10 Juli 2008

12. Ciri Lain Nyanyian Pegunungan Tengah dan Waropen

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Melodi dan syair nyanyian keempat suku di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea – Ekari (Kapauku), Moni, Simori, dan Ndani – yang sudah dicatat oleh berbagai ahli berkaitan dengan alam. Apakah ciri-ciri bentuk melodik dan syair mereka? Apakah syair-syair itu bisa dipahami? Baca juga tentang penilaian positif tiga ahli asal Belanda tentang cara menyanyi suku-suku Papua. Lebih dekat ke cara bernyanyi ras Eropa, kata Kunst. Suka menyanyi dan menyanyi dengan baik, tambah Held. Cara bernyanyi mereka sesuai selera musikal orang Eropa, kata Bijlmer. Berat sebelah penilaian mereka bertiga? Akhirnya, apakah yang bisa dikembangkan dari musik tradisional penduduk pesisir Waropen dan tempat lain dan suku-suku pedalaman?
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Melodi dan syair nyanyian keempat suku di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea – Ekari (Kapauku), Moni, Simori, dan Ndani – yang sudah dicatat oleh berbagai ahli berkaitan dengan alam. Apakah ciri-ciri bentuk melodik dan syair mereka? Apakah syair-syair itu bisa dipahami? Baca juga tentang penilaian positif tiga ahli asal Belanda tentang cara menyanyi suku-suku Papua. Lebih dekat ke cara bernyanyi ras Eropa, kata Kunst. Suka menyanyi dan menyanyi dengan baik, tambah Held. Cara bernyanyi mereka sesuai selera musikal orang Eropa, kata Bijlmer. Berat sebelah penilaian mereka bertiga? Akhirnya, apakah yang bisa dikembangkan dari musik tradisional penduduk pesisir Waropen dan tempat lain dan suku-suku pedalaman?

Duplikasi, Paralelisme, Masalah Arti dan Tema Syair

Nyanyian-nyanyian mereka berisi beberapa contoh yang sangat bagus tentang ciri-ciri bentuk fenfer yang sudah dijelaskan. Secara khusus, syairnya berisi duplikasi dan paralelisme yang terkadang berima. Contoh-contoh duplikasi mencakup nimeru-nimeru, yongonao-yongonao, lapi-lapi, dan laki-laki. Paralelisme yang terkadang mengarah pada rima mencakup wuwarere-wayarere, kinapore-uwapore, eneymaki-dineymaki, kakadomaki-papadomaki, makibaramo-makiburani, dan wediwo-wemiyo.

Pada umumnya, rekaman nyanyian keempat suku itu cukup jelas. Tapi banyak kali sulit bagi para peneliti mencatat syair-syair mereka untuk memahami artinya. Sebagai akibatnya, syair-syair itu tidak bisa dicocokkan dengan nyanyiannya.

Meskipun Le Roux mencatat syair nyanyian-nyanyian tadi, termasuk nyanyian tentang Sungai Edere, dia tidak menerjemahkannya. Bahasa syair-syair itu tidak dia dan para ahli lain pahami. Kunst menduga kebanyakan kata nyanyian-nyanyian yang sudah direkam itu tidak diterjemahkan juga karena tidak dipahami juga.

Dugaan Kunst dijelaskan oleh pandangan dua orang ahli lain yang bukan ahli musik. Pertama, pandangan Dr. J.V. de Bruijn, seorang ahli indologi (semacam ilmu pemerintahan tentang Hindia Belanda) dan pegawai pemerintah Belanda di Nieuw Guinea. Dalam ekspedisi yang dipimpinnya untuk menjelajahi kawasan-kawasan pedalaman yang belum dipetakan dan di bawah pemerintahan Belanda dan juga sebagai seorang pakar pemerintahan yang bekerja di Enarotali sebelum PD II. Kedua, pandangan Dr. P. Wirz, ahli etnografi asal Swis itu.

De Bruijn menaruh perhatian juga pada musik suku Ekari. Tentang syair nyanyian mereka, dia menjelaskan: “Hanya dalam beberapa kasus kata-kata itu mempunyai arti apa pun. Nyanyian mereka hanyalah suatu rangkaian suku kata yang berbunyi merdu.”

