06 Oktober 2008

20. Musik Suku Biak-Numfor (8)

Ciri-ciri apa lagi yang bisa kita pelajari dari ketujuh belas nyanyian tradisional dari Biak? Hasil pengamatan terhadap sepuluh dari tujuh belas lagu tadi akan dijelaskan dalam bab ini. Nyanyian-nyanyian selebihnya akan dijelaskan dalam bab berikut.

Kesepuluh nyanyian tadi mencakup lima lagu tarian, satu lagu non-tarian dan empat lagu naratif. Lagu tarian mencakup Kankarem, Morinkin, dan dua Sandia. Kayob Refo adalah satu-satunya lagu non-tarian di samping empat lagu naratif: Beyuser Koreri, Beyuser Refo, dan dua Beyuser lain. Kecuali Beyuser Koreri, semua lagu diberi iringan tifa, kira-kira sesudah seluruh lagu diperkenalkan penyanyi solo.

Salah satu tujuan lain dari bab ini adalah untuk memelajari pola pukulan tifa yang mengiringi hampir semua lagu ini. Suatu pertanyaan lain yang akan dicoba dijawab dalam hubungan dengan pola pukulan tifa adalah apakah pola ritme tifa memengaruhi pola ritme melodi atau sebaliknya atau pola ritme kata-kata ikut memberi pengaruh.

Untuk memahami pola pukulan tifa dan dugaan tentang pengaruhnya pada pola ritme atau sebaliknya, saya akan memuat dua notasi lengkap dari dua lagu. Yang pertama, Kankarem; dan, yang kedua, Beyuser Refo. Tapi karena sulit dimuat secara lengkap, maka saya memuatnya bagian demi bagian atau dengan menyoroti bagian-bagian yang relevan untuk diamati lebih jauh.

Kontur Melodi,Tangganada, Nada Dasar, dan Tempo

Apa kontur melodi atau garis besar bentuk melodi kesepuluh nyanyian tadi? Tangganada apakah yang dipakai? Apa nada dasar dan temponya?

Tabel berikut meringkaskan kontur, tangganada, nada dasar, dan tempo kesepuluh lagu tadi:

No.Judul laguKontur*Tangga
nada
Nada dasarTempo
(MM)
1Kankaremdo' sa la sol mi re do (1 b7 6 5 3 2 1)do re mi sol la sa (1 2 3 5 6 b7)c67
2Morinkindo' sol la mi (la) sol (1 5 6 3 [6]5)do mi sol la (1 3 5 6)gb (ges)67
3Kayob Refomi' (fa') mi' re' do' la sol la (3 [4] 3 2 1 6 5 6)do re mi sol la (1 2 3 5 6)c72
4Sandiami re do mi do re do LA (3 2 1 3 1 2 1 6)do re mi la (1 2 3 6)d 74
5Sandiami re mi . do re do LA (3 2 3 . 1 2 1 6 )do re mi la (1 2 3 6)d72
6Beyuser Korerimi re do LA SOL (3 2 1 6 5); bebe-
rapa vari-
asi: sol do re mi do LA SOL (5 1 2 3 1 6 5); mi do re mi do LA SOL (3 1 2 3 1 6 5); dan do re mi do LA SOL (1 2 3 1 6 5)
do re mi sol la (1 2 3 5 6)bsekitar
60
7BeyuserLA do re mi do LA SOL (6 1 2 3 1 6 5)do re mi sol la (1 2 3 5 6)db (des)sekitar
60
8Beyuser Refola sol fis mi re do SA LA (6 5 #4 3 2 1 b7 6)do re mi fis sol la sa (1 2 3 #4 5 6 b7)a72
9Beyusersol mi (ru) re do LA (SU) SOL (5 3 [b3] 2 1 6 [b6] 5)do re mi sol la (1 2 3 5 6)bb (bes)64
10Beyusermi ri re di do LA SEL SOL (3 #2 2 #1 1 6 #5 5)do di re ri mi sol se la (1 #1 2 #2 3 5 #5 6)do=a62

Catatan*: Not titik satu di atas dalam bentuk gabungan huruf ditandai koma di atasnya (seperti mi' dan do'). Gabungan huruf penanda not titik satu di bawahnya dieja dengan huruf besar (seperti LA dan SOL). Selain itu, not-not yang sering muncuk sebagai variasi diberi kanda kurung besar ( ) dan akolade [ ].

Ternyata, tidak semua lagu memakai tangganada yang sama. Tiga nyanyian memakai tangganada tetratonik (empat nada) dengan dua modus yang berbeda. Marinkin didasarkan pada tangganada tetratonik dengan modus do mi sol la dan kedua Sandia memakai modus do re mi la. Selanjutnya, Beyuser Koreri dan satu Beyuser didasarkan pada tangganada pentatonik dengan modus do re mi sol la. Tampaknya, suatu pengembangan dari tangganada pentatonik dengan modus ini menghasilkan tangganada enam nada dengan modus do re mi sol la sa. Tangganada ini mendasari Kankarem. Beyuser Refo memakai tangganada tujuh nada yang boleh dibilang jarang, di antaranya karena berisi dua setengahnada: do re mi fis sol la sa. Akhirnya, suatu Beyuser yang lain memakai delapan nada yang boleh dikatakan juga tidak lazim sebagai tangganadanya: do di re ri mi sol se la. Jelaslah bahwa tangganada pentatonik dengan modus do re mi sol la bukanlah satu-satunya yang lazim dalam musik tradisional suku Biak-Numfor.

Kontur melodi dicatat berdasarkan not-not pokok yang muncul sangat sering atau berulang-ulang dan membentuk ciri geraknya. Kecuali lagu nomor 7, semua lagu menunjukkan gerak menurun di akhir bagian-bagian melodik tertentu dan di akhir lagu. Lagu nomor 7 mulai dengan suatu nada rendah, naik-turun, lalu turun ke nada rendah yang sama dengan nada awal.

Suatu masalah yang dihadapi Yampolsky dan Rutherford adalah kesulitan mereka menetapkan faktor penentu setiap jenis wor tadi. Jelasnya, apa yang membuat Beyuser menjadi Beyuser dan Sandia menjadi Sandia? Saya menduga kontur khas wor tadi bisa memberi suatu petunjuk.

Suasana hati yang dibangkitkan lagu-lagu tadi luar biasa. Sulit dijelaskan. Nyanyian itu menimbulkan berbagai suasana yang bercampur aduk: gembira, merenung, sedih, meratap, gaib, khidmat, eksotik, hidup, tenang, dan lain-lain. Sandia nomor 4 kedengaran seperti suatu lagu khas Afrika hitam, terutama, ketika suara nyanyi secara hidup bersahut-sahutan. Beyuser Refo mulai dengan pukulan tifa yang tenang dan suara-nyanyi solo dan koor yang makin lama makin membangun intensitas suasana; kira-kira sesudah pertengahan lagu, bunyi tifa meningkatkan intensitas dengan menjadi nyaring dan "ramai" sementara suara penyanyi makin bertambah dan bersemangat dan menyanyi dengan nada-nada tinggi. Yang mencekam saya adalah Beyuser nomor 10; suasasanya gaib, sedih, murung, seakan-akan ada rasa duka, takut, tak berdaya, putus asa, dan rasa kehilangan seseorang yang sangat dikasihi saling bercampur menjadi satu. Sebagian suasana hati yang padat-kental yang ditimbulkannya barangkali berasal dari tangganada yang melibatkan setengahnada di dalamnya, kontur melodinya, dan cara lagu ini dinyanyikan.

