19 Mei 2008

3. Musik Vokal Suku Kauwerawet: Lanjutan

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE

Suku Kauwerawet menghuni bagian pegunungan dekat tepi bagian hulu Sungai Mamberamo. Mereka disebut juga suku Takutameso. Kunst meneliti musik vokal dan instrumental suku ini.

Ada dua nyanyian yang direkam. Setiap lagu punya lebih dari satu versi dan masing-masing dinyanyikan oleh empat orang lelaki yang berbeda-beda.

Sesudah merekam kedua nyanyian ini dan versinya, Kunst dan koleganya menelitinya lebih lanjut. Mereka ingin tahu bagian manakah dari melodi-melodi ini yang bisa dipandang paling mendasar dan bagian manakah yang adalah variasi.

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Suku Kauwerawet menghuni bagian pegunungan dekat tepi bagian hulu Sungai Mamberamo. Mereka disebut juga suku Takutameso. Kunst meneliti musik vokal dan instrumental suku ini.

Ada dua nyanyian yang direkam. Setiap lagu punya lebih dari satu versi dan masing-masing dinyanyikan oleh empat orang lelaki yang berbeda-beda.

Sesudah merekam kedua nyanyian ini dan versinya, Kunst dan koleganya menelitinya lebih lanjut. Mereka ingin tahu bagian manakah dari melodi-melodi ini yang bisa dipandang paling mendasar dan bagian manakah yang adalah variasi.

Untuk itu, mereka meneliti berbagai unsur musik Kauwerawet. Nyanyian-nyanyian itu sangat pendek, setiap kali dinyanyikan dengan kata-kata yang berbeda-beda. Misalnya, salah satu nyanyian tadi memakai tiga macam syair yang masing-masing berbeda kata-katanya. Kalau ejaan kata-kata setiap lagu disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia masa kini, setiap syair demikian.

Versi pertama:

En-ce ma-ri-ri bo pi-ra-wa ri-ni-o
mak a ti bi-bi-dan.


Ada 18 suku kata, larik pertama 12 suku kata, larik kedua 6 suku kata.

Versi kedua:

A-na ma-u ki-tau ki-ta ta ra mau
sab-a-ta bu-nu ki-ta.


Ada 18 suku kata, larik pertama 11 suku kata, larik kedua 7 suku kata.

Versi ketiga:

En-ce bo-ya bo-ya, ko-bo ra-mak o so
tom a ko-ja sa-tu.


Ada 18 suku kata, larik pertama 12 suku kata, larik kedua 6 suku kata.


Meskipun jumlah suku kata nyanyian ini sama, kata-kata untuk setiap versi berbeda. Le Roux memberi terjemahan arti kata-kata versi pertama ketiga versi dari satu nyanyian ini. Tidak ada terjemahan untuk kedua versi lainnya. Jadi, kita tidak bisa menetapkan apakah setiap versi syair tadi adalah bait yang berbeda yang menopang satu pikiran pokok atau bait yang berdiri sendiri.

Terjemahan versi pertama salah satu nyanyian itu dimulai dengan kata-kata “Ence mariribo”. Ence, seorang pemburu burung, datang dari seberang laut. Dia dibunuh di pedalaman karena soal asmara.

Telinga Kunst yang terbiasa dengan melodi Eropa menangkap dua ciri paling menonjol dari nyanyian tradisional suku Kauwerawet: pendek dan cenderung menuruni tangganada. Salah satu dari kedua nyanyian yang direkam itu memperjelas kedua ciri paling menonjol ini.


Nyanyian ini tanpa jenis birama yang tetap. Melodinya memang pendek dan mulai dengan not do titik satu di atasnya lalu turun menjadi not do tanpa titik di akhir lagu. Jadi, jangkauan lagu ini sejauh satu oktaf. Dua not kromatiknya yang dipengaruhi tanda kres adalah dua not #4 (fis).




Menurut J. Kunst, kedua ciri paling menonjol dari nyanyian-nyanyian suku Kauwerawet menunjukkan lapisan budaya paling awal dari orang Papua. Karena itu, kedua ciri ini menunjukkan melodi primitif, setaraf dengan melodi primitif kaum aborigin di Australia. Karena kesamaan tingkat budayanya, melodi suku Kauwerawet tergolong pada musik tipe Australia (dari kaum aborijin). Musik serupa terdapat juga dalam nyanyian penduduk asli pulau-pulau di Selat Torres, antara utara Australia dan selatan Nieuw Guinea. “. . . tidak pelak lagi, inilah musik paling primitif yang diketahui masa kini.”

Lalu, bagaimana dengan ritme melodi suku Kauwerawet, penduduk Teluk Humboldt dan Yapen? Pola-pola atau bentuk-bentuk ritmenya sederhana. Beberapa nada bernilai kecil diikuti suatu not yang ditahan lama, biasanya suatu not yang lebih rendah. Tapi ritme bisa berkembang kalau melodi disertai kata-kata. Naskah lagu lalu bisa menghasilkan gabungan not-not bernilai perenam belasan, triul pendek – rangkaian tiga not dengan satu garis di atasnya yang ditandai angka 3 – dan kuintol – rangkaian lima not dengan satu garis di atasnya yang ditandai angka 5. Keseringan memakai triul pendek dalam melodi suku Kauwerawet sudah diamati dalam musik tradisional di Papua New Guinea, sekarang bernama Papua Nugini. Triul pendek didengar juga dalam melodi penduduk Teluk Humboldt dan Pegunungan Tengah. Dr. J. Kunst sendiri mendengar lagu berjenis birama 6/8 dalam triul dalam nyanyian peserta asal Teluk Humboldt dan Yapen ketika mereka menyanyikan lagu-lagunya dalam Pameran Etnografik di Weltevreden – sekarang Jatinegara – di Batavia.

Pemakaian triul dan kuintol bukan pola ritme melodik khas Papua. Pola ritme ini dibentuk oleh pembagian yang tidak teratur dari ketukan. Lazimnya, setiap ketukan dibagi dua untuk mendapatkan ketukan yang bernilai lebih kecil. Tapi triul dan kuintol adalah hasil pembagian satu ketukan menjadi tiga dan lima kesatuan not. Meskipun demikian, triul secara khusus tampaknya sangat lazim dalam musik kaum aborijin di Queensland, Australia, dan dalam melodi Melanesia dan Nusantara, seperti dalam musik tradisional Nias, Sunda, dan Flores.

Melihat kesederhanaannya, apakah ada kemungkinan untuk mengembangkan nyanyian-nyanyian suku Kauwerawet menjadi modern? Mengembangkan kesederhanaan menjadi kerumitan bukan hal yang rumit. Banyak bentuk budaya yang rumit masa kini – seperti mobil, rumah, dan gitar – berkembang dari bentuk-bentuk yang primitif. Meskipun sudah modern, bentuk-bentuk budaya ini masih menyimpan sesuatu dari bentuknya yang primitif. Serupa dengan kerumitan yang berkembang dari kesederhanaan bentuk-bentuk budaya tadi, kesederhanaan nyanyian suku Kauwerawet pun bisa dikembangkan sampai mencapai tahap kerumitan, asal tidak mengorbankan ciri-ciri khasnya.

Salah satu kemungkinan mengolah kembali kesederhanaan nyanyian suku Kauwerawet adalah dengan mengembangkan nyanyian yang mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan primitif manusia, seperti rasa benci, cemburu, dan dendam. Nyanyian yang diciptakan bisa mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan ini.

Tapi pola ritme yang melibatkan triul dan kuintol, meskipun tidak khas Kauwerawet, menunjukkan bahwa pola ritme ini tampaknya berusia sangat tua. Triul sering muncul dalam berbagai komposisi musikal modern masa kini sementara kuintol, meskipun tidak sesering triul, masih dipakai juga dalam berbagai komposisi musikal Barat, termasuk musik vokalnya. Dari segi pola ritme macam ini, kita menyadari bahwa musik modern sekalipun masih menunjukkan akar-akarnya di masa lampau.

Tidak ada komentar: