26 Mei 2008

6. Musik Suku-Suku Pegunungan Tengah

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Pegunungan Sudirman di Papua masa kini bernama Pegunungan Nassau zaman Belanda di Nieuw Guinea. Ia mencakup pegunungan salju bagian barat dan bagian dari pegunungan tengah yang menjorok ke arah barat Nieuw Guinea, dari Lembah Balim sampai ke Pegunungan Weyland, kurang lebih di belakang kawasan yang sekarang bernama Nabire, bagian selatan Teluk Cenderawasih.

Suku-suku Papua yang mendiami Pegunungan Nassau melakukan perdagangan barter dengan suku-suku Papua lainnya yang mendiami dataran tinggi berdanau di Pegunungan van Rees. Pegunungan ini berada di pedalaman kawasan Waropen, di sebelah barat Sungai Mamberamo.

Suku-suku di Pegunungan van Rees memakai suling keramat sementara suku-suku Pegunungan Nassau memakai harpa Yahudi. Harpa ini tampaknya ditemukan di seluruh Nieuw Guinea. Berbeda dengan musik paling primitif suku Kauwerawet, musik kedua kelompok suku ini berisi nyanyian-nyanyian rinci yang khas.

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Pegunungan Sudirman di Papua masa kini bernama Pegunungan Nassau zaman Belanda di Nieuw Guinea. Ia mencakup pegunungan salju bagian barat dan bagian dari pegunungan tengah yang menjorok ke arah barat Nieuw Guinea, dari Lembah Balim sampai ke Pegunungan Weyland, kurang lebih di belakang kawasan yang sekarang bernama Nabire, bagian selatan Teluk Cenderawasih.

Suku-suku Papua yang mendiami Pegunungan Nassau melakukan perdagangan barter dengan suku-suku Papua lainnya yang mendiami dataran tinggi berdanau di Pegunungan van Rees. Pegunungan ini berada di pedalaman kawasan Waropen, di sebelah barat Sungai Mamberamo.

Suku-suku di Pegunungan van Rees memakai suling keramat sementara suku-suku Pegunungan Nassau memakai harpa Yahudi. Harpa ini tampaknya ditemukan di seluruh Nieuw Guinea. Berbeda dengan musik paling primitif suku Kauwerawet, musik kedua kelompok suku ini berisi nyanyian-nyanyian rinci yang khas.

Nyanyian Suku Uringup

Nyanyian-nyanyian ini berasal dari suku Uringup yang mendiami Lembah Swart. Lembah ini dekat Sungai Swart, salah satu cabang Sungai Mamberamo; anak sungai yang mengalir dari kawasan Lembah Balim. Nyanyian-nyanyian ini diteliti J. Jongejans, seorang pegawai pemerintah asal Belanda, dan diterbitkan tahun 1921 dan Dr. P. Wirz, seorang ahli etnografi asal Swis. Penelitian Wirz yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman tahun 1924 diterbitkan kembali dalam bahasa Inggris di Amsterdam, Belanda, 1952.

Sebagian besar frasa atau rangkaian melodik suku tadi menunjukkan ciri sangat primitif. Umumnya, jangkauan melodik frasa-frasa ini tidak melampaui interval keempat. Berdasarkan tradisi musikal Belanda, Dr. J. Kunst yang mendengarkan potongan-potongan tadi mengatakan lagu-lagu tersebut mengingatkan dia pada “sajak kanak-kanak dan nyanyian-nyanyian yang pendek dan sederhana orang Belanda.”

Dr. Wirz memberi tiga dan Jongejans memberi tiga contoh melodi suku Uringup. (Setiap contoh dibatasi garis birama ganda.)


Tapi suatu fragmen lain yang dicatat Jongejans berdasarkan nyanyian suku Awembiak sangat berbeda dengan potongan melodik yang lain:




Nyanyian Triad dan Fenfer

Frasa melodik terakhir mengingatkan Kunst pada suatu lagu pemberi isyarat militer dalam tradisi musik Barat. Isyarat ini adalah suatu potongan melodi yang dibunyikan, biasanya melalui trompet, misalnya, untuk memanggil anggota tentara apel pagi atau menurunkan bendera di sore hari.

Kesan tentang fragmen melodik tadi yang mirip lagu pemberi isyarat militer diperkuat sejumlah nyanyian dan fragmen nyanyian yang dikunpulkan Le Roux dan asistennya, Muhamad Saleh, dari suku Awembiak dan Dem.Kedua suku pedalaman ini berkerabat dengan suku Uringup dan tinggal di kawasan pegunungan dekat Enarotali masa kini.

Tapi fragmen tadi yang dinyanyikan suku Awembiak dicatat hanya berdasarkan pendengaran. Ini dikuatirkan mengabaikan interval yang aneh atau tidak lazim dari melodi asli Awembiak. Pengabaian bisa terjadi kalau pencatat melodi suku terasing cenderung dipengaruhi musik modern.

Meskipun demikian, ada cara untuk mengukuhkan apakah pencatatan melodi Awembiak dan Dem cermat atau tidak. Selain dicatat, ada juga melodi suku ini dan suku-suku lain di Nieuw Guinea yang mirip dengan yang sudah dicatat. Jadi, ada data pembanding untuk mengecek ulang tingkat kecermatan pencatatan lagu Awembiak.

Kunst lalu menuliskan kembali lagu-lagu suku Awembiak seperti yang dinyanyikan dan disiulkan Le Roux dan dimainkan pada biola oleh Muhamad Saleh sesudah mereka kembali ke Batavia. Lagu-lagu itu mengingatkan Kunst pada sejenis musik Barat yang disebut musik fenfer (fanfare). Ini adalah permainan sebuah atau beberapa buah trompet sebagai pembukaan upacara; terkadang diangkat juga ke dalam komposisi musik klasik Barat. Dalam musik pop modern, musik fenfer disebut brass band, ben yang melibatkan berbagai alat musik tiup dari kuningan atau logam, termasuk alat-alat pukul.


Melodi fenfer dalam dunia kemiliteran Barat atau modern dibentuk oleh tiga not dasar: do, mi, sol atau not lain – seperti fa, la, do – dan balikan-balikannya. Ketiga not dasar dan balikannya diutak-atik secara berseni dengan melibatkan pola ritme dan tingginada khas.

Melodi fenfer seperti yang dimainkan melalui trompet dalam dunia militer modern atau Barat disebut taptoe dalam bahasa Belanda. Suatu taptu adalah suatu isyarat dengan trompet tanda para prajurit harus pulang ke asrama atau barak; ia adalah juga musik bagi tentara untuk berbaris pada malam hari.

Dalam bahasa Inggris, taptu disebut reveille, trumpet call, bugle call. Notasi lagu pemberi isyarat militer ini dikenal dalam tradisi kemiliteran Inggris dan Amerika Serikat dengan judul Day Is Done. Melodi lengkap yang dimainkan dalam tempo agak lambat ini, demikian:


Tidak semua lagu yang memakai ketiga not dasar tadi bisa disebut melodi fenfer. Melodi ini punya ciri khasnya sendiri.

Melodi fenfer suku Awembiak yang Kunst catat dari Le Roux dan Saleh dia istilahkan musik “triad yang dihiasi”. Seperti yang sudah dijelaskan, triad adalah akord yang terdiri dari tiga urutan nada. Urutan ini vertikal kalau triad menjadi akord atau harmoni dan horizontal kalau triad menjadi melodi. Dalam tangganada C mayor, triad C terdiri dari not do-mi-sol dan kedua balikannya: mi-sol-do dan sol-do-mi. Triad inilah yang diberi hiasan dalam melodi suku Awembiak.

Dua macam nyanyian fenfer suku Awembiak bisa Anda simak. Yang pertama, Panizage, memakai pergantian antara jenis birama 3/8 dan 4/8. Yang kedua, berjenis birama 6/8, dinyanyikan oleh klen atau keret Delosi dari keluarga besar Ndani. Tidak ada terjemahan untuk syair kedua lagu ini.














Bagaimana tentang nyanyian fenfer suku Dem? Nyanyian mereka sangat menarik karena dinyanyikan secara berbalasan antara seorang penyanyi tunggal dan koor. Kunst menyebut penyanyi tunggal itu sebagai precentor (dibaca “presentor”). Ini suatu istilah Inggris yang mengacu pada seorang rohaniawan Kristen yang bertanggung jawab atas musik vokal dan secara teknis membawahi organis dalam ibadah Gereja Anglikan Inggris. Dengan kata lain, seorang presentor adalah seseorang yang punya kendali umum atas nyanyian dalam suatu ibadah gereja. Dalam hubungan dengan cara nyanyi suku Dem, Kunst memakai istilah “presentor” untuk mengacu pada penyanyi solo suku ini yang punya kendali umum atas nyanyian bersama.

Dua nyanyian yang melibatkan presentor dan koor suku Dem kedengaran seperti lagu modern. Yao adalah nyanyian pertama. Nyanyian kedua adalah suatu lagu nina bobo. Kedua-duanya adalah nyanyian triadik yang memakai melodi fenfer.











Kata aye dalam nyanyian pertama suku Dem berarti leluhur. Tidak ada terjemahan syair kedua lagu tadi. Karena itu, arti syairnya tidak bisa kita pahami seutuhnya.

Presentor dan Koor

Nyanyian suku Dem yang terdiri dari penyanyi tunggal (presentor) dan koor menarik. Ciri ini ada juga dalam nyanyian suku-suku lain di Nieuw Guinea dan masih ada dalam nyanyian modern. Harry Belafonte, seorang penyanyi asal Yamaika kelahiran New York, sering memakainya dalam beberapa lagunya yang berirama kalipso tahun 1960-an, seperti The Banana Boat Song. Belafonte menanyikan bagian solo dan paduan suara masuk pada bagian refrein atau perulangan melodi yang memakai kata-kata bahasa Inggris sehari-hari: Daylight come and me wan’ go home. Teknik nyanyi ini muncul juga dalam lagu-lagu ibadah Kristen, termasuk dalam ibadah Gereja Katolik. Jadi, teknik nyanyi yang memakai presentor atau penyanyi tunggal (solo) dan koor tampaknya berusia sangat panjang dan ada dalam musik tradisional dan modern.

Asal Musik Fenfer

Lalu, dari mana asalnya musik fenfer dengan triad yang dihiasi dari suku Awembiak? Kunst sulit menjawab pertanyaan ini karena info yang tidak ada, tidak atau kurang memadai. Secara khusus, kemungkinan pengaruh dari musik tradisional suku-suku pantai utara bagian barat Nieuw Guinea sulit dipastikan karena musiknya sudah mendapat pengaruh yang cukup kuat dari musik Nusantara di luar Nieuw Guinea.

Pengaruh Nusantara ini lebih kentara di pantai baratdaya Nieuw Guinea melalui pengaruh musik dari Maluku, terutama dari Tidore dan Ternate. Pengaruh ini bisa diamati dari melodi dan instrumen musikal – rebab, rebana, gong, dan tifa – yang dipakai penduduk Papua di pesisir baratdaya Nieuw Guinea.

Dari berbagai koleksi nyanyian-nyanyian asal Sarmi di pesisir utara Nieuw Guinea, J. Kunst menemukan musik tipe aborijin Australia dan musik yang tampaknya dipengaruhi musik Nusantara. Nyanyian dari lapisan budaya musikal Australia di Sarmi menunjukkan juga ciri-ciri triad tapi tanpa ciri fenfer.







Tapi ada satu nyanyian Sarmi yang berciri fenfer.

Koleksi Kunst mencakup suatu nyanyian dari Sarmi yang diduga sudah mendapat pengaruh Nusantara di luar Nieuw Guinea. Lagu pendek ini merdu tapi bersuasana agak sayu.



Tipe Aborijin dan Nusantara

Pengaruh musik tipe aborijin Australia yang ada di Kauwerawet dan musik Nusantara ditemukan juga dalam musik Pulau Yapen, Pesisir Waropen, dan Teluk Humboldt. Ini Kunst amati dari rekaman para penyanyi ketiga daerah ini dalam Pameran Etnografik di Batavia 1929. Nyanyian-nyanyian dari Yapen menunjukkan hubungan yang erat dengan nyanyian-nyanyian suku Kauwerawet. Tapi nyanyian-nyanyian dari Teluk Humboldt lebih bervariasi; ini bukan nyanyian fenfer tapi masih berkaitan dengan nyanyian tipe Australia. Sebaliknya, beberapa nyanyian dari Pesisir Waropen tampaknya mendapat pengaruh Nusantara. Ini bisa diamati dari apa yang Kunst istilahkan “ciri pelog” di dalam nyanyian-nyanyian yang di dalamnya interval setengahnada sering muncul.

Nyanyian lain dari Pesisir Waropen menunjukkan ciri triad yang menonjol tapi bukan dari jenis fenfer. Jangkauan nadanya satu oktaf.

Ciri-Ciri Lain

Tapi ada nyanyian untuk pesta dari Sarmi yang jangkauan melodinya duabelas nada – satu oktaf ditambah empat nada. Lagu ini indah dan bervariasi, punya jangkauan melodik yang sama dengan Panizage suku Awembiak.

Beberapa fragmen dari nyanyian Marind-anim cenderung memakai interval ketiga dan, sewaktu-waktu, triad. Nyanyian-nyanyian ini tergolong pada tipe nyanyian pendek suku Dem yang sudah dibicarakan. Akan tetapi, nyanyian dari Marind-anim bukanlah nyanyian fenfer.

Dua contoh fragmen nyanyian Marind-anim:











Suatu melodi yang agak panjang dan bervariasi dicatat Kunst dari nyanyian seorang lelaki dewasa dari Sungai Kaoh, Digul Atas, di bagian selatan Nieuw Guinea. Lelaki ini ikut Dr. de Rook, seorang Belanda, ke Bandung.





Rallentando dan a Tempo

Menarik untuk memerhatikan bahwa penyanyi Papua itu memakai apa yang dalam musik Barat disebut rallentando – tempo diperlambat secara berangsur-angsur – dan a tempo – kembali ke tempo semula – masing-masing sebanyak dua kali. Ini memperkuat daya ekspresif lagunya dan menunjukkan juga bahwa teknik rallentando dan a tempo ada juga dalam musik tradisional di Nieuw Guinea.


Rangkuman

Tingkat paling primitif budaya musikal suku Kauwerawet dan Uringup yang tergolong pada musik tipe aborijin Australia ditemukan juga dalam nyanyian-nyanyian tertentu penduduk pesisir di Sarmi, Yapen, dan Teluk Humboldt. Nyanyian-nyanyian ini dengan demikian menunjukkan suatu bagian dari musik asli Papua.

Suatu ciri umum dari semua nyanyian yang sudah dibicarakan dalam tulisan ini adalah jenis-jenis birama yang dipakai. Ada nyanyian yang dikendalikan oleh satu jenis birama. Jenis birama ini mencakup 2/4 (Yao), 3/4 (melodi pertama suku Uringup dan Melodi Fenfer Awembiak), 4/4 (Lagu Nina Bobo suku Dem, nyanyian-nanyian dari Sarmi, dan nyanyian kedua Marind-anim), 6/4 (kedua melodi terakhir Uringup), 9/4 (nyanyian pertama Marind-anim), dan 6/8 (Lagu Keret Delosi). Ada juga nyanyian-nyanyian yang dikendalikan oleh lebih dari satu jenis birama, yaitu Panizage 3/8, 4/8, 3/8); dan Nyanyian Digul Atas (9/8, 6/8, 9/8, 6/8). Pergantian birama macam ini menunjukkan bahwa gerak melodik lebih bebas, ketukan dan pola ritmik pun berubah.

Tingkat budaya musikal yang lebih tinggi diamati pada nyanyian-nyanyian suku Awembiak dan Dem di pedalaman dan pada nyanyian-nyanyian beberapa suku lain di Nieuw Guinea. Nyanyian-nyanyian Awembiak melibatkan triad berbentuk fenfer, suatu bentuk yang ada juga dalam nyanyian suku Dem. Di kawasan pesisir Nieuw Guinea, nyanyian-nyanyian triadik bukan-fenfer ditemukan di Waropen dan Sarmi.

Tingkat budaya musikal yang lebih tinggi tadi dikenal melalui beberapa cirinya. Apa ciri-cirinya?
Pertama, gerak melodinya bervariasi. Kalau kebanyakan nyanyian tradisional sangat primitif di Nieuw Guinea menuruni tangganada dengan not rendah atau paling rendah di akhir, nyanyian-nyanyian yang lebih berkembang menunjukkan gerak melodik yang bervariasi. Ada yang pendek tapi cenderung turun-naik tangganada, seperti melodi fenfer Awembiak, melodi nina bobo Dem, dan kedua melodi Marind-anim. Ada melodi yang agak pendek tapi menunjukkan gerak yang bervariasi; ia mulai dengan not tinggi dan cenderung menuruni tangganada, yaitu, nyanyian dari Digul Atas. Ada juga melodi yang agak panjang, gerak melodinya bervariasi, yaitu, turun-naik lalu turun di akhir lagu. Ciri ini ada pada Panizage.

Kedua, teknik menyanyi yang melibatkan penyanyi solo dan koor lebih berkembang dari yang ada pada nyanyian tipe Australia di Nieuw Guinea. Contoh yang jelas adalah nyanyian-nyanyian suku Dem yang melibatkan apa yang menurut penelitian Kunst disebut presentor dan koor, seperti yang ada dalam tradisi ibadah Gereja Anglikan di Inggris. Adanya presentor dan koor tampaknya memengaruhi konstruksi melodi triadik melalui balikan triad yang dipakai: do-mi-sol.

Ketiga, pengaruh musik Nusantara pada musik tradisional di Neuw Guinea memperkaya musik ini. Pengaruh yang berasal terutama dari Maluku, Tidore, dan Ternate ditemukan pada instrumen musikal yang dipakai di pesisir baratdaya Nieuw Guinea, seperti rebab, rebana, gong, dan tifa. Pengaruh musik Nusantara lain pada struktur melodi suatu nyanyian di Sarmi dan yang berciri pelog pada suatu nyanyian di Waropen.

Keempat, nyanyian triadik berbentuk fenfer seperti yang dinyanyikan suku Awembiak dan Dem dan berbagai variasi gerak melodiknya menunjukkan suatu taraf budaya musikal yang lebih tinggi dari taraf budaya musikal tipe aborijin di Nieuw Guinea. Taraf ini mengingatkan Kunst pada musik fenfer triadik di Barat, suatu asosiasi pikiran yang menunjukkan adanya identifikasi taraf budaya musikal yang lain.

Kelima, identifikasi rallentando dan a tempo berdasarkan ilmu musik Barat pada suatu nyanyian dari Digul Atas menunjukkan bahwa ada tahap perkembangan yang baru dalam musik tradisional Nieuw Guinea yang dibicarakan sejauh ini. Kedua istilah ini berkaitan dengan nuansa tempo – perbedaan yang halus dalam tingkat kecepatan suatu nyanyian atau lagu – dalam ilmu musik Barat. Ini menunjukkan bahwa perubahan nuansa tempo ada juga dalam musik tradisional di Nieuw Guinea.

Keenam, jangkauan melodik seluas satu setengah oktaf. Suatu melodi untuk pesta di Sarmi yang punya 12 nada – satu oktaf plus empat nada di atasnya – dan Panizage menunjukkan jangkauan suara yang luas. (Ini satu nada lebih luas dari 11 nada yang mendasari melodi Malam Kudus.) Luasnya jangkauan suara ini menunjukkan juga suatu perkembangan yang lebih tinggi dari musik vokal di Nieuw Guinea.




Tidak ada komentar: