08 September 2008

19. Musik Suku Biak-Numfor (7)

Ketujuh belas wor yang direkam berbagai penyanyi atau kelompok penyanyi di Biak antara 1993-1994 bisa dibagi dalam tiga kelompok utama. Pertama, kelompok lagu-lagu tarian; kedua, kelompok lagu-lagu berkisah; dan, ketiga, kelompok lagu-lagu non-tarian. Penjelasan tentang berbagai macam wor ini dibatasi pada hasil rekaman Yampolsky dan Rutherford.

Kelompok Lagu-Lagu Tarian

Ada enam lagu tarian yang direkam. Semuanya berasal dari Biak Utara kecuali rekaman salah satu Sandia dari Biak Barat. Kelompok ini mencakup Kankarem, Morinkin, Sandia, Dun Sner, dan Dow Mamun Refo. Kankarem dan Sandia sudah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya; karena itu, bab ini melengkapinya dengan info baru.

Kankarem

Sebagai lagu pembukaan yang dinyanyikan sesudah senja, kankarem dinyanyikan para tamu sambil memasuki arena tari. Penyelenggara pesta yang menjadi sasaran nyanyian para penari adalah isteri kepala keluarga; isterinya berkerabat dengan para penari. Dengan halus para penyanyi dan penari menyindir "nyonya" rumah tangga karena dia menunda pesta ini sampai matahari terbenam. Ini berarti pesta ini mulai terlambat dan dia sudah menunggu sampai menjadi tua sebelum dia mengadakan pesta.

Apa fungsi sosial kankarem di Biak? Pencapaian kehormatan bagi pihak penyelenggara pesta. Pihak lelaki yang tengah menyanyi dan menari dan berfamili dengan isteri "tuan" rumah mengumpulkan sejumlah besar barang asing untuk diberikan kepada penyelenggara pesta; sementara itu, pihak perempuan yang adalah salah seorang anggota famili para penari menyiapkan hidangan yang besar. Baik para tamu maupun penyelenggara merasakan bahwa penyelenggaraan pesta ini adalah suatu beban. Meskipun demikian, pesta ini adalah suatu peristiwa yang dinantikan: ia merupakan suatu sarana untuk mencapai kehormatan saudara lelaki yang menari dan saudara wanitanya yang menjadi penyelenggara pesta tersebut.

Morinkin

Sesudah kankarem, para tamu boleh jadi melanjutkan wor mereka dengan morinkin. Lagu tarian ini punya lirik yang sangat tua yang menyingkapkan suatu metafora. Lirik ini memerikan seekor burung elang laut yang memburu mangsanya sepanjang tebing-tebing batu. Sama halnya dengan burung elang yang memanggil-manggil temannya untuk berbagi makanan, isteri penyelenggara pesta akhirnya mengundang sanak keluarganya untuk pesta makan besar.

Sandia

Pada zaman dulu, mereka yang bersukaria menyanyikan Sandia menjelang fajar. Inilah saatnya tenaga untuk menari dan menyanyi mencapai puncaknya. Sebagai suatu jenis wor, Sandia mengambil namanya dari tumbuhan rambat magis yang dimakan oleh para ahli wor. Kemahiran menyanyi mereka selalu menonjol di akhir suatu perayaan ketika para penyanyi lain sudah kehabisan suara.

Sandia dari Biak Utara adalah suatu lagu lama. Ia merupakan suatu permintaan pada tuan rumah: "Turunkanlah hiasan perahu itu!" para penari dan penyanyi mendesak.

Untuk maksud apa desakan mereka? Barangkali, mereka mengharapkan tukar-menukar terakhir diadakan sebelum pesta usai.

Sandia dari Biak Barat bisa disebut Dow Arbur, "nyanyian makhluk halus di pohon". Bait-baitnya memerikan makhluk halus wanita yang memilih sebatang pohon beringin sebagai huniannya.

Dow Arbur diduga adalah suatu nyanyian pemberi semangat yang memanfaatkan psikologi ketakutan para peserta. Konon, para ahli wor zaman dahulu menyanyikan Dow Arbur ketika keadaan gelap sebelum fajar di sekitar para peserta pesta. Tujuannya untuk menakut-nakuti mereka yang mengantuk dalam pesta agar bangkit berdiri dan menari sambil menyanyi lagi. Siapa pun yang tertidur bisa dicabuti rambutnya oleh makhluk-mahkluk halus di pohon.

