13 Juli 2008

13. Musik Suku Biak-Numfor (1)

Dr. J. Kunst tidak menulis secara khusus tentang musik etnik di Biak-Numfor. Ini barangkali karena dia tidak punya waktu yang cukup untuk mengadakan penelitian etnomusikologis di kawasan itu.

Tapi dalam dua kesempatan, dia menulis juga tentang musik tradisional dari Biak-Numfor. Pertama, dia memberi suatu catatan kaki tentang lagu berdayung orang Numfor yang dinyanyikan seperti kanon ketika dia membicarakan nyanyian rano dari pesisir Waropen. Kedua, dia memang mengadakan penelitian tentang musik tradisional imigran-imigran asal Biak di Kepulauan Raja Ampat, terutama dari suku Beser atau Besewer yang tinggal di pulau-pulau di Waigeo Barat, kebanyakan penduduk pulau Batanta, kebanyakan penduduk pesisir timurlaut Waigeo, dan semua penduduk kepulauan Ayau dan Kofiau. Dia juga mencatat beberapa instrumen musikal dari Biak-Numfor.

Akan ada suatu bab khusus tentang musik tradisional Papua dari Raja Ampat, termasuk dari imigran-imigran Biak di sana. Karena itu, pembicaraan tentang musik suku Biak-Numfor akan dibatasi pada lagu berdayung suku Numfor, suatu bagian dari suku Biak-Numfor, yang dicatat Kunst. Bab ini juga akan berisi pembicaraan tentang jenis-jenis nyanyian Biak-Numfor lain yang diteliti ahli-ahli lain.

Salah seorang ahli itu adalah Dr. F.C. Kamma. Dia sebenarnya bukan seorang ahli musik profesional. Dia seorang ahli sosiologi, antropologi-budaya, sejarah gereja, dan misionaris Gereja Hervormd Belanda yang sudah meneliti kebudayaan Biak-Numfor - termasuk kebudayaan imigran-imigran Biak-Numfor di Raja Ampat - secara rinci. Tapi Kamma meneliti nyanyian-nyanyian suku Biak-Numfor dalam hubungan dengan penelitiannya yang sangat mendalam dan istimewa tentang suatu gerakan yang menantikan selama berabad-abad kembalinya semacam Ratu Adil bagi suku Biak-Numfor dan orang Papua. Itulah gerakan Koreri yang menantikan kembalinya Manseren Koreri, Tuhan Negara Bahagia.

Ahli lain berasal dari Smithsonian Institute dari Amerika Serikat. Beberapa tahun yang lalu, mereka melakukan penelitian tentang musik tradisional Biak-Numfor dan merekamnya melalui CD.

Akan tetapi, hasil penelitian mereka akan dibahas kemudian. Bab berikut akan memberi perhatian pada konsep Koreri, gerakan yang timbul sebagai pelaksanaan konsep ini, dan nyanyian-nyanyian khusus untuk menyambut kembalinya Manseren Koreri. Bab lain akan menyoroti hasil penelitian Smithsonian Institute.

Musik Instrumental dari Biak-Numfor

Salah satu alat musikal yang dipakai di Biak-Numfor mirip sistrum. Sistrum adalah suatu instrumen perkusi kuno yang menghasilkan bunyi mirip bunyi kerincing. Bunyi ini dihasilkan serangkaian cincin yang berkerincing pada suatu kerangka logam ketika instrumen itu diguncang-guncang.

Jenis sistrum yang terdapat di Biak disebut sistrum hiu. Di Sentani dan Teluk Humboldt, instrumen musikal ini dibuat dari rangkaian buah kering atau kulit kerang tertentu yang menghasilkan bunyi kertak-kertuk, kertak-kertak, atau giring-giring. Rangkaian ini bergelantungan seperti mangga berukuran kecil dan diikat pada suatu tangkai atau batang atau dari beberapa kulit kerang yang dikaitkan melalui seutas tali kecil pada tali pengikat di badan, menghasilkan bunyi tadi ketika pemakainya barangkali menari. Apakah sistrum hiu sama dengan yang dipakai di Sentani dan Teluk Humboldt? Kunst tidak merinci penjelasannya. Tampaknya, instrumen perkusi ini dibuat dari rangkaian kulit kerang dengan ujung yang tajam yang mengingatkan kita pada gigi ikan hiu; karena itu, ia disebut "sistrum hiu." Di Biak, sistrum hiu disebut sekekas atau tobek.

Sistrum hiu tidak khas Biak. Ia terdapat juga dengan berbagai nama di kawasan lain di Hindia Belanda, seperti orok-orok di Pulau Bangka dan uruk-uruk di Pulau Natuna. Ia terdapat juga di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara; tapi namanya tidak disebutkan Kunst.

Di samping sistrum hiu, penduduk Biak memakai juga harpa yahudi, disebut songer. Alat musik ini dibuat dari bambu atau dari kulit keras sejenis pohon palma yang bertumbuh liar di hutan.

Suatu variasi sistrum yang dipakai khusus oleh wanita di Biak untuk menari disebut korobow. Ia terdiri dari serangkai kulit kerang yang disatukan pada seutas tali yang dikalungkan di leher para wanita. Ketika menari, rangkaian kulit kerang itu menghasilkan bunyi kertak-kertuk.

Selain itu, para penari lelaki di Biak memakai tongkat dan tombak untuk tarian tradisionalnya. Tongkat dan tombak itu diketuk-ketuk secara ritmik - misalnya, di lantai rumah panggung dekat laut - untuk mengiringi tarian mereka.

Sebagaimana lazimnya di Teluk Geelvink, suku Biak-Numfor pun memakai gong sebagai alat musik lain. Dr. J. Kunst menduga gong diimpor dari luar Nieuw Guinea, boleh jadi dari Tidore di Maluku Utara antara abad ke-16 dan awal abad ke-20.

Tidak ketinggalan tifa dengan berbagai ukuran, bentuk, ukiran, dan kualitas bunyi yang dipakai secara luas di Nieuw Guinea dipakai juga di Biak-Numfor. Bermacam-macam tifa ini diberi bermacam-macam nama di Kepulauan Biak-Numfor dan kawasan imigrasinya di Raja Ampat. Ada, misalnya, timur, tiban, imbah, sadip atau sandip, silip, alip, hirere, dan roiberok.

Kordofon, alat musikal yang menghasilkan bunyinya melalui dawai yang bergetar, dan terdapat juga di Biak-Numfor, menunjukkan pengaruh dari Maluku. Ada sejenis kecapi berdawai satu asal Maluku yang dipakai di kawasan ini dan disebut arababu. Terdapat juga alat musik berdawai satu yang dibuat dari bambu dan menghasilkan vibrasinya dari bambu itu yang disebut mambabores.

Dalam menanti kedatangan kembali Manseren Koreri, orang Biak-Numfor masa lampau yang percaya kepadanya menyanyi sambil menari. Tifa jelas mereka gunakan sebagai iringan nyanyiannya dan Dr. Kamma mencatat pemakaian alat musik ini. Tapi Kamma tidak menjelaskan apakah mereka juga memakai alat-alat musikal lain yang sudah dijelaskan. Tapi dia atau ahli-ahli musik yang pernah meneliti musik tradisional suku Biak-Numfor tidak meninggalkan pemerian apa pun tentang pola ritme yang dihasilkan berbagai alat musik tradisional tadi.

Nyanyian Berdayung Suku Biak-Numfor

Ritme nyanyian untuk berdayung dari suku Biak-Numfor sama dengan yang sudah dijelaskan tentang ritme berdayung penduduk pesisir Waropen. Ritme ini pun sama untuk penduduk pesisir lain di Teluk Geelvink.

Cara menyanyi mirip kanon pun sama di antara suku-suku tadi. Yang berbeda adalah bahasa yang mereka pakai dan istilah-istilah yang merinci teknik menyanyi mirip kanon yang diketahui dari cara orang Biak-Numfor menyanyikan lagu berdayung.

Anda masih ingat bahwa rano, nama untuk lagu berdayung penduduk pesisir Waropen di Teluk Geelvink, dinyanyikan mirip kanon. Lagu berdayung dinyanyikan lelaki dewasa dalam perahu besar yang bisa memuat sampai dengan empat puluh orang dan mengadakan pelayaran yang jauh atau khusus. Kalau ada sebanyak pedayung itu dalam satu perahu besar, katakan separuhnya saling memacu dengan paruhan lainnya dalam menyanyikan lagu berdayung mirip kanon. Anggap saja bahwa kelompok pertama sebanyak dua puluh orang lelaki dewasa duduk di bagian depan dan kelompok kedua dengan jumlah yang sama duduk di bagian belakang perahu. Anggap saja bahwa lagu berdayung yang dibawakan terdiri dari satu bait yang diulang-ulangi. Katakan saja kelompok pertama mulai mengangkat lagu itu dan menyanyikan bagian awal bait itu. Sebelum mereka tiba di akhir bait, kelompok kedua menyanyikan bait yang sama dari awal. Kedengaran seakan-akan setiap kelompok saling mengejar, saling bersaing, saling mendorong untuk menyanyikan bait itu. Siklus ini berulang-ulang sampai berhenti karena salah satu kelompok berhenti menyanyi.

Lagu berdayung penduduk Pulau Roon pun mengenal teknik menyanyi mirip kanon yang dipakai di Biak-Numfor. Tampaknya, kemiripan tradisi lagu berdayung mereka dengan yang berlaku di Biak-Numfor mesti dicari pada sejarah masa lampau penduduk Roon.

Menurut Dr. F.C. Kamma, Roon adalah suatu tempat tinggal tua orang Numfor. Pernyataan dia ada benarnya. Sebenarnya, penduduk berbagai daerah sekitar Teluk Geelvink bercampur-baur di situ. Di Yende-Mena, kampung utama Roon, ada pada tahun 1950-an satu keluarga dari fam (marga) Rumsayor (aslinya, dari Teluk Dore, Manokwari); beberapa keluarga dari marga Inuri (aslinya, Inur dan berasal dari Sowek, Biak); dua keluarga dari fam Waromi (aslinya, dari Yapen); satu keluarga dari fam Rumbiak (aslinya, dari Biak); dan fam Rumadas yang ada juga di Teluk Dore. Di kampung-kampung lain di Roon, ada marga yang melalui namanya diperkirakan berasal dari luar Roon. Fam Betay dari kampung Syabes, misalnya, berarti "yang terhanyut" dalam bahasa Roon. Boleh jadi, mereka orang luar Roon, terdampar dengan perahunya dipulau itu satu-dua abad yang lalu dan sejak itu menjadi orang Roon. Ada juga marga Waropen dari kampung Waar; sepintas lalu, nama fam ini mengingatkan kita pada orang Waropen, dari kampung Ambumi di Teluk Wondama atau dari pesisir Waropen. Semuanya penduduk pesisir dan pulau dan berbahasa Roon, secara linguistik berkerabat dengan bahasa Biak-Numfor dan Numfor Doreri di Manokwari. Karena pertautan ini, tradisi lagu berdayung orang Roon boleh dikatakan tidak berbeda banyak dengan yang berlaku di Biak-Numfor dan Teluk Dore.

Ada teknik nyanyi khas lagu berdayung orang Roon, yang kedengaran di awal lagu. Begitu berada di laut yang berkarang, kelompok pertama - tidak selalu haruslah kelompok yang duduk di bagian depan perahu - mengangkat lagu berdayung dengan tempo agak lambat dan bebas, mirip nyanyian klasik Barat yang diberi catatan ad libitum, menyanyi sesukanya atau seenaknya tanpa terikat pada ketukan yang teratur. Biasanya, tempo seperti ini berlaku untuk semacam intro lagu berdayung. Intro ini pun bisa dinyanyikan secara bergantian antara satu kelompok pendayung dan kelompok pendayung lainnya. Tapi begitu mereka masuk ke dalam nyanyian utama, tempo lagu meningkat dan menjadi selaras dengan ritme dayung yang menarik massa air laut untuk mendorong perahu maju. Ritme ini selaras dengan satu ketukan dalam birama 4/4 dan temponya bisa sekitar 78-82 ketukan per menit. Kedua kelompok pendayung lalu menyanyikan dengan gaya kanon lagu dayungnya, lagu yang sering memakai kombinasi not bernilai seperempat dan seperenam belas dengan berbagai pola ritmik dan not melismatik, yaitu, serangkaian not yang dinyanyikan untuk satu suku kata atau kata bersuku kata satu.

Tangganada apakah yang dipakai dalam lagu-lagu berdayung itu? Biasanya, tangganada pentatonik: do-re-mi-sol-la.

Dalam kaitan dengan cara menyanyikan lagu-lagu berdayung tadi, suku Numfor membedakan antara rwuri, randak atau widom dan fuwar. Ketiga kata pertama tergolong pada satu kawasan makna; masing-masing berarti "kepala", "awal", atau "atas". Lawan katanya, fuwar, berarti "batang." Ketiga istilah pertama mengacu pada bagian pertama bait dan kata terakhir pada bagian tengah bait. Catatan Kunst ini berdasarkan Numfoorsch woordenboek (Kamus Bahasa Numfor) susunan Pendeta F.J.F. van Hasselt, seorang misionaris Gereja Hervormd Belanda yang bekerja di Manokwari.

Lagu berdayung suku Biak-Numfor mencakup juga lagu untuk berlayar. Ini berlaku bagi lagu yang dinyanyikan ketika layar perahu ditiup angin dari arah belakang perahu begitu rupa sehingga perahu melaju dengan manis. Dalam suasana seperti ini, pengemudi perahu yang berlayar itu (umumnya, lelaki) mengungkapkan perasaan senangnya dengan mengucapkan kata "Kururu!" atau "Kururuye!" Kata seru ini biasanya mereka ucapkan dengan suara kepala, suara lelaki yang kedengaran tinggi, mirip suara wanita. Tapi dalam arti yang lebih dalam, lagu berdayung seperti Kururuye! adalah juga lagu tentang pelayaran dalam arti spiritual dan secara analogis menuju pelabuhan yang dirindukan orang Biak-Numfor yang percaya pada Manseren Koreri: pelabuhan Koreri yang tenang dan teduh.

Ketika penduduk Biak-Numfor menjadi pemeluk Kristen, mereka memakai kata koreri juga untuk mengacu pada konsep sorga, menurut ajaran Kristiani. Makna kata yang sebelumnya sudah sarat dengan berbagai macam makna menjadi makin diperkaya melalui pemakaiannya yang baru. Pelabuhan Koreri lalu mendapat makna baru: Pelabuhan Sorga.

Salah satu contoh lagu berdayung suku Biak-Numfor berjudul Kururuye! Tidak diketahui siapa penciptanya. Temponya, MM=78, boleh dikatakan mewakili tempo lagu berdayung orang Biak-Numfor. Bagian-bagian yang diulang-ulangi adalah suatu ciri nyanyian tradisional suku-suku Papua, termasuk suku Biak-Numfor. Terdapat juga pergantian jenis birama dari 4/4 ke 2/4 ke 3/4. Melodinya bersifat pentatonik, memakai model do-re-mi-sol-la. Pemakaian not sa sebagai pengganti not do adalah penambahan kemudian hari. Meskipun demikian, not sa yang boleh dibilang adalah perluasan setinggi setengahnada dari not la dalam tangganada pentatonik tadi masih bisa diterima sebagai suatu variasi not do.

Syair lengkap dan terjemahan agak bebas lagu dayung asal Biak-Numfor tadi demikian:

Bahasa Biak-Numfor

Kururu, kururuye! (diulangi) Wai bedi nema i marandar payamyum kaku raryo: Wabe ruar yo? (diulangi) Yabe yayun, yabe, kururu, sewar, sewaro Sau Koreri, sau bebrin, bebrin kaku. Kururuye! (diulangi)

Bahasa Indonesia

Kururu, kururuye! (diulangi) Perahu ini melaju dengan manis. Ke mana gerangan berlayarnya? (diulangi) Aku hendak berlayar. Aku, kururu, hendak mencari, mencari Pelabuhan Sorga, pelabuhan yang teduh, teduh sekali. Kururuye! (diulangi)

Notasi lengkap Kururuye! demikian:

Kururuye!

Setiap penggalan nyanyian yang diulangi bisa dinyanyikan secara antifonal. Seseorang menyanyikan suatu frasa nyanyian secara solo kemudian diulangi oleh koor, entah secara bersama-sama dalam satu suara (unison) atau - untuk selera modern - dalam bentuk trio.

Mencari Sau Koreri, Pelabuhan Sorga

Frasa "Sau Koreri" atau "Pelabuhan Sorga" yang teduh sekali adalah suatu analogi yang indah. Ia tidak hanya dipahami dengan baik sekali oleh pelaut-pelaut Biak-Numfor dan dari pesisir Papua yang lain sesudah menempuh pelayaran yang berbadai dan mengancam keselanatan hidup mereka di lautan bebas. Ia tidak hanya memberi gambaran yang kuat berdasarkan pengalaman pelayaran jauh yang berbahaya secara rohani tentang pentingnya mencari Pelabuhan Sorga. Frasa ini secara khusus mengingatkan orang Biak-Numfor yang masih percaya pada konsep Koreri yang lama.

Konsep apa itu dan apa hubungannya dengan nyanyian tradisional suku Biak-Numfor? Bab berikut akan menjawab pertanyaan ini lebih jauh.

Tidak ada komentar: