreri dipahami Kamma melalui penelitian ilmiahnya yang mendalam tentang suatu mitos keramat orang Biak-Numfor. Itulah mitos tentang Manseren Koreri, tentang Tuhan Negara Bahagia. Kamma melakukan penelitian tentang mitos ini selama sepuluh tahun (antara 1932 dan 1942) ketika dia dan isterinya tinggal dan bekerja di antara imigran-imigran Biak di Raja Ampat. Dia bahkan menyaksikan tiga gerakan Koreri, yaitu gerakan di antara orang Biak yang percaya dan menantikan kembalinya semacam Ratu Adil mereka yang sebelumnya meninggalkan mereka dengan segala rahasia hidup dan kehidupan ala kondisi sorgawi. Dia akan kembali dengan menyingkapkan rahasia itu kepada mereka. Hasil penelitiannya menjadi suatu disertasi untuk mendapat gelar doktor dalam bidang kesusastraan dan filsafat pada Universitas Leiden tahun 1954: De Messiaanse Koreri-bewegingen in het Biaks-Numfoorse cultuur-gebied. Kamma lalu merevisi disertasi yang dinilai istimewa ini dan yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1972.

Suatu gerakan Koreri, demikian Kamma, baru dipahami kalau ia diteliti berdasarkan lingkungan budaya setempat. Tujuan penelitian Kamma adalah untuk memperjelas latar belakang gerakan Koreri, yaitu manusia dalam totalitasnya. Manusia dalam totalitasnya diungkapkan oleh kebudayaannya. Dengan demikian, inti masalah yang dibahas Kamma adalah semua segi kehidupan manusia yang dipermasalahkan.

Kamma menempatkan mitos tentang Tuhan Negara Bahagia suku Biak-Numfor dalam agama sebagai "wadah" agama. Menurut dia, suatu mitos adalah suatu "keyakinan" religius yang diungkapkan dalam bentuk drama dan lambang dan dibatasi oleh tradisi yang memantapkan dan menyertai masyarakat tradisional. Sebagai keyakinan religius, mitos mengandaikan adanya realitas adi alami (supernatural).

Apakah itu "keyakinan religius"? Itulah kepercayaan masyarakat Biak-Numfor akan adanya realitas ideal yang bertentangan dengan realitas faktual. Realitas faktual yang tidak disukai mendorong mereka merindukan dan mencoba mewujudkan realitas ideal.

Rasa tidak aman yang sangat tinggi dalam keberadaan faktual orang Biak-Numfor mendorong mereka mendambakan realitas ideal, tempat ada kebebasan dari kondisi hidup sehari-hari. Kenyataan faktual berisi banyak krisis hidup seperti penyakit dan kematian, tanah yang tidak subur, perang-perang pengayauan yang berdarah, wabah yang sewaktu-waktu mengorbankan ribuan orang, kuasa-kuasa gaib yang menimbulkan rasa takut, panen yang gagal karena serangan hama, cuaca yang buruk, ancaman perang dari satu klen terhadap klen yang lain, praktek sihir hitam, dan lain-lain. Eksistensi faktual yang tidak dicita-citakan penduduk Biak-Numfor ini menimbulkan reaksi negatif mereka; mereka tidak menyukainya dan, karena itu, ingin bebas dari kenyataan ini. Akan tetapi, keterbatasan pengetahuan dan kekuasaan lain dari kecendekiaan penduduk tidak memberi mereka kemungkinan yang lebih baik dalam dunia faktualnya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Pilihan yang mereka buat adalah dengan mencoba menerobos ke dalam realitas mitis, dunia ideal yang mereka yakini ada.

Eksistensi ideal ini berisi akhir dari rasa tidak aman mereka. Apa isinya? Kesuburan tanah, panen yang berlimpah-limpah, hidup yang sehat-walafiat, cuaca yang baik, perdamaian dan rasa damai, kebaikan, hidup yang kekal, dan hal-hal lain yang baik dan indah. Untuk mencapai kenyataan ideal ini, suku Biak-Numfor berusaha mewujudkan Koreri, semacam Negara Bahagia, dengan mencoba mentransendensi realitas faktual itu supaya realitas ideal bisa diwujudkan. Kenyataan ideal itu berada dalam pahlawan mitis mereka, Manseren Koreri, Tuhan Negara Bahagia.

Siapakah dia? Dia seorang leluhur tradisional atau leluhur yang sungguh ada dari suku Biak-Numfor. Leluhur ini mengejawantahkan (embody) banyak pahlawan mitis suku Papua ini. Dengan kata lain, dia adalah "konsentrasi dari banyak pahlawan mitis dari seluruh mitologi Biak." (Secara sederhana, mitologi berarti mitos-mitos kuno pada umumnya; mitos-mitos kuno suatu kebudayaan, masyarakat, dan lain-lain, khusus.) Dia seorang perantara atau penengah (mediator) antara Koreri sebagai realitas ideal dan kehidupan sehari-hari yang tidak disukai sebagai realitas faktual karena dia memiliki ikatan multak dengan Koreri.

Lalu, apa itu "gerakan Koreri"? Suatu gerakan Koreri, jawab Kamma, adalah suatu pemusatan kelompok kecil atau besar dari orang-orang yang percaya pada kembalinya Tuhan Negara Bahagia dan kondisi bahagia mirip sorga yang dibawanya dan dikenal dengan konsep Koreri. Mereka berkumpul untuk menantikan kembalinya sang pahlawan mitis dan dunia baru yang akan disingkapkannya. Untuk menyambut sang pahlawan dan kondisi baru yang menyusul, para penganut Koreri melakukan persiapan dengan menari beberapa malam berturut-turut pada pusat-pusat pertemuan tertentu. Suatu gerakan seperti itu dimulai oleh anggota-anggota suatu klen; tapi begitu menjadi terkenal, anggota-anggota klen lain dan bahkan komunitas masyarakat lain ikut bergabung.

Suatu gerakan Koreri timbul karena tampilnya seorang pelopor, pendahulu, perintis, atau semacam bentara yang disebut konoor. Dia memberi kesaksian bahwa dia memperoleh suatu penampakan Manseren Koreri melalui suatu penglihatan atau mimpi. Sang pahlawan mitis itu mengatakan padanya dia akan datang kembali. Kedatangannya kembali akan mencanangkan Koreri, suatu kondisi mirip sorga yang di dalamnya orang mati akan hidup kembali dan mereka yang masih hidup akan memasuki suatu kondisi keselamatan hidup yang utuh karena mereka akan mengalami perubahan hakekat hidup. "Satu masa kelimpahan akan tiba; 'harta' dan pangan menjadi milik setiap orang."

Untuk mempersiapkan dan mempercepat kedatangan kembali Tuhan Negara Bahagia, para penganut kepercayaan akan Koreri harus memberi perhatian pada seruan konoor. Mereka harus berkumpul pada suatu tempat yang diberitahukan perintis kedatangan kembali Tuhan Negara Bahagia. Mereka harus memberi upeti yang diinginkan pada bentara itu. Selain itu, mereka dilarang melakukan tindakan-tindakan yang dahulu mengakibatkan Manseren Koreri marah dan meninggalkan mereka, membawa serta semua rahasia hidup dan kehidupan yang mereka rindukan selama berabad-abad dan menyingkapkannya pada bangsa-bangsa Barat. Apa pantangan yang harus mereka pegang teguh itu? Mereka tidak boleh memelihara babi atau memakan dagingnya, tidak boleh menanam tanaman labu dan memetik serta memakan buah labu, dan mereka harus menunjukkan kepercayaannya pada sang Tuhan dengan menari selama beberapa malam berturut-turut.

Kepercayaan suku Biak-Numfor tadi diperkirakan sudah ada jauh sebelum kontak mereka dengan orang Barat. Publikasi paling pertama orang Barat tentang tokoh Manseren Koreri muncul Januari 1854. Tulisan-tulisan masa awal lain tentang tokoh mitis ini dan gerakan-gerakan penantiannya dari orang Barat lain muncul tahun 1855, 1857, dan 1862. Dalam disertasinya, Kamma menulis tentang kepercayaan akan Tuhan Negara Bahagia dan gerakan-gerakan yang ditimbulkannya di antara suku Biak-Numfor dan suku-suku lain di Teluk Geelvink - Teluk Dore, Teluk Wondama, Dusner, Windesi, Roon, Yapen, dan Kurudu - antara 1855 dan 1928. Gejala sosiologis ini dan gagasan eskatologis yang mendasarinya pun muncul di antara para imigran Biak di Kepulauan Raja Ampat, yaitu, di Kepulauan Ayau (1931, 1933, dan 1941); Amberdorpen di pulau Waigeo (1932); Batanta (1934); Pam (1936); dan Yefbo (1947). Kepercayaan ini dan gerakan-gerakannya muncul lagi di Biak, Numfor, dan Yapen antara 1938 dan 1943.

Salah satu pusat penting gerakan Koreri di Biak selama pendudukan Jepang atas Niew Guinea adalah Manswam di Biak Selatan. Para pendukung Koreri yang menginginkan bukan lagi Koreri melainkan kemerdekaan dari pendudukan Jepang mengadakan perlawanan bersenjata melawan tentara Jepang pada tanggal 10 Oktober 1943. Tentara Jepang menyerbu para pengikut Koreri dari darat dan dari laut melalui kapal perang. Tentara Koreri yang dipersenjatai parang dan tombak bertempur satu lawan satu melawan tentara Jepang yang memakai senapan dan sangkur. Banyak korban yang jatuh pada kedua belah pihak tapi akhirnya tentara Koreri mundur ke perbukitan sambil membawa serta dan mengibarkan bendera Koreri. Diperkirakan antara 600 dan 2.000 tentara Koreri dari Biak tewas dalam pertempuran di pantai Manswam. Pemimpin tentara Koreri, yaitu, ketiga bersaudara Yan Ronsumbre, Zadrach Ronsumbre, dan Kaleb Ronsumbre, ditangkap tentara Jepang dan dipancung kepalanya di Korido, Biak.

Mempermudah Pemahaman Anda

Sesudah memahami segi-segi relevan tertentu dari konsep tentang Koreri, kepercayaan penduduk Biak-Numfor dan suku-suku lain di Nieuw Guinea akan adanya Ratul Adil, dan gerakan-gerakan Koreri yang menurut berbagai sumber tertulis diketahui muncul antara 1854 dan 1943, Anda kini akan lebih mudah memahami berbagai nyanyian dan tarian untuk menyambut kedatangan kembali Tuhan Negara Bahagia dan negara bahagia yang akan diwujudkannya bagi suku Biak-Numfor dan suku-suku Papua lainnya. Topik ini akan dibicarakan dalam bab berikut.

Read More....

13 Juli 2008

13. Musik Suku Biak-Numfor (1)

Dr. J. Kunst tidak menulis secara khusus tentang musik etnik di Biak-Numfor. Ini barangkali karena dia tidak punya waktu yang cukup untuk mengadakan penelitian etnomusikologis di kawasan itu.

Tapi dalam dua kesempatan, dia menulis juga tentang musik tradisional dari Biak-Numfor. Pertama, dia memberi suatu catatan kaki tentang lagu berdayung orang Numfor yang dinyanyikan seperti kanon ketika dia membicarakan nyanyian rano dari pesisir Waropen. Kedua, dia memang mengadakan penelitian tentang musik tradisional imigran-imigran asal Biak di Kepulauan Raja Ampat, terutama dari suku Beser atau Besewer yang tinggal di pulau-pulau di Waigeo Barat, kebanyakan penduduk pulau Batanta, kebanyakan penduduk pesisir timurlaut Waigeo, dan semua penduduk kepulauan Ayau dan Kofiau. Dia juga mencatat beberapa instrumen musikal dari Biak-Numfor.

Akan ada suatu bab khusus tentang musik tradisional Papua dari Raja Ampat, termasuk dari imigran-imigran Biak di sana. Karena itu, pembicaraan tentang musik suku Biak-Numfor akan dibatasi pada lagu berdayung suku Numfor, suatu bagian dari suku Biak-Numfor, yang dicatat Kunst. Bab ini juga akan berisi pembicaraan tentang jenis-jenis nyanyian Biak-Numfor lain yang diteliti ahli-ahli lain.

Salah seorang ahli itu adalah Dr. F.C. Kamma. Dia sebenarnya bukan seorang ahli musik profesional. Dia seorang ahli sosiologi, antropologi-budaya, sejarah gereja, dan misionaris Gereja Hervormd Belanda yang sudah meneliti kebudayaan Biak-Numfor - termasuk kebudayaan imigran-imigran Biak-Numfor di Raja Ampat - secara rinci. Tapi Kamma meneliti nyanyian-nyanyian suku Biak-Numfor dalam hubungan dengan penelitiannya yang sangat mendalam dan istimewa tentang suatu gerakan yang menantikan selama berabad-abad kembalinya semacam Ratu Adil bagi suku Biak-Numfor dan orang Papua. Itulah gerakan Koreri yang menantikan kembalinya Manseren Koreri, Tuhan Negara Bahagia.

Ahli lain berasal dari Smithsonian Institute dari Amerika Serikat. Beberapa tahun yang lalu, mereka melakukan penelitian tentang musik tradisional Biak-Numfor dan merekamnya melalui CD.

Akan tetapi, hasil penelitian mereka akan dibahas kemudian. Bab berikut akan memberi perhatian pada konsep Koreri, gerakan yang timbul sebagai pelaksanaan konsep ini, dan nyanyian-nyanyian khusus untuk menyambut kembalinya Manseren Koreri. Bab lain akan menyoroti hasil penelitian Smithsonian Institute.

Musik Instrumental dari Biak-Numfor

Salah satu alat musikal yang dipakai di Biak-Numfor mirip sistrum. Sistrum adalah suatu instrumen perkusi kuno yang menghasilkan bunyi mirip bunyi kerincing. Bunyi ini dihasilkan serangkaian cincin yang berkerincing pada suatu kerangka logam ketika instrumen itu diguncang-guncang.

Jenis sistrum yang terdapat di Biak disebut sistrum hiu. Di Sentani dan Teluk Humboldt, instrumen musikal ini dibuat dari rangkaian buah kering atau kulit kerang tertentu yang menghasilkan bunyi kertak-kertuk, kertak-kertak, atau giring-giring. Rangkaian ini bergelantungan seperti mangga berukuran kecil dan diikat pada suatu tangkai atau batang atau dari beberapa kulit kerang yang dikaitkan melalui seutas tali kecil pada tali pengikat di badan, menghasilkan bunyi tadi ketika pemakainya barangkali menari. Apakah sistrum hiu sama dengan yang dipakai di Sentani dan Teluk Humboldt? Kunst tidak merinci penjelasannya. Tampaknya, instrumen perkusi ini dibuat dari rangkaian kulit kerang dengan ujung yang tajam yang mengingatkan kita pada gigi ikan hiu; karena itu, ia disebut "sistrum hiu." Di Biak, sistrum hiu disebut sekekas atau tobek.

Sistrum hiu tidak khas Biak. Ia terdapat juga dengan berbagai nama di kawasan lain di Hindia Belanda, seperti orok-orok di Pulau Bangka dan uruk-uruk di Pulau Natuna. Ia terdapat juga di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara; tapi namanya tidak disebutkan Kunst.

Di samping sistrum hiu, penduduk Biak memakai juga harpa yahudi, disebut songer. Alat musik ini dibuat dari bambu atau dari kulit keras sejenis pohon palma yang bertumbuh liar di hutan.

Suatu variasi sistrum yang dipakai khusus oleh wanita di Biak untuk menari disebut korobow. Ia terdiri dari serangkai kulit kerang yang disatukan pada seutas tali yang dikalungkan di leher para wanita. Ketika menari, rangkaian kulit kerang itu menghasilkan bunyi kertak-kertuk.

Selain itu, para penari lelaki di Biak memakai tongkat dan tombak untuk tarian tradisionalnya. Tongkat dan tombak itu diketuk-ketuk secara ritmik - misalnya, di lantai rumah panggung dekat laut - untuk mengiringi tarian mereka.

Sebagaimana lazimnya di Teluk Geelvink, suku Biak-Numfor pun memakai gong sebagai alat musik lain. Dr. J. Kunst menduga gong diimpor dari luar Nieuw Guinea, boleh jadi dari Tidore di Maluku Utara antara abad ke-16 dan awal abad ke-20.

Tidak ketinggalan tifa dengan berbagai ukuran, bentuk, ukiran, dan kualitas bunyi yang dipakai secara luas di Nieuw Guinea dipakai juga di Biak-Numfor. Bermacam-macam tifa ini diberi bermacam-macam nama di Kepulauan Biak-Numfor dan kawasan imigrasinya di Raja Ampat. Ada, misalnya, timur, tiban, imbah, sadip atau sandip, silip, alip, hirere, dan roiberok.

Kordofon, alat musikal yang menghasilkan bunyinya melalui dawai yang bergetar, dan terdapat juga di Biak-Numfor, menunjukkan pengaruh dari Maluku. Ada sejenis kecapi berdawai satu asal Maluku yang dipakai di kawasan ini dan disebut arababu. Terdapat juga alat musik berdawai satu yang dibuat dari bambu dan menghasilkan vibrasinya dari bambu itu yang disebut mambabores.

Dalam menanti kedatangan kembali Manseren Koreri, orang Biak-Numfor masa lampau yang percaya kepadanya menyanyi sambil menari. Tifa jelas mereka gunakan sebagai iringan nyanyiannya dan Dr. Kamma mencatat pemakaian alat musik ini. Tapi Kamma tidak menjelaskan apakah mereka juga memakai alat-alat musikal lain yang sudah dijelaskan. Tapi dia atau ahli-ahli musik yang pernah meneliti musik tradisional suku Biak-Numfor tidak meninggalkan pemerian apa pun tentang pola ritme yang dihasilkan berbagai alat musik tradisional tadi.

Nyanyian Berdayung Suku Biak-Numfor

Ritme nyanyian untuk berdayung dari suku Biak-Numfor sama dengan yang sudah dijelaskan tentang ritme berdayung penduduk pesisir Waropen. Ritme ini pun sama untuk penduduk pesisir lain di Teluk Geelvink.

Cara menyanyi mirip kanon pun sama di antara suku-suku tadi. Yang berbeda adalah bahasa yang mereka pakai dan istilah-istilah yang merinci teknik menyanyi mirip kanon yang diketahui dari cara orang Biak-Numfor menyanyikan lagu berdayung.

Anda masih ingat bahwa rano, nama untuk lagu berdayung penduduk pesisir Waropen di Teluk Geelvink, dinyanyikan mirip kanon. Lagu berdayung dinyanyikan lelaki dewasa dalam perahu besar yang bisa memuat sampai dengan empat puluh orang dan mengadakan pelayaran yang jauh atau khusus. Kalau ada sebanyak pedayung itu dalam satu perahu besar, katakan separuhnya saling memacu dengan paruhan lainnya dalam menyanyikan lagu berdayung mirip kanon. Anggap saja bahwa kelompok pertama sebanyak dua puluh orang lelaki dewasa duduk di bagian depan dan kelompok kedua dengan jumlah yang sama duduk di bagian belakang perahu. Anggap saja bahwa lagu berdayung yang dibawakan terdiri dari satu bait yang diulang-ulangi. Katakan saja kelompok pertama mulai mengangkat lagu itu dan menyanyikan bagian awal bait itu. Sebelum mereka tiba di akhir bait, kelompok kedua menyanyikan bait yang sama dari awal. Kedengaran seakan-akan setiap kelompok saling mengejar, saling bersaing, saling mendorong untuk menyanyikan bait itu. Siklus ini berulang-ulang sampai berhenti karena salah satu kelompok berhenti menyanyi.

Lagu berdayung penduduk Pulau Roon pun mengenal teknik menyanyi mirip kanon yang dipakai di Biak-Numfor. Tampaknya, kemiripan tradisi lagu berdayung mereka dengan yang berlaku di Biak-Numfor mesti dicari pada sejarah masa lampau penduduk Roon.

Menurut Dr. F.C. Kamma, Roon adalah suatu tempat tinggal tua orang Numfor. Pernyataan dia ada benarnya. Sebenarnya, penduduk berbagai daerah sekitar Teluk Geelvink bercampur-baur di situ. Di Yende-Mena, kampung utama Roon, ada pada tahun 1950-an satu keluarga dari fam (marga) Rumsayor (aslinya, dari Teluk Dore, Manokwari); beberapa keluarga dari marga Inuri (aslinya, Inur dan berasal dari Sowek, Biak); dua keluarga dari fam Waromi (aslinya, dari Yapen); satu keluarga dari fam Rumbiak (aslinya, dari Biak); dan fam Rumadas yang ada juga di Teluk Dore. Di kampung-kampung lain di Roon, ada marga yang melalui namanya diperkirakan berasal dari luar Roon. Fam Betay dari kampung Syabes, misalnya, berarti "yang terhanyut" dalam bahasa Roon. Boleh jadi, mereka orang luar Roon, terdampar dengan perahunya dipulau itu satu-dua abad yang lalu dan sejak itu menjadi orang Roon. Ada juga marga Waropen dari kampung Waar; sepintas lalu, nama fam ini mengingatkan kita pada orang Waropen, dari kampung Ambumi di Teluk Wondama atau dari pesisir Waropen. Semuanya penduduk pesisir dan pulau dan berbahasa Roon, secara linguistik berkerabat dengan bahasa Biak-Numfor dan Numfor Doreri di Manokwari. Karena pertautan ini, tradisi lagu berdayung orang Roon boleh dikatakan tidak berbeda banyak dengan yang berlaku di Biak-Numfor dan Teluk Dore.

Ada teknik nyanyi khas lagu berdayung orang Roon, yang kedengaran di awal lagu. Begitu berada di laut yang berkarang, kelompok pertama - tidak selalu haruslah kelompok yang duduk di bagian depan perahu - mengangkat lagu berdayung dengan tempo agak lambat dan bebas, mirip nyanyian klasik Barat yang diberi catatan ad libitum, menyanyi sesukanya atau seenaknya tanpa terikat pada ketukan yang teratur. Biasanya, tempo seperti ini berlaku untuk semacam intro lagu berdayung. Intro ini pun bisa dinyanyikan secara bergantian antara satu kelompok pendayung dan kelompok pendayung lainnya. Tapi begitu mereka masuk ke dalam nyanyian utama, tempo lagu meningkat dan menjadi selaras dengan ritme dayung yang menarik massa air laut untuk mendorong perahu maju. Ritme ini selaras dengan satu ketukan dalam birama 4/4 dan temponya bisa sekitar 78-82 ketukan per menit. Kedua kelompok pendayung lalu menyanyikan dengan gaya kanon lagu dayungnya, lagu yang sering memakai kombinasi not bernilai seperempat dan seperenam belas dengan berbagai pola ritmik dan not melismatik, yaitu, serangkaian not yang dinyanyikan untuk satu suku kata atau kata bersuku kata satu.

Tangganada apakah yang dipakai dalam lagu-lagu berdayung itu? Biasanya, tangganada pentatonik: do-re-mi-sol-la.

Dalam kaitan dengan cara menyanyikan lagu-lagu berdayung tadi, suku Numfor membedakan antara rwuri, randak atau widom dan fuwar. Ketiga kata pertama tergolong pada satu kawasan makna; masing-masing berarti "kepala", "awal", atau "atas". Lawan katanya, fuwar, berarti "batang." Ketiga istilah pertama mengacu pada bagian pertama bait dan kata terakhir pada bagian tengah bait. Catatan Kunst ini berdasarkan Numfoorsch woordenboek (Kamus Bahasa Numfor) susunan Pendeta F.J.F. van Hasselt, seorang misionaris Gereja Hervormd Belanda yang bekerja di Manokwari.

Lagu berdayung suku Biak-Numfor mencakup juga lagu untuk berlayar. Ini berlaku bagi lagu yang dinyanyikan ketika layar perahu ditiup angin dari arah belakang perahu begitu rupa sehingga perahu melaju dengan manis. Dalam suasana seperti ini, pengemudi perahu yang berlayar itu (umumnya, lelaki) mengungkapkan perasaan senangnya dengan mengucapkan kata "Kururu!" atau "Kururuye!" Kata seru ini biasanya mereka ucapkan dengan suara kepala, suara lelaki yang kedengaran tinggi, mirip suara wanita. Tapi dalam arti yang lebih dalam, lagu berdayung seperti Kururuye! adalah juga lagu tentang pelayaran dalam arti spiritual dan secara analogis menuju pelabuhan yang dirindukan orang Biak-Numfor yang percaya pada Manseren Koreri: pelabuhan Koreri yang tenang dan teduh.

Ketika penduduk Biak-Numfor menjadi pemeluk Kristen, mereka memakai kata koreri juga untuk mengacu pada konsep sorga, menurut ajaran Kristiani. Makna kata yang sebelumnya sudah sarat dengan berbagai macam makna menjadi makin diperkaya melalui pemakaiannya yang baru. Pelabuhan Koreri lalu mendapat makna baru: Pelabuhan Sorga.

Salah satu contoh lagu berdayung suku Biak-Numfor berjudul Kururuye! Tidak diketahui siapa penciptanya. Temponya, MM=78, boleh dikatakan mewakili tempo lagu berdayung orang Biak-Numfor. Bagian-bagian yang diulang-ulangi adalah suatu ciri nyanyian tradisional suku-suku Papua, termasuk suku Biak-Numfor. Terdapat juga pergantian jenis birama dari 4/4 ke 2/4 ke 3/4. Melodinya bersifat pentatonik, memakai model do-re-mi-sol-la. Pemakaian not sa sebagai pengganti not do adalah penambahan kemudian hari. Meskipun demikian, not sa yang boleh dibilang adalah perluasan setinggi setengahnada dari not la dalam tangganada pentatonik tadi masih bisa diterima sebagai suatu variasi not do.

Syair lengkap dan terjemahan agak bebas lagu dayung asal Biak-Numfor tadi demikian:

Bahasa Biak-Numfor

Kururu, kururuye! (diulangi) Wai bedi nema i marandar payamyum kaku raryo: Wabe ruar yo? (diulangi) Yabe yayun, yabe, kururu, sewar, sewaro Sau Koreri, sau bebrin, bebrin kaku. Kururuye! (diulangi)

Bahasa Indonesia

Kururu, kururuye! (diulangi) Perahu ini melaju dengan manis. Ke mana gerangan berlayarnya? (diulangi) Aku hendak berlayar. Aku, kururu, hendak mencari, mencari Pelabuhan Sorga, pelabuhan yang teduh, teduh sekali. Kururuye! (diulangi)

Notasi lengkap Kururuye! demikian:

Kururuye!

Setiap penggalan nyanyian yang diulangi bisa dinyanyikan secara antifonal. Seseorang menyanyikan suatu frasa nyanyian secara solo kemudian diulangi oleh koor, entah secara bersama-sama dalam satu suara (unison) atau - untuk selera modern - dalam bentuk trio.

Mencari Sau Koreri, Pelabuhan Sorga

Frasa "Sau Koreri" atau "Pelabuhan Sorga" yang teduh sekali adalah suatu analogi yang indah. Ia tidak hanya dipahami dengan baik sekali oleh pelaut-pelaut Biak-Numfor dan dari pesisir Papua yang lain sesudah menempuh pelayaran yang berbadai dan mengancam keselanatan hidup mereka di lautan bebas. Ia tidak hanya memberi gambaran yang kuat berdasarkan pengalaman pelayaran jauh yang berbahaya secara rohani tentang pentingnya mencari Pelabuhan Sorga. Frasa ini secara khusus mengingatkan orang Biak-Numfor yang masih percaya pada konsep Koreri yang lama.

Konsep apa itu dan apa hubungannya dengan nyanyian tradisional suku Biak-Numfor? Bab berikut akan menjawab pertanyaan ini lebih jauh.

Read More....

10 Juli 2008

12. Ciri Lain Nyanyian Pegunungan Tengah dan Waropen

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Melodi dan syair nyanyian keempat suku di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea – Ekari (Kapauku), Moni, Simori, dan Ndani – yang sudah dicatat oleh berbagai ahli berkaitan dengan alam. Apakah ciri-ciri bentuk melodik dan syair mereka? Apakah syair-syair itu bisa dipahami? Baca juga tentang penilaian positif tiga ahli asal Belanda tentang cara menyanyi suku-suku Papua. Lebih dekat ke cara bernyanyi ras Eropa, kata Kunst. Suka menyanyi dan menyanyi dengan baik, tambah Held. Cara bernyanyi mereka sesuai selera musikal orang Eropa, kata Bijlmer. Berat sebelah penilaian mereka bertiga? Akhirnya, apakah yang bisa dikembangkan dari musik tradisional penduduk pesisir Waropen dan tempat lain dan suku-suku pedalaman?
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Melodi dan syair nyanyian keempat suku di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea – Ekari (Kapauku), Moni, Simori, dan Ndani – yang sudah dicatat oleh berbagai ahli berkaitan dengan alam. Apakah ciri-ciri bentuk melodik dan syair mereka? Apakah syair-syair itu bisa dipahami? Baca juga tentang penilaian positif tiga ahli asal Belanda tentang cara menyanyi suku-suku Papua. Lebih dekat ke cara bernyanyi ras Eropa, kata Kunst. Suka menyanyi dan menyanyi dengan baik, tambah Held. Cara bernyanyi mereka sesuai selera musikal orang Eropa, kata Bijlmer. Berat sebelah penilaian mereka bertiga? Akhirnya, apakah yang bisa dikembangkan dari musik tradisional penduduk pesisir Waropen dan tempat lain dan suku-suku pedalaman?

Duplikasi, Paralelisme, Masalah Arti dan Tema Syair

Nyanyian-nyanyian mereka berisi beberapa contoh yang sangat bagus tentang ciri-ciri bentuk fenfer yang sudah dijelaskan. Secara khusus, syairnya berisi duplikasi dan paralelisme yang terkadang berima. Contoh-contoh duplikasi mencakup nimeru-nimeru, yongonao-yongonao, lapi-lapi, dan laki-laki. Paralelisme yang terkadang mengarah pada rima mencakup wuwarere-wayarere, kinapore-uwapore, eneymaki-dineymaki, kakadomaki-papadomaki, makibaramo-makiburani, dan wediwo-wemiyo.

Pada umumnya, rekaman nyanyian keempat suku itu cukup jelas. Tapi banyak kali sulit bagi para peneliti mencatat syair-syair mereka untuk memahami artinya. Sebagai akibatnya, syair-syair itu tidak bisa dicocokkan dengan nyanyiannya.

Meskipun Le Roux mencatat syair nyanyian-nyanyian tadi, termasuk nyanyian tentang Sungai Edere, dia tidak menerjemahkannya. Bahasa syair-syair itu tidak dia dan para ahli lain pahami. Kunst menduga kebanyakan kata nyanyian-nyanyian yang sudah direkam itu tidak diterjemahkan juga karena tidak dipahami juga.

Dugaan Kunst dijelaskan oleh pandangan dua orang ahli lain yang bukan ahli musik. Pertama, pandangan Dr. J.V. de Bruijn, seorang ahli indologi (semacam ilmu pemerintahan tentang Hindia Belanda) dan pegawai pemerintah Belanda di Nieuw Guinea. Dalam ekspedisi yang dipimpinnya untuk menjelajahi kawasan-kawasan pedalaman yang belum dipetakan dan di bawah pemerintahan Belanda dan juga sebagai seorang pakar pemerintahan yang bekerja di Enarotali sebelum PD II. Kedua, pandangan Dr. P. Wirz, ahli etnografi asal Swis itu.

De Bruijn menaruh perhatian juga pada musik suku Ekari. Tentang syair nyanyian mereka, dia menjelaskan: “Hanya dalam beberapa kasus kata-kata itu mempunyai arti apa pun. Nyanyian mereka hanyalah suatu rangkaian suku kata yang berbunyi merdu.”

Wirz membahas nyanyian keempat suku katai tadi, termasuk kedua suku katai lainnya di Lembah Swart yaitu Awembiak dan Dem, secara agak rinci. Dia mencatat beberapa motif – yaitu, gagasan inti nyanyian – yang secara aneh tidak menunjukkan ciri-ciri fenfer. Di samping itu, dia mencatat syair sejumlah nyanyian suku-suku katai itu. Tapi Wriz juga hanya mampu menerjemahkan sedikit syair mereka. Meskipun dia tidak (mampu) menerjemahkan sebagian besar syair itu, dia berpendapat bahwa nyanyian suku-suku katai itu memang punya arti. Mengapa punya arti padahal dia tidak memahami syairnya? Wirz menjawab: “Selama bernyanyi (dawe) setiap kata diulangi beberapa kali dengan variasi suku kata terakhir, sehingga kata-kata menjadi tidak dapat dipahami oleh siapa pun yang tidak memahaminya. Tapi dari sedikit yang saya pahami, tampaknya kata-kata itu jauh dari tidak bermakna; tampaknya kata-kata itu berhubungan dengan orang mati itu.”

Penjelasan Wirz tadi mengacu secara khusus pada nyanyian dawe gumgum – nyanyian ratapan. Dia juga mencatat jenis-jenis nyanyian yang lain. Ada nyanyian antifonal yang disebut won-won. Ini sejenis nyanyian yang di dalamnya ada suara-nyanyi yang balas-membalas atau bersahut-sahutan antara seorang pemimpin nyanyian dan suatu koor. Tapi koor ini hanya memakai satu suara. Yawa dan wowo mirip dengan won-won tapi dinyanyikan dengan suatu tempo yang lebih lambat.

Meskipun tidak memahami arti sebagian besar syair nyanyian suku-suku katai itu, Le Roux berjasa dalam mencatat berbagai tema syair-syair dan melodi mereka. Dia mencatat syair tentang berbagai jenis burung, seekor katak, sejenis siput atau keong kecil, benda-benda tak bernyawa, sebuah batu, gejala alami, angin, hujan dan kabut, sebatang pohon, sejenis rumput, Sungai Edere, kawasan Debe, Gunung Kobore (disebut Gunung Weyland pada zaman Belanda), bumi pada umumnya, dan dengan manusia dari dunia roh. Dia juga mencatat beberapa melodi suku-suku katai Pegunungan Tengah di Nieuw Guinea.

Tema nyanyian dan beberapa melodi nyanyian suku Ekari atau Kapauku, Moni, Ndani, dan Simori menyingkapkan ciri-ciri lain. Ciri-ciri apakah itu?

Wuwawere wayarere, suatu nyanyian suku Kapauku tentang Sungai Edere, memakai melodi yang dicatat pada kunci mayor C dan tempo 80 ketukan per menit. Biramanya mulai dengan 4/4 sebanyak tiga birama – didahului suatu ketukan gantung disusul satu birama 9/8, dua birama 12/8 dengan tanda fermata, satu birama 9/8 + 1/8, dan satu birama 9/8. Pola ritmenya dibentuk oleh gabungan not bernilai seperempat, seperdelapan, seperenam belas, dan sepertiga puluh dua. Ada juga not seperempat bertitik dua dan not seperdelapan bertitik satu, dan beberapa not hiasan yang disebut grace notes dalam bahasa Inggris.

Suatu melodi Ekari lain yang judulnya tidak dicatat Le Roux menunjukkan suatu ciri yang berbeda sekali dengan melodi-melodi Ekari lainnya. Ia dicatat pada kunci B mol atau Bes dan tempo 100 ketukan per menit. Jenis biramanya merupakan campuran 4/4 dan 3/4. Sebanyak enam birama pertama memakai rangkaian not yang masing-masing bernilai seperempat: fa-sol-la-fa-fa-sol-la-fa-fa-sol-la-fa-fa-sol-la-fa-la-sol-la-fa-la-sol-la-fa-la-sol-la-fa Rangkaian ini disusul satu birama yang berisi kombinasi not bernilai seperdelapan dan seperempat dengan rangkaian not la-fa-sol-la-fa-sol. Sekurang-kurangnya, empat birama terakhir memakai ketukan 3/4 dan rangkaian not yang masing-masing bernilai seperempat, dua di antaranya yang bernilai setengah diberi tanda fermata, dan dengan susunan not sol-mi-sol-mi-mi-mi-do-mi-do. Kunst mengatakan melodi ini dipinjam dari suatu suku Papua dari pesisir, barangkali salah satu suku pesisir di bagian selatan Nieuw Guinea.

Tiga melodi suku Moni menunjukkan ciri-ciri pola ritme dan jenis birama yang hampir sama dengan yang ada pada melodi suku Kapauku tapi dengan jenis tempo yang berbeda. Rangkaian not yang membentuk pola ritme melodinya merupakan gabungan not bernilai setengah tanpa atau dengan satu titik di belakangnya; not bernilai seperempat dengan dua titik di belakangnya; tanda diam bernilai setengah, seperempat dan seperdelapan; not bernilai seperdelapan, seperenam belas, dan sepertiga puluh dua; dan grace notes dengan berbagai nilai. Melodi berjudul Ebegiewa memakai tempo MM=96; Kadio-Kada, judul suatu melodi lain memakai tempo 120-132 ketukan per menit; dan Yore Meo Waye, melodi ketiga, dipatok pada tempo yang sangat lambat: MM=48.

Pola ritme dengan berbagai kombinasi not melodi khas suku Ekari dan Moni ditemukan juga pada melodi suku Ndani. Ada suatu melodinya – tanpa judul – yang memakai pergantian tempo dua kali: pertama 84 ketuk per menit untuk sekurang-kurangnya lima birama pertama disul 126 ketuk per menit untuk birama sisanya. Melodi kedua – juga tanpa judul – memakai MM=96. Tapi tidak ada jenis birama yang ditetapkan untuk kedua lagu ini.

Suatu melodi suku Simori memakai syair yang berisi mantera, suatu gabungan bunyi ep dan uip yang diulang-ulangi.Kedua macam bunyi ini dinyanyikan secara eksplosif oleh para peratap orang mati. Penggalan melodi dan manteranya yang diulang-ulangi demikian:


Instrumen musikal apakah yang lazim dipakai suku-suku katai dan suku-suku non-katai di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea? Harpa yahudi. Ia dikenal dengan berbagai nama oleh suku-suku itu: kwabage (Awembiak); kaido (Ekari/Kapauku); bigigi (Zonggonau, suatu klen suku Moni); pikol (Uhunduni); dan longwik (suku Uringup). Harpa yahudi dibuat dari bambu dan kerangkanya terbuka.

Sebagaimana dalam nyanyian bangsa mana pun, nyanyian suku-suku tadi berisi juga tema tentang cintakasih. Salah satu syair Pegunungan Tengah di Nieuw Guinea mengungkapkan secara mengharukan kekuatan, kedalaman, dan kelemahlembutan cintakasih seorang ibu yang hidup pada anaknya yang meninggal dunia melalui suatu nyanyian ratapan dan dicatat Lloyd Rhys, penulis buku berjudul Jungle Pimpernel. Ini suatu biografi dalam bentuk novel tentang Dr. J.V. de Bruijn. Dia dijuluki Jungle Pimpernel karena selama PD II dia dan rombongannya yang mencakup orang Kapauku selalu lolos dari pengejaran tentara Jepang. De Bruijn juga berhasil mengirimkan info intelijens berharga ke pemerintah Belanda di pengasingannya di Australia tentang gerak pasukan Jepang di pedalaman Nieuw Guinea. Rhys itulah yang mencatat syair tadi berdasarkan suatu nyanyian ratapan Migani, suatu suku katai lain di timur Danau Paniai di Enarotali. Dr. De Bruijn yang memahami bahasa suku ini memberi terjemahannya – yang saya alihkan dari versi bahasa Inggris dalam buku Kunst ke dalam bahasa Indonesia – demikian:

E Kumba, ara dolapanuanda,
e meureu lienggio.
Andigo ama kendorama,
nua nu doroma.
Hi hi, yi yi.*
Ma unundia deno
paita paite, kumbae
ara dolapanuanda.

Oh, sayangku, aku sangat mencintaimu.
Aku dirundung dukacita
Akulah yang menyusui engkau pada dadaku.
Minumlah sekali lagi.
Hi hi, yi yi.*
Mengapa engkau tidur sekarang?
Bangunlah, sayangku,
Bangunlah, bangunlah.
Aku sangat mencintaimu.


*Larik ini berisi kata-kata yang meniru suara tangisan sang ibu.

Nyanyian ratapan suku-suku pedalaman ada juga dalam nyanyian tradisional suku-suku Papua yang lain. Dalam tradisi suku-suku pesisir di Teluk Cenderawasih, seperti di Teluk Wondama dan Pulau Roon, nyanyian itu dibawakan secara spontan sembari menangis mengelilingi jasad orang yang meninggal dunia. Kebaikannya, kegagahannya, kerinduan mereka yang hidup agar dia masih hidup, dan rasa duka yang mendalam karena kepergiannya merupakan tema-tema yang sering dinyanyikan melalui nyanyian ratapan tradisional penduduk kedua kawasan ini.

Ada kalanya, mereka memanggil atau tampaknya menyewa orang yang ahli dalam membawakan nyanyian ratapan. Mereka ahli dalam menyanyi dan menyusun syair yang demikian menyentuh hati para pekabung sehingga ratapan mereka makin menjadi-jadi. Ahli nyanyian ratapan ini yang pernah saya lihat adalah lelaki tapi bisa saja ada wanita yang juga ahli jenis nyanyian ini.

Mereka menyanyi tidak berdasarkan lembaran kertas atau buku karena secara tradisional – sebelum pendidikan modern masuk pedesaan – mereka buta huruf. Mereka tampaknya menyanyi secara spontan.

Ada info bahwa sebelum menyanyi, mereka mengunyah akar-akar atau dedaunan tertentu yang dipercaya bisa merangsang daya cipta spontan dari nyanyian dan syairnya yang sangat menyentuh hati itu. Tapi tidak saya tahu apa isi syair ratapan itu dan apakah syair itu dinyanyikan dalam bahasa puitis yang dipahami hanya oleh orang dewasa atau tua atau dalam bahasa prosa yang dipahami semua orang.

Lebih Dekat ke Cara Bernyanyi Eropa

Mengetahui apa pun tentang suku-suku pedalaman di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea bisa cepat menimbulkan asosiasi pada primitivitas, keterbelakangan, kebodohan, dan prasangka buruk lainnya tentang mereka. Termasuk kemungkinan prasangka bahwa mereka berasal dari lapisan peradaban yang rendah; karena itu, suara-nyanyi dan nyanyian yang mereka bawakan pasti primitif, asing, langka – dari planet lain.

Kalau Anda punya prasangka demikian, tahan dulu kesombongan Anda. Rendahkanlah hatimu, bukalah akal budimu secara bening, dan lihatlah kembali musik mereka. Anda pun harus seorang musikus atau punya pengetahuan yang memadai tentang musik untuk memahami mereka, seperti Kunst dan para ahli lainnya mencoba dengan sungguh-sungguh dan tanpa prasangka buruk untuk memahami musik suku-suku pedalaman di Nieuw Guinea.

Apa yang mereka katakan tentang musik suku-suku itu bisa mencengangkan Anda. Apa kata Dr. J. Kunst, seorang ahli musik profesional asal Belanda dan salah seorang pelopor etnomusikologi, sesudah meneliti mutu nyanyian tidak saja suku-suku katai di pedalaman tapi juga hampir semua suku Papua di Nieuw Guinea? Katanya: “Cara bernyanyi suku-suku katai ini lebih dekat pada cara bernyanyi kita dibanding, misalnya, cara bernyanyi ras mongoloid. Sebenarnya, hal yang sama bisa dikatakan tentang hampir semua nyanyian Papua dan untuk nyanyian dari pennduduk beberapa pulau di Maluku dan NTT (Flores!).”

Penilaian serupa dikemukakan secara singkat dan jelas oleh Prof. Dr. G.J. Held, khusus untuk penduduk Papua pesisir modern yang menyanyi dalam paduan suara gereja modern. “Zij zingen graag en zij zingen goed,” tulisnya dalam salah satu bukunya yang terkenal zaman Belanda di Nieuw Guinea, De Papoea Cultuurimprovisator (‘s-Gravenhage – Bandung, 1951). “Mereka senang menyanyi dan mereka menyanyi dengan baik,” demikian terjemahan Indonesia dari pernyataan Held tadi.

Cara bernyanyi ini pun menarik perhatian Dr. H.J.T. Bijlmer. Dia seorang ahli antropologi asal Belanda, yang pernah ikut dalam suatu ekspedisi ilmiah Belanda ke Pegunungan Tengah tahun 1920. Selama ekspedisinya ke sini, dia menulis: “Terkadang orang berkumpul secara sukarela untuk menyanyi. Pemimpin menyanyikan suatu lagu yang sangat merdu dan orang-orang bergabung dengan bersenandung. Pernah saya mendengar seorang wanita menyanyi pada dirinya sendiri dan saya harus mengatakan itu jauh dari sumbang. Bukankah tidak mengherankan bahwa rasa musikal ras hitam jauh lebih dekat pada rasa musikal kita dibanding rasa musikal ras kuning? Cara bernyanyi orang negro pun sesuai selera kita, sementara musik orang Jepang atau China jelek sekali bagi rata-rata setiap orang yang tidak memiliki pengetahuan khusus . . . untuk menganalisis musik. Saya mampu meyakinkan diriku sendiri tentang hal ini pada suatu gala di Tokio.” Tulisannya kemudian menjadi suatu bagian dari suatu artikel ilmiahnya yang diterbitkan suatu majalah ilmiah berbahasa Belanda tahun 1933.

Sepintas lalu, penilaian Bijlmer kedengaran berat sebelah. Tapi penilaiannya bisa dipahami apa adanya kalau kita meletakkannya dalam konteks penelitian musik etnik Papua berdasarkan tolok ukur musik Barat. Tolok ukur ini pun secara ketat tidak diberlakukan. Berkali-kali, Kunst menunjukkan kehati-hatiannya dalam menilai gejala musikal suku-suku Papua dengan memakai frasa seperti “pada telinga orang Barat, ini atau itu kedengaran seperti” dan frasa sejenisnya. Dengan frasa seperti ini, dia menunjukkan bahwa penelitian musik non-Eropa hendaknya dipahami “apa adanya.” Bijlmer yang tampaknya bukan seorang musikus profesional seperti Kunst cenderung menilai musik etnik orang Papua dan sebagian orang Maluku dan NTT dari sudut-pandang musik Barat pada zamannya. Seandainya dia masih hidup dan menyadari adanya penelitian yang makin banyak tentang musik ras kuning dan memahami keindahan internalnya, dia boleh jadi akan berhati-hati dalam mengemukakan perbandingannya tadi. Apapun juga, penilaiannya ikut menaikkan kualitas bernyanyi suku-suku pedalaman yang “primitif” itu pada suatu tahap yang tidak kalah dengan kualitas bernyanyi ras Eropa pada waktu itu.

Apa yang Bisa Dikembangkan?

Dari bab 10, 11 dan 12, kita sudah memahami ciri-ciri lain dari musik etnik Waropen, suku-suku katai, dan non-katai di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea. Kita juga sudah tahu tentang penilaian tiga ahli Belanda tentang cara bernyanyi mereka dan hampir semua suku Papua lainnya. Apa yang bisa kita kembangkan dari pemahaman kita sejauh ini?

Saran-saran berikut bersifat pribadi:
  1. Kalau masih ada berbagai jenis rano di Waropen masa kini atau yang masih bisa digali kembali, musikus bisa memodernisasinya untuk acara-acara khusus. Salah satu adalah promosi musik etnik yang diperbaharui untuk turis lokal, nasional, dan internasional. Perajaan 17 Agustus yang di dalamnya diadakan lomba dayung tradisional, hari-hari raya nasional lain, atau pameran-pameran tertentu pun bisa menjadi sarana promosi kebudayaan macam ini.
  2. Teknik nyanyi mirip kanon yang dikenal dalam gaya menyanyikan rano bisa dikembangkan dalam musik etnik modern dari Papua.
  3. Meskipun Held mencatat berbagai jenis tifa yang dipakai di Waropen, dia tampaknya tidak merekam teknik pukulannya. Kalau saja ada musikus Papua atau non-Papua yang mau merekam atau menggali kembali berbagai teknik menabuh tifa tradisional di Waropen (dan juga di kawasan lain di Papua) dan mengembangkannya menjadi modern tanpa menghilangkan ciri khasnya, mereka akan bisa mengembangkan suatu teknik tabuhan baru atau khas yang bisa dipromosikan secara luas.
  4. Mbumbu, instrumen perkusi yang dibuat dari baling-baling kayu itu, sangat menarik karena langkanya. Ia bisa dikembangkan asal saja ada yang berminat mengubahnya menjadi instrumen musikal yang memperkuat perkusi abad ke-21.
  5. Bisakah teriakan kegembiraan dan pekikan perang suku Simori dikembangkan menjadi bagian dari musik abad ke-21? Teriakan kegembiraan dan pekikan perang, meskipun barangkali tidak kedengaran sama dengan yang disuarakan suku Simori, ada kalanya kita dengar dari para penari tari tradisional Papua di berbagai pentas, termasuk di televisi nasional. Lagu Huembello yang dinyanyikan oleh ben the Black Brothers era 1980-an berisi suatu pekikan khas Ayamaru, daerah asal lagu asli yang dimodernisasi kelompok ben asal Papua ini, tapi tidak jelas apakah ia suatu teriakan kegembiraan atau pekikan perang masa lampau. Memasukkan teriakan kegembiraan atau pekikan perang ke dalam lagu modern boleh saja asal cocok dengan syair dan melodinya.
  6. Bisakah nyanyian berisi mantera-mantera suku Simori dikembangkan dalam musik abad ke-21? Tergantung ideologi atau filsafat hidup yang dianut musikus. Kalau mantera-mantera tradisional bertentangan dengan keyakinan religius atau pandangan hidup musikus, mereka tentu mengabaikannya. Tapi kalau mereka bisa mengubah isinya, yaitu, syairnya, dan mencoba memodernisasi bentuk primitif melodinya, mereka bisa membawa pembaharuan dalam musik abad ke-21. Sutardji Calzoum Bachri, salah seorang penyair Indonesia, sudah menunjukkan kemahirannya memodernisasi mantera-mantera lama Indonesia menjadi syair Indonesia yang membawa suasana baru yang sangat mengesankan. Seorang musikus yang kreatif atau imajinatif bisa melakukan hal serupa melalui musik etnik Indonesia yang diperbaharui.
  7. Seperti yang sudah dikatakan, melodi dengan pola irama yang bersifat sintetik atau melebur dan dengan pola metrik yang tidak teratur dalam nyanyian tradisional suku-suku Papua pedalaman tampaknya sulit diterima atau dikembangkan menjadi populer dalam musik abad ke-21. Untuk mempopulerkannya tanpa mengorbankan ciri-cirinya, musikus perlu melakukan penyesuaian dan pembaharuan.
  8. Nyanyian antifonal suku Awembiak dan Dem mirip nyanyian-nyanyian call and response dalam musik blues abad ke-20 di Amerika Serikat. Dalam teknik nyanyi ini, seseorang menyanyikan suatu frasa melodi dan syair blues, seakan-akan dia memanggil (call) penyanyi lain untuk menanggapinya (response). Penyanyi kedua memang menanggapi frasa melodik dan syair penyanyi pertama dengan menyanyikan suatu frasa melodik lain dan syairnya. Karena musik blues secara historis dikembangkan terutama oleh orang Amerika hitam, teknik call and response di dalamnya tampaknya berasal dari akar musikalnya di Afrika hitam. Dalam tradisi ibadah Kristen abad ke-21 pun nyanyian antifonal sudah dinyanyikan sebagai suatu bagian dari tradisi ibadah yang diwariskan. Seorang pemimpin liturgi atau tata ibadah Kristen menyanyikan suatu bagian nyanyian secara solo lalu bagian lain dinyanyikan bersama-sama oleh jemaat. Karena itu, nyanyian antifonal kedua suku katai tadi bisa diperbaharui untuk abad ke-21.
  9. Nyanyian ratapan suku-suku pedalaman dan pesisir barangkali sudah lenyap. Kalau toh masih ada, nyanyian ini barangkali sudah langka. Kalau ada musikus yang peduli, mereka bisa menyelamatkan corak nyanyian tradisional ini. Berdasarkan ciri-ciri khas yang mereka pahami, mereka bisa mengembangkan nyanyian-nyanyian ratapan modern untuk abad ke-21.
  10. Bakat bermusik dan bernyanyi orang Papua, seperti yang diamati Kunst, Held, dan Bijlmer, bisa dikembangkan agar menjadi cocok untuk abad ke-21.

Read More....