Suasana hati tadi ikut dipengaruhi juga oleh tempo yang dipakai. Ada dua jenis tempo - menurut teori musik Barat - yang diamati dari kesepuluh nyanyian tadi: largo (antara MM 40 dan 66) dan adagio (antara MM 66-76). Dalam ilmu musiki Barat, largo mencakup semua lagu yang lambat dan khidmat sementara adagio dikhususkan untuk lagu yang lambat. Lagu-lagu wor tadi yang tergolong pada largo sebagai tempo yang paling lambat adalah Beyuser Koreri dan tiga Beyuser. Selebihnya tergolong pada adagio: Morinkin, Kankarem, Kayob Refo, Beyuser Refo, dan dua Sandia.

Kedua jenis tempo tadi ditetapkan berdasarkan hasil rekaman Yampolsky dan Rutherford. Bisa saja tempo nyanyian-nyanyian tadi berubah ketika direkam kembali pada waktu dan tempat lain. Meskipun demikian, kita mendapat suatu pemerian tentang suatu segi lain dari musik tradisional dari Biak-Numfor melalui tempo yang dipakai dalam kesepuluh nyanyian tadi.

Pola Ritme Tifa

Sejauh ini, ada 21 jenis variasi pukulan tifa yang membentuk pola ritme tabuhan tradisional suku Biak-Numfor. Variasi ini disistematisasi berdasarkan jenis birama 4/4 mengikuti polanya yang saling berkerabat atau berhubungan, yang satu boleh dibilang merupakan pengembangan dari yang lain. Setiap pola ditandai angka dan garis birama ganda. Ringkasannya demikian:

Variasi pukulan tifa Biak

Catatan: Meniru pukulan tifa dari Biak atau Papua melalui perangkat drum (drum set) dari perangkat lunak untuk musik seperti contoh tadi sulit. Warna suara dan setelan nada dasar tifa tersebut khas kalau tidak unik. Karena itu, notasi pada paranada untuk perangkat drum sekadar contoh penjelasan. Notasi drum set menempatkan semua variasi pukulan tifa, kecuali pola pukulan 2, pada garis paranada pertama untuk drum bas. Notasi pukulan tifa pada paranada kelima adalah untuk hi tom.

Pola 1 biasanya adalah pembuka tabuhan tiga. Pola 21 mengakhiri iringan tifa.

Ada juga variasi pola ritme tifa yang dihasilkan oleh dua buah tifa dengan setelan nada dasar yang berbeda. Variasi ini kentara pada pola 2 dan 6.

Pada pola 2, ada dua tifa dengan setelan nada dasar yang berbeda, yang satu lebih tinggi dari yang lain, yang seharusnya dimainkan mengikuti pola 1. Akan tetapi, penabuh tifa dengan nada dasar yang lebih rendah terlambat selama sepertiga puluh ketukan untuk setiap ketukan dasar dalam birama tadi dan birama lainnya. Akibatnya, tabuhannya menghasilkan nada drum bas yang berkontras dengan nada hi-tom dari penabuh tifa pertama. Tapi sesudah beberapa ketukan, penabuh kedua yang menghasilkan nada drum bas menyesuaikan pukulannya sehingga kedengaran serempak dengan bunyi tifa pertama. Meskipun serempak, bunyi kedua tifa itu terdengar berbeda tingginadanya karena setelan nada dasarnya yang berbeda.

Pada pola 6, dua tifa yang berbeda dan ditabuh, dengan setelan nada dasar yang kurang lebih sama, terdengar serempak. Tapi salah satu tifa yang ditabuh menghasilkan pasangan nada kedua dari setiap ketukan tadi; pukulan penabuh kedua menghasilkan efek stakato pada tifanya (ditandai titik di bawah not). Efek ini lembut dan menyenangkan untuk didengar.

Pola tabuhan lain tifa dari Biak dipakai dalam berbagai lagu untuk tarian dan hampir semua nyanyian non-tarian yang direkam Yampolsky dan Rutherford. Berbagai variasi pola ini belum mencakup yang dipakai untuk jenis birama 2/4 dan 3/4 yang boleh disebut adalah variasi jenis birama utama (4/4) dari suatu wor.

Notasi Fragmen Wor dan Iringan Tifanya

Anda sekarang bisa memahami dengan lebih baik notasi fragmen dua wor dari Biak, lengkap dengan intro dan pola iringan tifanya. Yang pertama, Kankarem; dan, yang kedua, Beyuser Refo.

Kankarem tifa 1

Fragmen Kankarem ini bukanlah intro melainkan bagian sesudah intro. Pola ritme nyanyian didominasi not-not bernilai kecil dengan kombinasi yang sering rumit, diselingi nada-nada melismatik - rangkaian nada untuk satu suku kata. Nyanyiannya kedengaran dinamis.Tabuhan tifa dibuka dengan dua pukulan yang masing-masing bernilai seperempat pada ketukan ketiga dan keempat birama pertama. Sesudah itu, Anda bisa memerhatikan enam macam variasi tabuhan tifa pada fragmen ini. Pola ritme dari birama 3 sampai dengan 5 saling berkaitan. Pada ketukan keempat, pola pukulan tifa dalam birama 5 berisi pasangan not seperempat yang menjadi pukulan peralihan untuk memasuki pola ritme yang baru dari birama 6 sampai dengan 9. Pukulan peralihan tadi diikuti suatu pukulan contoh dalam birama 6; pukulan contoh ini diteruskan dalam variasi tertentu dalam birama 7 dan 8. Berbeda dengan birama-birama lainnya, birama 6 dan 7 menunjukkan kesamaan pola ritme antara nyanyian dan pukulan tifa dalam banyak ketukan. Singkat kata, ada tujuh jenis variasi pola ritme yang dihasilkan tifa dari Biak dalam fragmen tadi.

Kankarem tifa 2

Fragmen kedua Kankarem sebenarnya adalah sambungan fragmen pertama. Pola ritme yang bergerak cepat karena memakai banyak not bernilai kecil dan berbagai kombinasinya menghasilkan suatu bagian wor yang hidup. Pukulan contoh muncul dalam birama 1 dan 4. Pukulan contoh pertama diikuti dua jenis pola ritme; pukulan contoh kedua disusul tiga macam variasi pukulan yang membetuk tiga macam pola ritme tifa. Fragmen kedua ini pun menunjukkan kesamaan pola ritme antara nyanyian dan tabuhan tifa dalam ketukan pertama birama 2, semua ketukan birama 3, ketukan pertama dan ketiga birama 5, ketukan kedua dan keempat birama 6, ketukan pertama, kedua, dan keempat birama 7, ketukan kedua dan keempat birama 8, hampir semua ketukan birama 9, dan ketukan pertama dan ketiga birama 10. Jadi, selain kedua pukulan contoh dengan pola ritme yang sama, ada lima jenis variasi pola ritme yang dihasilkan pukulan tifa dalam fragmen kedua Kankarem.

Kankarem tifa tiga

Sesudah fragmen kedua Kankarem yang adalah lanjutan fragmen pertama, fragmen ketiga adalah suatu potongan bagian akhir wor tarian ini untuk tiga ketukan pertama. Penyanyi mengakhiri nyanyian dengan suatu pola triul yang bergerak cepat disusul dua not yang bergerak agak lambat karena masing-masing bernilai seperempat. Pola ritme tabuhan tifa untuk ketiga ketukan tadi berbentuk rangkaian not yang masing-masing bernilai seperenam belas.

Kayob refo intro

Fragmen pertama Kayob Refo adalah intro. Tidak ada iringan tifa. Boleh dikatakan wor tanpa iringan tifa selalu dipersepsi di bagian intronya, termasuk intro ini. Tiadanya iringan tifa di awal semua wor, termasuk Kayob Refo, bisa dipandang sebagai semacam iringan.

Meskipun tanpa iringan tifa, intro yang dinyanyikan berisi pola ritme yang rumit, dengan selingan nada-nada melismatik. Lagunya kedengaran hidup, intens, dan mengesankan.

Kayob refo pukulan tifa1

Fragmen kedua Kayob Refo menunjukkan tempat iringan tifa dimulai. Pukulan tifa mengikuti jumlah ketukan dalam setiap birama. Pola ritme bagian penyanyi melibatkan kombinasi not-not berbagai nilai. Ada kombinasi yang rumit, seperti dalam birama 11 yang melibatkan kuartol dan triul pendek. Dalam nyanyian sesungguhnya, nada-nada melismatik berkali-kali muncul dan dinyanyikan secara mengesankan oleh penyanyi. Karena pola ritme nyanyian itu memanfaatkan banyak not yang bergerak cepat, nyanyian yang terdengar menjadi sangat hidup, sangat dinamis.

Kayob refo pukulan tifa2

Fragmen berikut Kayob Refo pun menunjukkan banyak kombinasi not bernilai kecil yang dinyanyikan, termasuk nada-nada melismatiknya. Nyanyian menjadi dinamis. Jalur tifa fragmen ini masih melanjutkan pola ritme dari fragmen pertama lalu beralih ke pola pukulan kedua. Variasi pola ritme ini dibentuk oleh sepasang not yang masing-masing bernilai seperdelapan untuk setiap ketukan dalam setiap birama. Selama beberapa birama yang dimulai dari birama 25, tabuhan tifa dengan efek stakato diperdengarkan oleh penabuh tifa kedua yang menabuh not kedua setiap pasangan dalam setiap birama.

Kayob refo pukulan tifa3

Fragmen terakhir Kayob Refo bukanlah sambungan dari kedua fragmen sebelumnya melainkan potongan yang meniadakan beberapa birama. Tujuannya adalah untuk memusatkan perhatian pada bagian akhir wor ini. Pola ritme yang dinamis pada nyanyian bisa Anda amati lagi; sementara itu, jenis variasi kedua pola ritme yang dihasilkan tabuhan tifa diikuti pasangan not yang masing-masing bernilai seperdelapan dalam birama 51, 52, dan 53. Not kedua setiap pasangan kali ini tanpa efek stakato. Birama 54 menunjukkan pukulan tifa yang mengakhiri nyanyiannya.

Jadi, ada berapa jenis variasi pola ritme dari tabuhan tifa pada Kayob Refo? Empat jenis.

Tabuhan Tifa Memengaruhi Wor?

Ada pola ritme khas dalam kesepuluh wor tadi yang mengakibatkan kita bisa mengatakan kesepuluh nyanyian itu khas Biak. Identitas budaya melalui musik tradisional memang ada pada nyanyian-nyanyian tradisional itu.

Apakah yang membuat pola ritmenya khas, bisa dibedakan dari pola ritme yang lain? Apakah pola ritme ini dibentuk oleh berbagai cara menabuh tifa, oleh gaya menyanyikan lagu-lagu itu, oleh irama kata-katanya atau oleh interaksi di antara semuanya?

Sulit menjawab pertanyaan ini. Dugaan saya, ada pengaruh timbal- balik antara pola ritme pukulan tifa, gaya penyanyi atau pencipta lagu, dan irama syair - khususnya tekanan berat-ringan kata dan lagu kalimat - dalam membentuk kekhasan kesepuluh wor itu. Barangkali, pola pukulan tifa memberi ilham spontan kepada penyanyi untuk menciptakan nyanyiannya, termasuk kata-kata yang dipilihnya dan tekanan serta intonasi yang ditimbulkannya. Barangkali juga, spontanitas penyanyi, termasuk improvisasinya, memberi ilham spontan kepada penabuh tifa yang sambil menyanyi menghasilkan pola ritme tabuhan yang lain, yang mengisi atau menguatkan ritme nyanyian. Dengan interaksi spontan seperti ini, lagu-lagu wor tadi diperkirakan tercipta.

Ciri-ciri apa lagi yang ada pada ketujuh wor lainnya? Bab berikut akan menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Untuk memahami lebih jauh pola ritme nyanyian dan tabuhan tifa serta suasana yang dibangkitkannya, saya menambahkan fail audio Beyuser no. 10 dalam tabel tadi. Suasana umum yang dibangkitkannya secara aneh menawan.

Tidak ada komentar: