27 Agustus 2008

18. Musik Suku Biak-Numfor (6)

Sampai dengan tahun wor diteliti oleh Lembaga Smithsonian (1993-1994), tradisi nyanyian asal Biak ini cenderung tidak sekuat zaman dulu. Kalau pada zaman Belanda kebanyakan orang bisa menyanyikan wor, "tidak setiap orang" bisa menyanyikannya masa kini.

Pasang-Surut Wor

Sebagai akibatnya, wor yang membutuhkan keahlian khusus itu biasanya dinyanyikan zaman penelitian tadi dilakukan oleh generasi tua atau setengah baya. Selebihnya, wor dipelajari kaum muda Biak yang peduli pada kelestarian tradisi musikal ini.

Pelestarian ini di antaranya melalui ibadah Kristiani. Penyanyi-penyanyi wor yang sudah tua tampil membawakan koor wor dengan isi Injil dalam bahasa Biak dan dalam ibadah di gereja di Biak.

Sejarah wor sejak awal abad ke-20 mengalami masa pasang-surutnya karena berbagai faktor. Di awal abad ke-20, wor yang dibawakan dalam upacara-upacara siklus kehidupan orang Biak ditentang para misionaris Belanda. Tradisi ini dipandang bertentangan dengan ajaran Kristen. Tapi di akhir dasawarsa 1930-an, kemerosotan wor agak dipulihkan ketika para misionaris itu mendorong agar wor dengan tema Kristen ditampilkan di gereja. (Pada zaman Belanda, hampir semua penduduk Biak - berjumlah sekitar 30.000 orang menurut disertasi Kamma tentang Gerakan Koreri 1954 - adalah penganut Protestan aliran utama, atau Protestan dengan latar belakang Kalvinistik, hasil penginjilan misionaris Gereja Hervormd Belanda.) Tersirat di dalam pemulihan ini kebijakan gereja untuk mempribumikan ibadah penduduk setempat agar ajaran Kristen tidak menjadi unsur budaya atau peradaban yang asing bagi mereka. Barangkali karena dorongan mereka tapi di luar dugaannya, wor hidup kembali dalam gerakan-gerakan Koreri di Biak menjelang dan selama PD II, seperti yang sudah dijelaskan. Sesudah perang besar itu, pemerintah Belanda menahan orang-orang Biak yang membawa perlengkapan Koreri karena ini dianggap tindakan subversif. Pada awal 1990-an, orang-orang tua asal Biak menganggap wor berhubungan dengan Koreri dan Koreri berhubungan dengan politik, khususnya, perjuangan untuk kemerdekaan orang Papua. Pihak keamanan yang mengetahui kaitan ini lalu melarang nyanyian wor dan memasukkan siapa pun yang mengabaikan larangan ini ke penjara.

Upacara-upacara siklus kehidupan yang ditentang gereja dan wor yang dilarang pemerintah Belanda dan Indonesia membuka pilihan budaya, termasuk pilihan akan upacara dan nyanyian, lain bagi orang Biak. Alih-alih kembali pada pesta-pesta besar dalam upacara-upacara siklus kehidupan masa lampau, mereka di masa kini mengadakan pesta-pesta megah yang menaikkan status keluarga dan individual. Pesta-pesta itu berbentuk perayaan perkawinan, perayaan dan ucapan syukur secara religius bagi anggota keluarga yang lulus sarjana perguruan tinggi, perayaan untuk anggota keluarga yang pulang kampung dari perantauan, atau perayaan tahunan seperti Natal dan Tahun Baru. Wor dalam pesta-pesta masa lampau tapi yang sekarang dilarang diganti dengan tarian-nyanyian rakyat Papua yang berkembang di Sarmi dan sekitar awal 1960-an di Biak dan Teluk Geelvink zaman Belanda: yosim-pancar (yospan). Dalam pesta-pesta modern yang lain, undangan menyanyi secara bersama-sama atau bergilir berbagai nyanyian gereja yang bisa berbentuk nyanyian empat suara.

Ciri-Ciri Lain Musik Wor

Seperti yang sudah dijelaskan dalam suatu tulisan terdahulu, semua lirik wor punya struktur yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama disebut kadwor atau "pucuk" sementara bagian kedua disebut fuar atau "akar". Fuar mengulangi kadwor tapi fuar menjadi lebih panjang karena lebih lengkap dari kadwor.

Melodi yang dinyanyikan untuk kedua bagian teks tadi umumnya sama, dengan penyesuaian di sana-sini. Dibanding kadwor, fuar berisi lebih banyak kata; karena itu, melodinya harus disesuaikan. Penyesuaian ini berbentuk pengulangan motif atau nada-nada tertentu. Pengulangan terkadang dilakukan dalam melodi kadwor supaya melodinya bisa memuat semua katanya. Sebagai akibatnya, pengulangan ini memperpanjang melodi tanpa menyisipkan materi baru. Meskipun demikian, motif-motif melodi baru yang tidak ada dalam kadwor terkadang dimasukkan untuk lirik tambahan tadi.

Kedua bagian nyanyian wor tadi dibawakan secara antifonal (berbalas-balasan) atau unisono (satu suara). Fuar dan kadwor dari lagu-lagu yang disertai tarian dinyanyikan oleh koor-koor secara antifonal. Beyuser, suatu nyanyian berkisah tanpa tarian, dinyanyikan secara unisono. Sebagian nyanyian lain yang tidak disertai tarian dinyanyikan secara antifonal sementara bagian lain dinyanyikan secara unisono.

Gaya nyanyi wor tadi mengakibatkan hubungan antara penyanyi dalam suatu pertunjukan bervariasi. Ada hubungan yang menghasilkan nyanyian heterofonik dan ada juga hubungan yang menghasilkan nyanyian yang hampir unisono.

Kebanyakan melodi wor menunjukkan gerak yang umumnya menurun. Melodinya mulai dengan nada yang tinggi dan berakhir dengan nada yang rendah.

Akan tetapi, cara melodi turun tidak sama. Ada melodi yang turun terus, kemudian berhenti pada beberapa titik melodi, berputar dan berbalik, turun separuh jalan, kemudian kembali ke atas tanpa mencapai puncaknya, turun lagi lebih rendah dari sebelumnya, dan seterusnya. Kebanyakan frasa sebuah lagu pun menurun. Beberapa frasa lagu mulai pada wilayah nada tengah (seperti rangkaian not do-re-mi-fa-sol-la-si tanpa titik di bawah atau di atasnya), kemudian meninggi sebelum merendah.

Beberapa lagu memiliki frasa-frasa melodik dengan bentuk mirip sebuah lonceng gereja. Lagu-lagu itu mulai dengan nada rendah (tepi dasar lonceng), naik (bagian yang membentuk bundaran mirip lengkungan dari lonceng), lalu turun kembali (ke tepi dasar lonceng).

Bagaimana tentang tangganada yang dipakai dalam melodi-melodi wor? Tangganadanya bersifat tetratonik dan pentatonik. Karena tangganada pentatonik (lima nada) sudah dijelaskan, tangganada jenis pertamalah yang perlu penjelasan. Ajektiva tetratonik dibentuk oleh tetra - (empat) dan - tonik (berhubungan dengan nada); jadi, tangganada tetratonik dibentuk oleh empat nada. Yampolsky dan Rutherford tidak merinci modus tangganada tetratonik. Mereka hanya menambahkan bahwa terkadang satu nada kelima atau keenam ditambahkan pada kedua jenis tangganada tadi, rupanya sebagai nada-nada hiasan.

Yang menarik dari hasil rekaman mereka berdua ialah bahwa jumlah wor tetratonik melebihi jumlah wor pentatonik. Perbandingan kelebihan jumlah ini adalah dua banding satu. Ada tangganada yang mempunyai setengahnada sementara tangganada lainnya berisi interval yang mendekati atau mirip interval kedua besar (mayor) dalam tangganada Barat, seperti do-re, re-mi, dan fa-sol.

Apakah ada tangganada yang khas suatu kampung atau wilayah Biak? Yampolksy dan Rutherford tidak bisa memastikan hubungan khas antara tangganada dan komunitas Biak tertentu, seperti tangganada komunitas Opiaref atau Biak Utara. Wor semua kelompok masyarakat Biak yang mereka rekam lebih dari satu dan menunjukkan lebih dari satu tangganada.

Mereka juga tidak bisa mengatakan bahwa jenis-jenis wor tertentu terikat dengan tangganada tertentu. Mereka menemukan, misalnya, bahwa dua sandia memakai tangganada yang sama, tiga kayob menggunakan tiga tangganada, dan lima beyuser memakai empat tangganada.

Kalau tangganada bukan indikator atau petunjuk bermacam-macam wor yang mereka rekam, apa indikatornya? "Apa yang membuat sandia menjadi sandia dan kayob menjadi kayob?" Lirik wor bukan faktor penentu ciri yang jelas karena bentuknya sama untuk semua macam wor. Mereka menduga klasifikasi wor ke dalam berbagai jenisnya ada pada bentuk melodi dan ciri motifnya, matra puisinya, ciri-ciri persajakannya, pemakaian kata-kata tertentu, topik-topiknya, atau fungsinya dalam suatu upacara. Benar-tidaknya dugaan ini perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut.

Sementara menunggu hasil penelitian lanjutan untuk menjawab pertanyaan menarik tadi, kita akan mendalami jenis-jenis melodi wor yang direkam Yampolsky dan Rutherford. Apa tangganada yang dipakai? Pola ritme dan matra jenis apakah yang dipakai? Apa isi pesan wor melalui syair atau liriknya? Apa pola ritme yang dihasilkan pukulan pada tifa yang mengiringi wor itu? Apakah "nada dasar" tifa itu bisa diukur dan apa nada dasar itu? Bab berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Sementara itu, Anda bisa mendengarkan suatu jenis wor untuk tarian yang disebut kankarem dari Biak Utara. Suatu kankarem adalah suatu lagu pembukaan perayaan yang dinyanyikan sekitar waktu matahari terbenam. Ia dinyanyikan oleh tamu-tamu sementara mereka memasuki arena tari. Lagunya ada pada side bar blog ini.

Read More....

16 Agustus 2008

17. Musik Suku Biak-Numfor (5)

Para komponis (pencipta) wor memakainya untuk "menjinakkan" tanggapan-tanggapan yang baru dan tiba-tiba. Timbulnya wor bermula dari kejutan, dari spontanitas. Seorang penyanyi yang menunjukkan kejutan atau spontanitas dalam nyanyiannya dipandang seorang ahli wor.

Proses Penciptaan Wor

Bagaimanakah caranya dia menciptakan suatu wor yang baru secara spontan? Dia bisa saja diilhami suatu bunyi, pemandangan, atau sensasi yang mengejutkan; ilham itu bisa saja mengubah hentakan dari sesuatu yang tidak terduga itu menjadi suatu fantasi atau kenangan.

Ada beberapa contoh tentang komposisi wor secara spontan. Dalam wor untuk suatu pesta, hidangan yang belum disuguhkan pada para tamu akan merangsang seorang pencipta untuk membujuk melalui nyanyian spontannya penjamu mereka - biasanya ibu penyelenggara pesta - agar menyediakan hidangan itu. Orang lain yang mengadakan perjalanan laut dengan perahu atau kapal menyanyikan kisahnya berbentuk kumpulan kesan yang dia kenang, seperti ikan yang melompat, percikan haluan kapal, hembusan asap di seberang bukit-bukit yang menyurut, dan angin yang menusuk tulang.

Bahkan kejutan sering terjadi dalam proses rekaman ketika kumpulan kesan macam ini menjadi terlalu banyak untuk dituangkan ke dalam lagu-lagu lama. Tulis Yampolsky dan Rutherford: "Para penyanyi mengatakan ... mereka akan kesulitan dalam membawakan lagu-lagu lama jika mereka mengadakan perjalanan ke luar negeri, karena pikiran mereka pasti akan terlalu banyak dipenuhi oleh apa yang mereka alami dalam perjalanan."

Dengan cirinya yang spontan, wor bisa menimbulkan suatu dorongan atau rangsangan yang tiba-tiba pada seorang komponis untuk mengalihkannya menjadi suatu lirik. Lirik yang baik dan digemari umum bisa tersebar jauh dari tempat asalnya dan, sebagai akibatnya, ketenaran sang penciptanya ikut tersebar.

Boleh dikatakan wor berisi pengulangan kisah berupa kumpulan kesan seorang pencipta. Kisah itu dia tuangkan dalam nyanyian yang diciptakannya secara mendadak atau spontan. Nyanyian itu menaikkan gengsinya kalau dia seorang ahli dan kalau ciptaannya itu dan reputasinya tersebar jauh dari tempat asalntya.

Wor: Suatu Warisan Kolektif Musik

Meskipun wor bisa dipandang sebagai hasil individualisasi, masyarakat Biak punya pandangan bahwa kekuatan wor bersumber pada warisan kolektif musik mereka. Warisan kolektif ini bisa ditelusuri pada suatu mitos Biak, mitos tentang Mansar Mnuwon, Mnuwon sang Lelaki Tua. Mitos ini menunjukkan bahwa wor sejak dulu sudah berakar kuat dalam kehidupan orang Biak.

Yampolsky dan Rutherford mengutip bagian yang relevan dari mitos ini dari suatu tesis tentang peranan musik tradisional dalam liturgi Kristen, ditulis oleh seorang pendeta asal Biak:

Pada suatu malam, seorang lelaki tua bernama Manswar Mnuwon tengah berburu di hutan. Tiba-tiba, dia mendengar nyanyian dan permainan gendang di ketinggian pohon. Dia [memerhatikan] sekeliling cabang-cabang untuk mencari dari mana sumber suara tersebut, tetapi [dia] tidak menemukan apa-apa. Ketika dia duduk di bawah pohon-pohon tinggi untuk istirahat, dia terkejut karena suara musik itu bertambah keras. Tanpa pikir panjang, dia mengambil suatu tumbuhan yang merambat di pohon itu. Suara-suara tersebut tiba-tiba terpecah menjadi dua koor yang saling mengimbangi. Orang tua tersebut heran sekali melihat bahwa bunga-bunga yang mekar dari tumbuhan itulah yang menyanyikan lagu! Untuk menjaga suara-suara agar tidak kembali ke tanah jika matahari terbit, Mansar Mnuwon memotong batang tumbuhan-rambat tersebut. Dia membawanya pulang dan memakan daunnya - dia menjadi orang Biak pertama yang pandai [menyanyikan] wor.

Mitos ini menunjukkan bahwa wor dan asal-usulnya lalu diwariskan Mansar Mnuwon kepada orang kedua, ketiga, dan seterusnya. Menurut kepercayaan masyarakat Biak, Manswar Mnuwon memperoleh kekuatan gaib wor dari tanah dan mewariskannya pada keturunannya. Keahlian menciptakan dan menyanyikan wor secara turun-temurun lalu membentuk warisan kolektif musik masyarakat Biak.

Sebagai suatu warisan kolektif musik tadi, wor pun berperan besar dalam menjamin kelestarian hidup masyarakat Biak. Tanpa menyanyikan wor yang diwariskan leluhur mereka dan dilestarikan turun-temurun melalui berbagai upacara dan pengembangan, masyarakat Biak pra-Kristen percaya mereka akan mati. Untuk menjamin kelangsungan dan ketenteraman hidup, wor dinyanyikan dalam upacara-upacara untuk melindungi anak-anak Biak terhadap serangan kekuatan gaib yang dipercaya ada di sekitarnya. Wor lain menangkal dan membalikkan kekuatan-kekuatan aneh dari jauh.

Sebagai suatu bagian dari warisan kolektif musik tadi, apakah ada juga warisan tentang rahasia kepandaian menyanyikan wor yang diperoleh dari memakan daun bunga merambat dalam mitos tadi? Memang ada tumbuhan rambat rahasia macam itu, kata mereka, tapi rahasia itu dimiliki klen-klen Biak tertentu, diturunkan dari ayah atau ibu kepada saudara lelaki ibu. (Mengapa rahasia ini diwariskan hanya kepada anggota famili ibu tidak dijelaskan oleh Yampolsky dan Rutherford.) Daunnya dianggap bisa memberikan kekuatan dan daya tarik pada para penyanyi yang mengunyah dan menelannya.

Cara mewariskan rahasia menyanyikan wor ini pun sudah ditetapkan menurut adat. Para ahli wor menyebut daun-daun perangsang seni-nyanyi wor sebagai "tulang punggung" mereka. Mereka percaya akan mati segera sesudah mereka mewariskan rahasia ini pada ahli warisnya. Tentu orang yang tidak bijaksana saja yang selagi masih mampu memanfaatkan ramuan ajaib untuk tetap menyanyi menyerahkan rahasia itu pada orang lain yang sudah ditetapkan - dia akan mati sebelum waktunya.

Karena itu, untuk menghindari kematian dini seperti ini, mereka yang memiliki rahasia itu menempuh beberapa cara. Beberapa orang penyanyi menunggu sampai menjelang kematiannya lalu menyingkapkan rahasia seni-nyanyi wor kepada ahli warisnya. Yang lain memberi petunjuk-petunjuk pada anak-anaknya lalu membiarkan mereka menemukan sendiri dedaunan tumbuhan rambat itu. Yang lain lagi memilih untuk tidak menurunkan rahasia itu sama sekali kepada orang lain karena kuatir mereka yang diberi warisan itu akan menyalahgunakannya untuk hal-hal di luar seni-nyanyi wor.

Mitos yang menjelaskan asal-usul wor tadi dan pengejawantahannya secara turun-temurun dalam masyarakat Biak menunjukkan tiga hal penting. Pertama, keahlian menciptakan dan menyanyikan wor adalah suatu privilese; hanya kelompok terpilih sajalah yang bisa diwarisi rahasia seni-nyanyi wor. Kedua, meskipun wor tidak bisa diciptakan semua orang, ia menjadi milik umum begitu ia dikenal dan dinyanyikan mereka. Ketiga, wor menunjukkan pandangan-dunia masyarakat Biak tentang kesatuan antara orang mati, yaitu leluhur orang Biak, dan orang hidup, yaitu mereka yang ada sekarang.

Wor Memperkuat Ikatan-Ikatan Sosial

Di samping menunjukkan persatuan antara orang yang hidup dan yang mati agar wor bisa diwariskan, wor juga memperkuat ikatan-ikatan sosial. Fungsi ini berbeda di masa lampau dan di masa kini.

Di masa lampau, wor dinyanyikan pada upacara-upacara siklus kehidupan. Upacara macam ini mencakup upacara tahunan yang di dalamnya seorang anak lelaki secara resmi dinyatakan sebagai seorang lelaki dewasa, dan diselenggarakan berbagai pasangan suami-isteri untuk kepentingan anak-anak mereka. Dalam upacara ini, kaum kerabat isteri berperan sebagai tamu sementara sanak saudara pihak suami - termasuk isterinya sendiri - berperan sebagai tuan rumah; suami kepala rumah tangga adalah juga ipar saudara lelaki isterinya.

Kedua kelompok selalu saling bersaing dalam peristiwa khusus ini, dengan kelompok tamu sebagai "provokator" agar kelompok penerima tamu meladeni keinginan tamunya. Para tamu menampilkan lagu-lagu mereka sebagai hadiah dan mengharuskan pihak penerima tamu menanggapinya secara tepat, yaitu, dengan sajian makanan, tembakau (yang dikunyah, disebut prompi di Nieuw Guinea dan susur di Jawa), dan minuman. Sajian yang dinilai tinggi oleh tamu adalah yang berlimpah yang tidak bisa mereka nikmati kalau ibu pihak penerima tamu pelit. Untuk mencegah adanya sifat pelit itu, saudara-saudara lelaki sang ibu mengibaratkan dia sebagai seekor burung serakah dan menantangnya untuk membuktikan kemurahan hatinya. Upacara siklus kehidupan yang disertai persaingan macam ini bisa berlangsung dari malam sampai dengan waktu matahari terbit. Lagu-lagu yang dinyanyikan para tamu pada waktu matahari terbit memberikan peringatan kepada penerima tamu apa yang bakal terjadi kalau suami-isteri pemilik rumah terlambat dan pelit dalam menyuguhkan sajiannya. Kalau mereka terlambat dan pelit, para tamu bisa meruntuhkan pondok ruang tamu!

Di masa sekarang, masyarakat Biak mengungkapkan secara lebih lembut cara-cara mempererat ikatan sosial di antara mereka melalui wor. Ikatan sosial yang ingin diperkuat itu bisa menyangkut kenangan akan seorang anggota keluarga di perantauan. Sambil memandang laut yang tenang, dengan ikan layang-layangnya, di depannya, saudara perempuan yang mengenang saudara lelakinya di perantauan menyanyikan wor tentang apa yang dibayangkan pasti dirasakan saudaranya, nun jauh di sana. Dia, misalnya, pasti punya kenangan terhadap Biak dan rasa keberuntungan yang dialami orang-tua dan sanak saudara di kampung halamannya. Wor perempuan itu pun mengingatkan kaum kerabatnya yang jauh bahwa reputasi saudara lelakinya ditentukan oleh penghargaannya terhadap dia.

Wor Masa Kini?

Apakah pengungkapan wor secara lebih lembut tadi berarti bahwa wor masih berkembang? Ataukah ia sudah merosot menjadi suatu budaya musikal yang lebih banyak tinggal dalam kenangan masyarakat Biak masa kini? Bab berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Read More....

09 Agustus 2008

16. Musik Suku Biak-Numfor (4)

Kira-kira dua tahun yang lalu (2006), saya menemukan secara kebetulan suatu CD musik tradisional yang langsung saya beli di suatu toko penjualan CD, VCD, DVD, dan kaset di Semanggi Plaza, Jakarta Pusat. Terpampang pada gambar sampul depan berwarna cokelat muda dua orang lelaki berusia antara 20-30 tahun dalam busana tradisional Biak tengah menabuh tifa. Tertulis: "SERI MUSIK INDONESIA BIAK IRIAN JAYA 10 Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia". Angka 10 adalah rekaman seri ke-10.

Sampul belakang CD itu memberi ringkasan yang agak rinci. CD itu berisi musik dari Biak, Irian Jaya. Ada tujuh belas wor (tarian disertai nyanyian tradisional khas Biak), empat nyanyian gereja, dan satu lagu yosim-pancar (yospan). Ke-22 lagu ini dalam bahasa Biak. Semuanya direkam di Biak pada tahun 1993 dan 1994 dan disunting oleh Philip Yampolsky serta diulas oleh Yampolsky dan Danilyn Rutherford. Yampolsky dan Rutherford adalah dua orang Amerika Serikat dari Pusat Program Kehidupan Rakyat dan Kajian Budaya Lembaga Smithsonian di Washington DC, AS. Hasil rekaman musik tradisional di Biak adalah salah satu proyek kerjasama antara Lembaga Smithsonian dengan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) di Jakarta. Karena blog ini memusatkan perhatian pada musik tradisional di Papua, saya akan membatasi pembahasan selanjutnya pada ke-17 wor tadi.

Yosim pancar - disingkat yospan - adalah fusi dua tarian rakyat modern dari Papua, yaitu, yosim dan pancar. Yosim adalah suatu tarian tua mirip poloneis dari dansa Barat dan berasal dari Sarmi, suatu kabupaten di pesisir utara Papua/Papua Barat di barat Jayapura, dekat Sungai Mamberamo. Pancar adalah suatu tarian yang berkembang di Biak-Numfor dan Manokwari awal 1960-an semasa Belanda, meniru pada awal sejarah kelahirannya, gerakan-gerakan "akrobatik" di udara - seperti gerakan jatuh jungkir-balik dari langit, mirip daun kering yang jatuh tertiup angin - dari pesawat tempur jet Neptune buatan Amerika Serikat yang dipakai Angkatan Udara Belanda di Irian Barat. Awal 1960-an, konflik Belanda-Indonesia seputar status kedaulatan atas Irian Barat masih berlangsung. Karena pesawat tempur ini digerakkan oleh pancaran gas (jet), maka tarian yang meniru gerakan akrobatiknya mula-mula disebut Pancar Gas, kemudian disingkat menjadi Pancar. Sejak kelahirannya awal 1960-an, Pancar sudah memperkaya gerakannya dari sumber-sumber lain, termasuk dari alam. Fusinya dengan yosim sangat memperkaya tarian rakyat ini.

Ke-17 lagu ini terdiri dari enam lagu tarian, enam lagu non-tarian, dan lima lagu naratif. Sebagian nyanyian tradisional ini sudah disebutkan Dr. F.C. Kamma dalam tulisan terdahulu. Lagu tarian mencakup kankarem, morikin, sandia, dun sner, dan dow mamun refo. Kayob, kayob refo, dow besom refo, armis, randan, dan dow bemun wame tergolong pada lagu-lagu non-tarian. Lagu-lagu naratif - boleh disebut balada-balada - terdiri dari beyuser Koreri, beyuser, dan beyuser refo.

CD yang saya beli disertai di dalamnya oleh lipatan lembaran cetakan yang juga memberi ulasan Rutherford dan Yampolsky tentang Biak dan ke-22 lagu tadi. Bagian-bagian yang relevan akan diringkaskan di sini.

Penduduk Biak-Numfor dan Wor

Penduduk Biak-Numfor bejumlah 96.000 orang pada awal 1990-an. Pada dasawarsa ini, ia kabupaten yang paling padat penduduknya di Irian Jaya. Ia juga satu-satunya wilayah di Irian Jaya yang penduduknya punya satu bahasa dan kebudayaan.

Wor dipandang oleh kedua pengulas tadi sebagai suatu corak musik Biak. Masa kini, wor jarang ditemukan; meskipun demikian, "banyak orang yang dibesarkan bersama wor masih ingat lagu-lagu tersebut dan senang kalau diminta menyanyikannya".

Dulu, masyarakat Biak senang menyelenggarakan pesta-pesta megah untuk menandai kehidupan sosialnya. Wor adalah tarian disertai nyanyian dalam pesta-pesta itu. Sekarang, kedua-duanya tergolong pada sejarah masa lampau. Meskipun demikian, "upacara perkawinan, ulang tahun, atau keselamatan pulang dari pelayaran masih dirayakan dengan kegiatan makan dan minum, menari dan menyanyi sepanjang malam." Nyanyian wor masa lampau sekarang diganti dengan lagu-lagu gereja dan yospan dalam kebanyakan perayaan.

Apa Itu Wor?

Di masa lampau, wor menjadi bagian dari kehidupan orang Biak. Ia punya berbagai fungsi, terutama, untuk menyampaikan identitas sosial. Para wanita yang berkebun atau bertenun menyanyikan wor untuk mengenang orang-orang kesayangannya di tempat yang jauh atau untuk mengenang anggota-anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia. Para pria menyanyikan wor di tengah laut untuk menenangkan roh-roh laut atau untuk bersiap-siaga sebelum berperang. Anggota keluarga dari segala usia menyanyikan wor seminggu penuh untuk menandai suatu jenjang hidup dari seorang anak. Untuk mengutarakan identitas sosial, peserta wor mengesahkan tuntutan klen atas batas wilayah, menyuarakan permintaan akan pemberian makanan dan minuman pada pesta, dan memohon simpati atau dukungan.

Suatu ciri wor adalah improvisasi-improvisasinya oleh penyanyi yang berpengalaman. Penyanyi ini terampil, benar-benar menguasai seluk-beluk melodi dan ritme wor, dan mendemonstrasikan improvisasi-improvisasinya yang cerdik dan cepat. Kemahirannya menyanyi secara spontan seperti ini membuat dia memperoleh popularitas dan keberuntungan.

Improvisasi adalah kemampuan seseorang untuk menyanyi atau memainkan suatu alat musik tanpa persiapan, tanpa musik yang diingat atau ditulis. Jazz adalah suatu corak musik modern yang dicirikan juga oleh improvisasi.

Ada puluhan jenis wor dalam musik tradisional suku Biak-Numfor. Jenis-jenis wor ini dibedakan berdasarkan melodi, ritme, dan atau fungsi sosialnya. Ada, misalnya, kankarem, lagu pembukaan; beyuser, lagu berkisah atau balada; dow mamun, lagu perang; dan lagu-lagu tarian seperti yerisam, sandia, dan dow arbur.

Jenis-jenis wor ini bisa disebut wor-wor standar karena suku Biak mengenal juga dan menerima variasi-variasi wor. Variasi-variasi ini bersifat regional atau individual dan mereka menghargainya sebagai semacam dialek-dialek musikal.

Meskipun ada berbagai jenis wor dan variasinya, semuanya berasal dari satu skema yang rumit dan konsisten. Mereka yang menguasai skema ini sudah menguasai kaidah-kaidah seni wor dan keindahannya.

Setiap wor dibagi dalam dua bagian: kadwor atau "pucuk" dan fuar atau "akar". Menyanyikan kedua bagian ini secara berganti-gantian antara penyanyi solo dan koor atau antara satu kelompok dan kelompok lain menimbulkan kesan orang menyanyikan kanon, seperti yang sudah dijelaskan.

Mula-mula, seseorang memperkenalkan suatu lagu yang baru dengan menyanyikan kadwor dan fuar supaya didengar dan dihafal penyanyi dan penari lain. Ketika penyanyi solo mengulangi lagu baru itu dari awal, penyanyi lain menjawab dengan menyanyikan bagian pertama. Kemudian, serombongan penari dan penyanyi lainnya bergabung dengan menyanyikan bagian pucuk dan akar; satu kelompok menyanyikan pucuk dan kelompok lainnya menyanyikan akar. Tarian dan nyanyian mereka diiringi tabuhan gendang-gendang tifa yang memainkan ritme; volumenya makin besar ketika makin banyak penyanyi menangkap lirik lagu yang diperkenalkan seorang penyanyi individual tadi.

Ketika lagunya sudah dikuasai sebagian besar penyanyi, tahap-tahap menyanyikan lagu itu menjadi lebih sederhana. Solois hanya menyanyikan kadwor, lalu koor mengambil alih dengan mulai dari kadwor dan melanjutkan nyanyian ke fuar.

Bagaimana tingginada suatu wor ditetapkan? Tergantung setiap individu dalam setiap kelompok. Masing-masing memilih suatu tingginada dan bergabung dengan koor sesuka hatinya. Penetapan tingginada secara individual bisa mengakibatkan melodi versi seorang penari dan penyanyi berbeda dengan versi melodi yang lain. Namun demikian, semuanya akan menyatu dalam bagian akhir dari setiap larik.

Ada kebebasan yang menonjol dan untuk bersaing ketika orang menari sambil menyanyikan wor dwi-bagian. Sementara seorang penyanyi memulai lagunya, dia bukanlah pemimpin koor yang akan menyanyikan kembali lagunya. Koor itu tetap tanpa pemimpin; setiap orang berusaha untuk menonjol. Tidak hanya ini. Setiap paroan suatu koor berusaha untuk mendominasi lagunya. Suatu paroan koor yang menyanyikan akar memulai bait mereka sebelum paruhan koor lain yang menyanyikan ujung selesai. Penyanyi kadwor membalas dengan berusaha "merampas kembali" lagunya.

Akibat apakah yang timbul dari cara menyanyi yang menyingkapkan kebebasan untuk bersaing macam ini? Terciptalah apa yang dalam musik Barat disebut bentuk heterofonik, suatu istilah yang mengacu pada struktur atau susunan nyanyian. Ia dibentuk dari dua kata: hetero- (lain, berbeda) dan -fonik (bersifat memakai atau menghasilkan bunyi). Dalam hubungan dengan susunan nyanyian wor menurut caranya ia dinyanyikan, bentuk heterofonik mengacu pada variasi bebas dalam nada-nada, dalam frasa-frasa melodik, dalam melodi-melodi, dan dalam kualitas-kualitas bunyi nyanyian wor; semua ciri ini terjadi secara bersamaan dalam susunan suatu nyanyian dan tarian wor.

Suatu contoh lirik wor bisa memperjelas ciri-cirinya. Susunannya mirip suatu teka-teki karena bagian fuar mengisi bagian "kosong" dari kadwor. Syairnya seputar dua orang ahli musik asal Amerika Serikat - Philip Yampolsky dan Danilyn Rutherford dari Lembaga Smithsonian - yang merekam wor ini dan wor lainnya.

Kadwor (Pucuk)

  1. Imyundiso rwamanjasa. rwamanjasa (Alangkah baiknya engkau berdua bisa datang, engkau berdua bisa datang).
  2. Suworo mindima mukesepen boi muyun dandi ra bebuka-i boi sukon surower (Mereka akan menyanyikan wor untukmu, untuk direkam, dibawa ke sana, dan dibuka - dimainkan kembali - untuk didengar mereka sambil duduk-duduk).

Fuar (Akar)

  1. Aryo naeko Suan Bebayae imyundiso rwamanjasa, rwamanjasa (Oh saudara perempuan, Tuan Besar - musikolog dari Amerika - alangkah baiknya engkau berdua bisa datang, engkau berdua bisa datang).
  2. Romawa suworo mindima mukesepen boi muyun dandi ra bebuka-i boi insoso bin ansul iwa sukon surower (Supaya para pemuda dapat menyanyikan wor untukmu, untuk direkam, dibawa ke sana, dan dibuka - dimainkan kembali - untuk didengar oleh para gadis di sana sambil duduk-duduk).

Wor yang berisi pucuk dan akar tadi adalah juga suatu contoh beyuser, nyanyian yang berkisah. Dalam menyanyikannya, para penyanyi mengindividualisasi melodinya. Rekamannya bisa Anda dengar pada side bar blog ini.

Apakah individualisasi itu terbatas pada nyanyian wor tadi? Ternyata tidak. Pencipta lagu pun menunjukkan individualisasi dalam lagu-lagu wor ciptaannya. Individualisasi macam apa? Bab berikut akan menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Read More....

01 Agustus 2008

15. Musik Suku Biak-Numfor (3)

Ternyata, Manseren Koreri pun seorang pencipta lagu dan syairnya. Dua di antaranya yang dicatat Kamma dalam disertasinya dikutip di sini dengan penjelasan tertentu.

Salah satu ciptaannya menunjukkan bahwa Nieuw Guinea memang dikenal oleh penduduk Biak-Numfor dengan nama Irrian. Nama Papua tidak mereka kenal. Terjemahan agak bebas syairnya demikian:

Bapa Kayan Sanawi bangkit berdirilah. /Engkau suci./Engkau menutupi sinar matahari /di gunung Yamnaibori, /gunung puteri Biak /agar kami semua mengisi berkatmu /dan berangkat ke Irrian, daratan itu. /Karena mataku telah melihat / bahwa bintang kejora timbul /dan tidak berhenti di atas Kumamba di Timur.

Kayan Sanawi adalah penamaan lain dari Manarmakeri sebelum dia menjadi Manseren Koreri.Sementara itu, gunung Yamnaibori adalah tempat seorang lelaki yang kemudian bernama Manarmakeri menemukan antara lain sebagian rahasia Koreri. Manarmakeri lalu menjadi Manseren Koreri sesudah dia menguasai rahasia Koreri yang antara lain memampukannya mengubah dirinya dari lelaki tua berkulit koreng yang tidak disukai menjadi seorang lelaki muda yang ganteng, gagah perkasa.

Ciptaan lain Manarmakeri mengungkapkan pelayarannya ke Timur sesudah penduduk di Krawi, Yapen Utara, menolak rahasia hidup yang kekal yang sudah dimilikinya sebagai Manseren Koreri. Dari Krawi, dia mengarungi Sungai Mamberamo sampai mencapai gunung-gunung yang tinggi untuk dilihat dan diberi tandanya. Terjemahan agak bebas syairnya demikian:

Dengarlah! kawan-kawan para leluhur./Gadis-gadis! ejekanmu di Sungai Sopen adalah penyebabnya./Engkau wanita Biak, karena itulah ya karena itulah aku menuruni gunung Yamnaibori / dan berdayung melawan arus Mamberamo, arus berpusaran air./Aku mengarungi arus ke arah mudik,/tetapi tidak tinggal di sana./Aku tinggal di tanah Darakya, /tetapi menempatkan tanda tanah kita Biak di sana./Tanda yang membunuh begitu saja.

Larik terakhir mengacu pada suatu tanda kepemilikan dengan kekuatan untuk membunuh.Ejekan gadis-gadis di Sopen mengacu pada kekesalan Manarmakeri ketika dia mengetahui seekor babi yang dihadiahkan padanya dibunuh dan dijadikan makanan tanpa izin dan sepengetahuan dia oleh anggota-anggota klennya. Bukan itu saha. Kebun labunya pun dirusakkan dan buah labunya dijadikan makanan juga oleh kaum kerabatnya. Dia marah dan sementara berdayung meninggalkan mereka ke arah tenggara Sopen, dia mendengar wanita-wanita satu klennya mengejeknya dalam suatu nyanyian di Sopen: hanya karena daging babi dan buah labu saja, suatu masalah sepele, dia menjadi marah. Akan tetapi, tidak jelas letak tanah Darakya.

Apakah Kamma mencatat juga melodi kedua syair tadi? Disertasinya tidak berisi catatan itu. Kita sebagai akibatnya tidak tahu melodi macam apakah yang digunakan untuk kedua syair Manarmakeri tadi.

Malam-Malam Adven

Aslinya, kata "adven" berarti tibanya atau datangnya suatu perkembangan, musim, dan lain-lain, yang penting. Kalau diawali dengan huruf A pada posisi mana saja dalam kalimat, kata "Adven" mengacu pada kedatangan kembali Kristus atau pada empat hari Minggu menjelang perayaan Natal. Kata "Adven" secara khusus mengacu pada kedatangan kembali Kristus pada Hari Penghakiman Terakhir.

Kamma memakai istilah "malam-malam adven" ketika dia membahas gerakan-gerakan Koreri. Apa maksudnya dengan istilah "adven"? Kata ini - tidak ditulis dengan huruf A besar kalau tidak dipakai di awal kalimat - berarti penantian kembalinya Manseren Koreri. Kembalinya pahlawan mitis ini adalah suatu bagian tak terpisahkan dari mitos tentang dia. Ketika dia kembali ke Irrian, dia akan menyingkapkan rahasia hidup yang sebelumnya ditolak orang Irrian zaman mitis kepada orang Papua masa kini, seperti kekayaan material yang berlimpah dan hidup yang kekal. Jadi, malam-malam adven dalam gerakan Koreri adalah malam-malam penantian kembalinya Manseren Koreri.

Sementara menunggu kedatangan kembali sang Manseren, para pengikutnya menyanyi dan menari. Nyanyian yang mereka bawakan mengikuti urutan tertentu dan mencerminkan suatu ketegangan yang memuncak bagi mereka. Nyanyian ini sering diiringi tarian dan tabuhan tifa.

Kapan malam-malam adven diadakan? Sesudah seorang konoor atau utusan Manseren Koreri membuat seruan ke kampung-kampung bahwa Manseren Koreri akan kembali. Mereka yang percaya menanggapi seruan ini dengan datang ke kampung konoor.

Akan tetapi, tidak semua orang perlu datang ke sana. Mereka juga mengadakan pertemuan untuk menantikan kembalinya Manseren Koreri. Berbagai anggota klen lalu berkumpul di rumah paling luas dari klennya. Meskipun demikian, pertemuan ini tidak sebesar yang diselenggarakan di kampung konoor.

Lalu, apa yang dilakukan mereka yang berkumpul di kampung konoor? Mereka mengikutsertakan teman-temannya supaya, sesuai keret atau klennya, mereka nanti tampil di bubes, di tempat menari. Tempat menari itu adalah yang paling luas di tengah kampung atau suatu tempat yang luas yang sudah disiapkan. Terkadang, pasir pantai dipakai juga kalau pasang masih surut dan cukup tersedia ruang.

Mulailah malam-malam adven. Dalam perkumpulan seperti ini untuk menantikan kembalinya Manseren Koreri, sang Mesias suku Biak-Numfor, para pengikut gerakan Koreri mulai dengan wor, tarian, pada hari pertama. Waktu menari adalah sebelum matahari terbenam.

Pada hari berikutnya, tarian dimulai sekitar pukul tiga siang. Sekitar jam ini, mereka menantikan "awal malam panjang", malam yang berlangsung sampai dengan subuh.

Pertemuan pertama dimulai dengan wor beyuser, disebut do besower atau nyanyian tanda hormat. Untuk itu, para peserta berkumpul keliling rumah konoor dan menyanyi: Selamat malam, selamat malam./selamat atas pemili8k rumah ini./Saudara! Selamat malam, selamat malam, /selamat atas raja, pemilik rumah ini, /ya, rumah ini.

Sampai dengan tengah malam, orang menyanyikan bermacam-macam melodi sambil menari. Atau mereka semua menyanyi dengan iringan tifa berukuran besar, bundar, dengan bagian tengahnya lebih ramping dari bagiannya yang menuju kedua ujungnya. Syair nyanyian berbeda untuk setiap keret, dan sering setiap keret punya semacam nilai monopoli atas syair-syair mereka. Setiap klen tidak dibenarkan menyanyikan lagu-lagu ratapan klen-klen lain selain dari klennya sendiri.Timbullah pembagian nyanyian sebagai berikut:

Beyuser Koreri

Ini bisa dibandingkan dengan balada dalam arti modern karena ia adalah nyanyian yang berkisah. Isinya sangat bervariasi. Melalui permainan kata atau cara bercerita secara langsung, penyanyi merenungkan sesuatu, memuji seseorang karena jasanya, mengejek, atau bahkan mendamprat orang lain.

Penyanyi mulai dengan beyuser umum. Jenis nyanyian ini tidak punya hubungan langsung dengan Koreri. Kemudian, nyanyian beralih kepada Koreri sebagai titik pemusatan perhatian.

Do Erisam

Sekitar pukul sepuluh malam, orang mulai menyanyikan erisam, suatu lagu perjalanan yang sejati. Bentuk lagu ini mereka nyanyikan selama perjalanan yang jauh dengan perahu, "isama si pok ro soren", agar orang menjadi kuat di laut. Ia dinyanyikan juga sebagai suatu nyanyian kemenangan dan, karena itu, ia juga suatu nyanyian perang. Melalui do erisam dalam konteks ini, orang menyanyi tentang ketegangan dan perjuangan menuju kemenangan. Koreri tengah tiba, orang mati dalam perjalanan menuju ke sini, dan orang yang percaya akan Manseren Koreri dan Koreri berjuang bersama orang mati yang akan hidup untuk menaklukkan kesukaran-kesukaran hidup.

Do Beba

Ini adalah nyanyian akbar, nyanyian agung. Sekitar tengah malam, Do Erisam beralih ke Do Beba, lagu kemenangan. "Garang dan keras orang menantikan kemenangan," komentar Kamma tentang ciri nyanyian ini. Ia suatu bentuk wor untuk suatu pelayaran hongi - dengan memakai perahu besar untuk pelayaran yang jauh - yang sukses ketika para awak tiba di kampungnya dengan membawa serta budak-budak tawanannya.

Randan

Sekitar pukul dua pagi (sesudah tengah malam), orang mulai menari Randan. Ini nyanyian tentang kedatangan kembali Manseren Koreri. Semua penari dan penyanyi menyanyi dengan ketegangan yang memuncak karena penantian akan kembalinya Manseren dan karena tarian-nyanyian ini akan disusul Tandia atau Sandia.

Tandia/Sandia

Ini suatu tarian yang dibawakan untuk mas saso, "untuk menguji". Tarian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa suatu rumah panggung yang baru didirikan kokoh.