Dun Sner

Secara harfiah, Dun Sner berarti "pemikat hati". Jenis wor ini dinyanyikan di akhir suatu pesta untuk memancing simpati nyonya rumah kepada para penari yang miskin dan lapar.

Liriknya secara khusus menyiratkan suatu ancaman terhadap "para wanita dari pantai". Mereka yang diancam kemudian pulang dari pesta sambil menggerutu tentang perlakuan tak ramah seperti itu.

Pesan moralnya? Kalau suami-isteri penyelenggara pesta ingin menghindari reputasi buruk, mereka seyogyanya berbaik hati kepada para tamunya.

Dow Mamun Refo

Jenis wor ini dibentuk oleh dua bagian: dow mamum atau "nyanyian perang" dan Refo, Alkitab. Secara harfiah, istilah ini berarti "nyanyian perang Alkitab"; dengan kata lain, ia adalah suatu nyanyian dan tarian perang yang memakai tema-tema Alkitab tertentu.

Di masa pra-Kristen, Dow Mamun mampu mendorong orang Biak untuk siap dengan senjatanya. Di masa kini, jenis wor khusus yang disebut Dow Mamun Refo mengungkapkan berbagai tema Kristen, seperti perumpamaan tentang gandum dan dedak dalam Perjanjian Baru. Dedak dipisahkan dari gandumnya melalui suatu saringan. Suatu lirik jenis wor rohani ini bertanya dan menjawab: "Siapa yang memegang saringannya? Tuhan Yesuslah yang memegangnya."

Kelompok Lagu-Lagu Berkisah

Ada lima jenis wor yang tergolong pada kelompok ini. Beyuser Koreri dan dua Beyuser dinyanyikan dan direkam di Biak Selatan. Dua jenis wor lain yang juga dinyanyikan dan direkam mencakup Beyuser Refo (Biak Utara) dan suatu Beyuser lain (Biak Timur).

Beyuser Koreri

Beyuser Koreri berisi lirik yang berasal dari dasawarsa 1940-an di Biak. Aslinya, syair lagu ini dinyanyikan dalam suatu perayaan malam-malam adven atau penantian kembalinya Manseren Koreri, sang Mesias tradisional suku Biak-Numfor, sekitar 68 tahun yang lalu. Nama Insoraki, puteri yang kemudian menjadi isteri Manarmakeri (Lelaki Berkulit Koreng) sebelum lelaki ini menjadi Manseren Koreri, disebut dalam lirik ini sebagai Maria, ibu Yesus Kristus.

Beyuser pertama Biak Selatan

Beyuser pertama dari Biak Selatan menyingkapkan kenangan penyanyinya yang sekaligus berperan sebagai narator atau penutur kisah. Dia berasal dari suatu kampung dekat pantai di Biak. Ayah penyanyi ini menciptakan suatu lagu tentang penolakan. Sekembalinya dia dari tugasnya di "tanah orang-orang asing" (Jayapura), dia suatu hari bangun pagi-pagi dan mendaki bukit di belakang kampungnya untuk membersihkan dan menanami ladangnya. Baru saja dia mencapai ladangnya, sekelompok wanita yang sudah menanami seluruh ladang itu mengusirnya. Dia merasa kecewa, kembali ke pantai, dan melamun sendiri. Dalam khayalannya, dia tengah membuat sebuah perahu, berlayar jauh, tiba di Mamberamo, dan membayangkan bahwa wanita-wanita itu lupa bahwa dia masih ada. Ini suatu beyuser dengan lirik yang berkisah tentang suatu pengalaman hidup yang agak luar biasa yang mengungkapkan perasaan-perasaan dan imajinasi tertentu.

Beyuser kedua Biak Selatan

Beyuser kedua dari Biak Selatan merupakan suatu komposisi spontan. Pembukaan liriknya menunjukkan suatu patokan atau semacam aturan baku beyuser. Aturan ini membolehkan penggantian obyek suatu beyuser terdahulu dengan obyek lain. Dalam pembahasan sebelumnya tentang pucuk dan akar wor, bagian akarnya menyebutkan kedua ahli musik dari AS yang merekam para penyanyi sebagai Suan Bebayae (Tuan Besar). Sebutan ini adalah obyek bagian akar wor tersebut. Sekarang, dalam beyuser kedua dari Biak Selatan, kedua Tuan Besar itu (obyek pertama), diganti dengan sebutan "naek", saudara kandung dari jenis kelamin yang sama dengan penyanyi (obyek kedua). Sang penyanyi merangkap narator itu berkata: "Untunglah engkau datang, naeko, Tuan Besar sehingga anak-anak dapat menyanyikan suatu wor untukmu agar dapat diperdengarkan kepada para gadis di seberang sana." Pendek kata, lirik ini membuat kedua orang asing itu menjadi sejajar dengan penyanyi.

Beyuser ketiga Biak Timur

Suatu beyuser lain dari Biak Timur diciptakan secara spontan waktu rekaman diadakan. Liriknya berisi suatu kritik tidak langsung penyanyi terhadap kepala kelompok penyanyi wor untuk direkam dari Biak Timur. Sesi rekaman ini bukanlah suatu bindarwe, suatu tukar-menukar pengantin wanita. Secara tradisional, bindarwe adalah suatu upacara tukar-menukar (dalam bentuk pesta) antara dua klen. Salah satu klen cenderung membelanjakan uang untuk makanan dan menghabiskannya lebih banyak daripada klen lainnya. Ketidakadilan ini terjadi karena pemimpin kelompok (yang mencakup penyanyi tadi sebagai anggotanya) terlalu mementingkan honorarium! Bagi pencipta dan penyanyi beyuser ini, pertunjukannya hanyalah suatu hiburan! Beyuser yang diciptakan tanpa persiapan ini menunjukkan bahwa kritik pun bisa disalurkan secara musikal.

Beyuser Refo

Wor Alkitab atau Kristen ini diciptakan Utrecht Wompere dari Warkimbon pada tahun 1989. Lagu ini berisi lirik yang berkisah tentang kedatangan kedua misionaris Eropa pertama di Nieuw Guinea. Mereka berdua mendarat di pantai Mansinam, sebuah pulau kecil dekat Manokwari, memancangkan bendera mereka, berdoa memohon pertolongan Tuhan agar suatu waktu dapat menyebarkan Injil ke Biak.

Kelompok Lagu-Lagu Non-Tarian

Ada enam lagu yang direkam dalam kelompok ini. Ada satu Kayob dari Biak Timur, satu Kayob Refo dari Biak Utara, satu Dow Besom Refo dari Biak Barat, satu Armis dari Biak Barat, satu Randan dari Biak Utara, dan satu Dow Bemun Wame dari Biak Timur. Ketiga lagu yang disebut terakhir punya makna keramat di masa pra-Kristen orang Biak.

Kayob

Kayob seperti yang dipahami pertama kali oleh para misionaris Belanda dalam paruhan kedua abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah nyanyian perkabungan, termasuk untuk upacara pemakaman orang mati. Tapi info awal 1990-an yang dihimpun Yampolsky dan Rutherford menyatakan bahwa kayob yang bersuasana sedih awalnya dinyanyikan di laut yang berbadai. Melodinya yang sedih dipercaya akan meredakan angin dan gelombang.

Kayob dari Biak Timur dibawakan seorang penyanyi dari Opiaref. Dia menuturkan melalui lirik lagu ini suatu perjalanan kapal nenek moyangnya. Mereka disajikan bubur yang begitu banyak sehingga mereka harus membuang sebagian ke laut.

Kayob Refo

Kayob yang diilhami Alkitab ini berkisah tentang kebangkitan Tuhan Yesus dari maut. Maria diundang untuk mengintai ke dalam kuburan Yesus yang kosong.

Dow Besom Refo

Penyanyi tunggal lagu ini mengatakan ini suatu "lagu pujian". Liriknya mendorong Gereja Protestan agar memerhatikan suku-suku pegunungan di Irian. Mereka diabaikan.

Armis

Pada zaman pra-Kristen, lagu ini adalah suatu lagu khusus untuk berdayung. Ia dinyanyikan para prajurit Biak ketika mereka kembali dari suatu penyerangan yang berhasil. Liriknya memakai kata "dayung" sebagai suatu metafora; dayung adalah pelaut yang hebat. Dalam hubungan ini, suatu bagian liriknya mengatakan: "Hai saudara, apakah engkau memiliki dayung? Aku pun memiliki sebuah dayung."

Randan

Pada zaman pra-Kristen, Randan dinyanyikan pada suatu upacara yang disebut Fan Nanggi, secara harfiah berarti Upacara Memberi Makan kepada Langit. Upacara ini dilakukan pada masa yang sulit. Suatu panggung yang tinggi dibuat lalu seorang dukun (shaman) naik ke atasnya sambil membawa sepiring kecil makanan. Ini sesajian yang akan dipersembahkan kepada Manseren Nanggi (Tuhan Langit), disebut juga Manseren Boryas, Tuhan Yang Di Atas. Sebelumnya, dia menyanyi: "Oh, Tuhan Yang Di Atas, aku memanggil-Mu! Turunlah!" Dia lalu mempersembahkan sesajian ini kepada Manseren Nanggi dengan memanggil rohnya agar turun merasuki tubuhnya dan memampukannya meramalkan masa depan klen-klen yang hadir dan mengalami masa sulit sekarang.

Dow Bemun Wame

Wor ini adalah "lagu untuk mematikan angin". Lagu ini sangat tua dan berbentuk mantra atau nyanyian pujian. Ia dinyanyikan kepada awan-awan hitam yang berkumpul di seberang laut. Pada bagian fuar atau akar wor ini, penyanyi memanggil beberapa alat tajam, seperti kapak atau parang, dari lembah tempat dia berkebun agar membelah geledek dan meredakan badai.

Ciri-Ciri yang Bermasalah

Pembahasan tentang ketujuh belas jenis wor tadi terbatas pada syair-syairnya. Berbagai bahan antropologis atau sosiologis dan musikal bisa kita amati dari syair-syair ini.

Uraian tentang lirik lagu-lagu wor tadi tidak selalu menunjukkan konsistensi dengan dengan jenisnya. Kurang atau tiadanya konsistensi ini sering muncul pada syair-syair yang diciptakan secara spontan.

Kayob, misalnya, adalah suatu jenis wor yang bersuasana sedih. Tapi suatu lirik Kayob tentang kelebihan bubur yang dibuang ke laut sepintas lalu malah menyiratkan suatu kisah humor. Sementara itu, Kayob adalah suatu lagu yang bersuasana sedih. Apa hubungan antara suatu suasana lucu karena kelebihan bubur yang dibuang ke laut dengan suasana sedih Kayob? Selanjutnya, Kayob Refo yang seharusnya bersuasana sedih malah berkisah tentang kebangkitan Yesus, suatu tema yang bersuasana gembira. Jelas ada tabrakan antara dua suasana yang berbeda yang menunjukkan tiadanya konsistensi suasana dasar Kayob.

Selain itu, ada fakta sejarah yang tampaknya kurang cermat dinyanyikan melalui wor. Beyuser Refo yang berkisah tentang kedua misionaris Eropa pertama di Mansinam menyebutkan aksi penancapan bendera Jerman (?) di pantai Mansinam dan kerinduan mereka agar menginjil ke Biak. Pemancangan bendera tampaknya tidak ada dalam sejarah gereja di Nieuw Guinea sementara doa kedua misionaris agar mereka bisa menjangkau orang Biak suatu waktu di masa depan dengan Injil tampaknya adalah suatu penafsiran pencipta beyuser ini.

Dua dari sekian masalah lain yang ada dalam syair ketujuh belas jenis wor tadi mengingatkan kita lagi pada pertanyaan Yampolsky dan Rutherford tentang ciri-ciri berbagai wor itu. Mereka belum tahu apa yang membedakan satu jenis wor dengan jenis wor lainnya, seperti apa beda antara sandia dan beyuser.

Demi menciptakan wor modern, para musikus perlu menjaga agar ciri dasar setiap jenis wor konsisten. Selain itu, fakta sejarah yang dikisahkan melalui lirik harus cermat.

Bab berikut akan merinci segi-segi musikal lain dari ketujuh belas wor tadi. Segi-segi ini mencakup gerak melodi, pola ritme, pola pukulan tifa, dan tingginada lagu-lagu tersebut.

Suatu contoh wor untuk non-tarian bisa Anda dengarkan pada side bar blog ini. Judulnya Randan.

Read More....