Tujuan ini berkaitan dengan penantian Koreri. Tibanya Koreri akan mengakibatkan orang mati hidup kembali bersama mereka yang masih hidup. Agar mampu menampung orang mati yang hidup, rumah direnovasi dan diperluas. Dalam kelompok-kelompok, mereka menari di atas bilah-bilah kayu yang gemerincing. Mereka lalu terburu-buru menyanyi sambil ke luar rumah karena orang mati yang hidup kembali bisa saja muncul tiba-tiba dan, kalau memang demikian, rumah sudah disediakan untuk mereka.

Kedatangan mereka yang hidup kembali dipertunjukkan melalui tarian ekstase. Tarian ini muncul making sering menjelang pagi. Beberapa di antara peserta sudah mempersiapkan diri secara khusus untuk waktu ini; sepanjang malam, mereka tidak makan kecuali minum saguer, tuak dari pohon kelapa.

Terkadang, ekstase melanda sejumlah besar peserta. Mereka menari di luar kesadaran. Ini bisa begitu hebat sehingga suatu rumah tempat mereka menari bisa berguncang karena konvulsi, yaitu, luapan-luapan emosional melalui gerakan tubuh, mirip yang dialami penderita penyakit sawan atau epilespsi. Ini pertanda para peserta malam adven sudah kesurupan roh Koreri. Muncullah glosolalia, yaitu, kuasa untuk berbicara atau berkata-kata dalam bahasa yang tidak dipahami ketika orang berada dalam suasasana ekstase. Glosolalia, disebut juga karunia berbahasa lidah oleh orang Kristen, yang ditunjukkan para peserta yang menantikan kembalinya Manseren Koreri, menurut mereka, diakibatkan jiwa-jiwa orang mati yang sudah tiba dan mulai berbicara melalui mulut mereka.

Baik jiwa-jiwa orang mati yang adalah anggota suku maupun anggota bangsa lain - seperti orang Belanda dan China - akan menjadi bagian Koreri umum. Sementara gejala glosolalia masih muncul pada beberapa orang peserta, peserta lain terus menyelesaikan skema malam adven.

Pengalaman ekstase yang diikuti oleh glosolalia massal lain diuraikan Dr. F.C. Kamma dalam hubungan dengan malam-malam adven di Insumbabi, suatu pulau lain dekat Biak, menjelang PD II. Gejala kejiwaan ini ditunjukkan para pengikut Koreri yang sejati; Kamma menyebut gejala ini sebagai "sejenis psikose-massa" yang mudah tampak pada mereka yang peka, seperti anak-anak berusia antara 8 dan 10 tahun. Ketika mengalami psikose-massa, mereka menjadi pingsan, meluncur jatuh dari tempat duduknya, dan mulai berbicara tak keruan.

Malam-malam adven di Insumbabi mulai dengan nyanyian bersama yang melibatkan lelaki dan wanita. Nyanyian bersama itu biasanya dibawakan secara berbalas-balasan dalam bentuk yang disebut beyuser atau kankarem: bentuk tanya-jawab atau berkisah. Nyanyian-nyanyian yang mereka bawakan diciptakan Angganitha Menufaur, seorang wanita yang berkerabat dengan Manseren Koreri dan seorang tokoh utama gerakan Koreri di Supiori, sebuah pulau lain dekat Biak.

Kamma yang menyaksikan gerakan-gerakan Koreri seperti ini dan nyanyian-nyanyian bersama antara lelaki dan wanita selama malam-malam adven terkesan oleh nyanyian beyuser atau kankarem mereka. Tulisnya: "Nyanyian bersama lelaki dan wanita mempunyai sesuatu yang mengharukan melalui cara suara-suara lelaki dewasa yang berat memperdengarkan nada-nada rendah, yang dari padanya suara-suara wanita atau suara-suara tenor lebih tinggi dari lelaki seolah-olah melepaskan diri dari pelukan erat yang gelap dari suara-suara bas yang berat dari suara-suara lelaki dan deruman tifa. Ada sesuatu tentang pergulatan sebuah perahu yang melintasi gelombang laut dan hembusan angin kuat. Kesan, yang ditimbulkan nyanyian ini, selalu kentara, juga bagi orang asing. Terutama ketika ratusan orang terlibat, nyanyian mereka mengharukan."

Para peserta malam-malam adven di Insumbabi mengaku ketika mereka ikut menyanyi, mereka seakan-akan berada selama suatu waktu di suatu dunia gaib. Salah seorang informan Kamma asal Biak memperjelas pengaruh ini dalam bahasa Indonesia yang memakai suatu ejaan lama: "Oleh karena pergerakan dengan lagoe-lagoe yang sangat menarik perasaan orang, maka achirnya ada roh yang menggerakkan lidah orang akan berkata dengan roepa-roepa bahasa." Penjelasannya mengacu pada glosolalia, suatu bagian dari dunia gaib tadi.

Kayob Kummesri

Menjelang subuh, orang menyanyikan kayob, nyanyian ratapan merangkap nyanyian Bintang Kejora. Kayob mencakup semua nyanyian tentang kedudukan dan kualitas yang dihormati dari leluhur, seperti perbuatan, harta, nyanyian, perjalanan, dan kemenangan mereka. Para penyanyi mengatakan "ko kanes Kayob": kami menangiskan Kayob. Sebenarnya, ini menyanyi yang biasa tapi dengan tempo yang lambat, dengan variasi bunyi yang mengharukan, yang terkadang memang mengingatkan kita pada suasana menangis.

Kayob Kummesri, disebut juga Kayob Sampari, dikenal juga dengan istilah Yuser Dorek. Ini adalah suatu balada, suatu nyanyian berkisah pada waktu fajar. Terjemahan agak bebas syairnya demikian:

Tuhan Yang Besar,/ah, kiranya Engkau tidak berbahaya,/agar aku dapat menyambut fajar Sampari, Bintang Kejora,/turunlah ke atas kayu-kayu yang dilemparkan,/dilemparkan kepada wanita itu./Dia melempar sebagai seorang lelaki,/Bintang Kejora meraih,/dia melempar ke dada wanita itu,/Bintang Kejora kalah.

Tuhan Yang Besar dalam syair tadi mengacu pada Manseren Koreri. Sebelum mencapai tahap kekuasaan ini, dia seorang lelaki tua yang kulit badanya berkoreng dan karena itu disebut Manarmakeri. Sebagai Manarmakeri, dia bergulat dengan Bintang Kejora di pucuk pohon kelapa; sang bintang tertangkap basah mencuri dan meminum tuak kelapa Manarmakeri. Pergulatan antara Manarmakeri dan Sampari berakhir menjelang fajar sesudah makhluk luar angkasa itu mengabulkan permintaan Manarmakeri: dia akan bertemu calon isterinya dengan melemparkan sejenis buah dekat pantai (kayu-kayu dalam versi syair tadi) yang akan menyentuh payudara perawan itu dan mengakibatkannya mengandung dan melahirkan putera mereka, dan dia juga akan diberi kuasa untuk mendatangkan kekayaan material dan hidup yang kekal bagi suku Biak-Numfor dan suku-suku Papua lainnya.

Kisah tentang pergulatan Manarmakeri dengan Bintang Kejora mengingatkan kita pada suatu kisah Alkitab Perjanjian Lama: pertarungan Yakub melawan malaikat. Dalam gerakan Koreri yang besar, ada juga peserta yang ingat akan perjuangan Yakub melawan malaikat di Sungai Yabbok (Kejadian 38:24-27).

Ketika menyanyikan kayob, setiap keret memanggil-manggil kaumnya yang mati agar hidup kembali. Dengan demikian, tidak ada satupun yang tertinggal dalam orde Koreri.

Ribuan Peserta Wor

Beberapa tarian (wor) melibatkan ribuan peserta. Ini terjadi, misalnya, di Rani, sebuah pulau dekat Biak. Ribuan suara menyanyi diiringi ratusan tifa yang ditabuh selama malam-malam penantian kembali Manseren Koreri dan orde Koreri yang dibawanya. Dampaknya luar biasa. Seorang peserta memerikan dampak dahsyat itu melalui suatu analogi yang kuat: "Seandainya Rani adalah sebuah kapal, selama malam-malam itu, kami sudah menarikan kapal itu ke dalam tanah."

Nyanyian dan Tarian dalam Upacara Insidental

Dalam buku lain, Dr. F.C. Kamma membahas berbagai upacara tradisional yang melibatkan nyanyian dari suku Biak-Numfor. Ada upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan, mulai dari lahir sampai dengan matinya seseorang. Salah satu jenis upacara siklus kehidupan itu diistilahkan Kamma sebagai "upacara insidental" karena diselenggarakan sesuai kebutuhan. Salah satu upacara insidental yang melibatkan suatu jenis tarian yang meniru gerakan ular naga; karena itu, tarian ini disebut wor ular naga, diikuti lelaki dan wanita.

Dalam wor (tarian) yang meniru gerakan ular naga, para peserta menari berkeliling. Penari lelaki membentuk kepala sementara penari wanita membentuk ekor ular naga. Kepala dan ekor tidak saling menyentuh. Para lelaki menari dalam pasangan yang sejajar dengan menjepit tifa di ketiaknya. Irama muncul ketika mereka menabuh tifanya. Sementara itu, para lelaki meloncat-loncat dengan gerakan tubuh yang berlimpah-limpah atau melakukan gerakan menekuk lutut dan melangkah dengan jarak yang kecil sambil menarik telapak kakinya di atas tikar. Sementara itu, mereka melambaikan daun-daun pepohonan atau bulu-bulu burung di samping bahunya. Gerakan tubuh menari seperti ini disebut fyer, menari.

Dalam menyanyi, penari lelaki menetapkan tingginada suatu lagu. Kemudian, para penari wanita masuk dengan suara-suaranya yang tinggi. Terbentuklah nyanyian urutan, nyanyian yang dibawakan silih ganti antara lelaki dan wanita. Nyanyian urutan ini membentuk suatu dialog yang dramatik. Intensitasnya meningkat kira-kira di tengah syair yang dinyanyikan. Pada pertengahan syair, timbullah semacam fuga atau fugue dalam bahasa Inggris. Ini sejenis melodi dalam musik klasikal Barat yang bergerak cepat dan melibatkan bermacam-macam suara-nyanyi (tiga atau empat) yang masuk berturut-turut sambil saling meniru. Dalam menyanyikan bagian melodi tersebut, suara-suara lelaki yang gelap dan dalam terkadang dipecahkan oleh pekikan-pekikan yang tajam dari suara-nyanyi wanita-wanita.

Kekurangan Info tentang Bentuk Melodi dan Pola Ritme

Penggemar musik populer modern bisa membedakan berbagai irama. Mereka bisa membedakan irama dangdut dari keroncong, reggae dari samba, wals dari rock 'n roll, dan funky dari disko. Setiap irama musik ini pun punya dansanya sendiri. Setiap irama punya ciri khasnya dan barangkali tidak semua penggemar bisa menjelaskan tetek bengeknya.

Serupa dengan penggemar irama musik populer, kita yang membaca uraian Kamma tentang berbagai jenis nyanyian tradisional suku Biak-Numfor dan tarian yang menyertainya bertanya-tanya. Apakah Beyuser Koreri, Erisam, Do Beba, Randam, Tandia/Sandia, dan Kayob Kummesri adalah nyanyian dan tarian dengan berbagai irama? Karena belum paham benar, kita ingin tahu lebih jauh. Tangganada apa yang dipakai nyanyian tadi? Apakah temponya sama atau berbeda? Apakah tabuhan tifa sama atau berbeda juga untuk setiap nyanyian? Apakah melodinya tenang dan lembut, lambat, atau cepat, bersemangat, berapi-api? Kita menduga ada ciri-ciri khas setiap nyanyian tadi karena masing-masing punya namanya sendiri.

Tentu semua pertanyaan tadi tidak dijawab Kamma. Uraiannya tentang musik dan tarian suku Biak-Numfor tadi memang tidak difokuskan pada seni musik atau musik etnik. Dia menguraikannya sebagai bagian dari fokus penelitiannya pada gerakan-gerakan Koreri dan berbagai upacara tradisional di daerah kebudayaan Biak-Numfor. Meskipun demikian, uraiannya tentang musik dan tarian dari Biak-Numfor cukup rinci.

Kita menjadi tahu tentang beberapa segi yang berhubungan dengan ciri-ciri musik tradisional suku Biak-Numfor.

  • Ada syair yang memberi petunjuk tentang sejarah masa lampau suku Biak-Numfor, seperti nama Irrian dalam salah satu syair Manarmakeri. Syair ini menyingkapkan juga fragmen-fragmen tertentu dari Manseren Koreri.
  • Nyanyian-nyanyian yang Kamma uraikan dibatasi pada yang dibawakan dalam malam-malam adven dan dalam upacara insindental.
  • Ada berbagai bentuk dan jenis nyanyian dan tempat serta cara para peserta malam-malam adven membawakan nyanyian itu.
  • Ada juga nyanyian dan tarian yang tidak berkaitan dengan malam-malam adven tapi dengan upacara insidental.
  • Tifa untuk mengiringi nyanyian-nyanyian itu dan bentuk tifa serta cara menjepitnya diperikan oleh Kamma.
  • Beberapa nyanyian berkisah suku Biak-Numfor tidak beda dengan balada bangsa-bangsa lain dan balada modern. Selain itu, kita tahu ada nyanyian perjalanan, nyanyian akbar, nyanyian tentang kedatangan kembali Manseren Koreri, dan nyanyian ratapan.
  • Pemerian Kamma tentang tarian yang meniru ular naga dan nyanyian yang dibawakan memberi kita sedikit pemahaman tentang ciri nyanyian itu: mirip fuga yang bertempo tinggi dan dinyanyikan silih ganti antara lelaki dan wanita.
  • Nyanyian dan tarian disertai minuman tuak pohon kelapa selama malam-malam adven yang menimbulkan semacam psikose-massa yang muncul dalam gejala psikologis massal, yaitu ekstase dan glosolalia, adalah ciri-ciri baru yang muncul sejauh ini dalam musik tradisional Papua.

Sayang, tidak ada notasi balok atau angka tentang nyanyian-nyanyian yang dibawakan para peserta gerakan Koreri. Bagaimana bentuk melodinya dan tangganada apakah yang dipakai? Tidak ada juga notasi atau rekaman tentang pola-pola tabuhan tifa suku Biak-Numfor pada malam-malam penantian itu. Sebagai akibatnya, kita kekurangan informasi tentang pola-pola ritme khas nyanyian dan tabuhan tifa suku Biak-Numfor. Tanpa dokumentasi pola-pola ritme khas ini, kita sulit mengembangkan musik yang khas Papua.

Apakah bentuk-bentuk melodi, tangganada yang mendasarinya, dan pola-pola ritme itu direkam oleh Smithsonian Institute dari Amerika Serikat? Hasil penelitian lembaga ini yang memakai rekaman melalui CD mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan ini dalam bab berikut.

Read More....