Wirz membahas nyanyian keempat suku katai tadi, termasuk kedua suku katai lainnya di Lembah Swart yaitu Awembiak dan Dem, secara agak rinci. Dia mencatat beberapa motif – yaitu, gagasan inti nyanyian – yang secara aneh tidak menunjukkan ciri-ciri fenfer. Di samping itu, dia mencatat syair sejumlah nyanyian suku-suku katai itu. Tapi Wriz juga hanya mampu menerjemahkan sedikit syair mereka. Meskipun dia tidak (mampu) menerjemahkan sebagian besar syair itu, dia berpendapat bahwa nyanyian suku-suku katai itu memang punya arti. Mengapa punya arti padahal dia tidak memahami syairnya? Wirz menjawab: “Selama bernyanyi (dawe) setiap kata diulangi beberapa kali dengan variasi suku kata terakhir, sehingga kata-kata menjadi tidak dapat dipahami oleh siapa pun yang tidak memahaminya. Tapi dari sedikit yang saya pahami, tampaknya kata-kata itu jauh dari tidak bermakna; tampaknya kata-kata itu berhubungan dengan orang mati itu.”

Penjelasan Wirz tadi mengacu secara khusus pada nyanyian dawe gumgum – nyanyian ratapan. Dia juga mencatat jenis-jenis nyanyian yang lain. Ada nyanyian antifonal yang disebut won-won. Ini sejenis nyanyian yang di dalamnya ada suara-nyanyi yang balas-membalas atau bersahut-sahutan antara seorang pemimpin nyanyian dan suatu koor. Tapi koor ini hanya memakai satu suara. Yawa dan wowo mirip dengan won-won tapi dinyanyikan dengan suatu tempo yang lebih lambat.

Meskipun tidak memahami arti sebagian besar syair nyanyian suku-suku katai itu, Le Roux berjasa dalam mencatat berbagai tema syair-syair dan melodi mereka. Dia mencatat syair tentang berbagai jenis burung, seekor katak, sejenis siput atau keong kecil, benda-benda tak bernyawa, sebuah batu, gejala alami, angin, hujan dan kabut, sebatang pohon, sejenis rumput, Sungai Edere, kawasan Debe, Gunung Kobore (disebut Gunung Weyland pada zaman Belanda), bumi pada umumnya, dan dengan manusia dari dunia roh. Dia juga mencatat beberapa melodi suku-suku katai Pegunungan Tengah di Nieuw Guinea.

Tema nyanyian dan beberapa melodi nyanyian suku Ekari atau Kapauku, Moni, Ndani, dan Simori menyingkapkan ciri-ciri lain. Ciri-ciri apakah itu?

Wuwawere wayarere, suatu nyanyian suku Kapauku tentang Sungai Edere, memakai melodi yang dicatat pada kunci mayor C dan tempo 80 ketukan per menit. Biramanya mulai dengan 4/4 sebanyak tiga birama – didahului suatu ketukan gantung disusul satu birama 9/8, dua birama 12/8 dengan tanda fermata, satu birama 9/8 + 1/8, dan satu birama 9/8. Pola ritmenya dibentuk oleh gabungan not bernilai seperempat, seperdelapan, seperenam belas, dan sepertiga puluh dua. Ada juga not seperempat bertitik dua dan not seperdelapan bertitik satu, dan beberapa not hiasan yang disebut grace notes dalam bahasa Inggris.

Suatu melodi Ekari lain yang judulnya tidak dicatat Le Roux menunjukkan suatu ciri yang berbeda sekali dengan melodi-melodi Ekari lainnya. Ia dicatat pada kunci B mol atau Bes dan tempo 100 ketukan per menit. Jenis biramanya merupakan campuran 4/4 dan 3/4. Sebanyak enam birama pertama memakai rangkaian not yang masing-masing bernilai seperempat: fa-sol-la-fa-fa-sol-la-fa-fa-sol-la-fa-fa-sol-la-fa-la-sol-la-fa-la-sol-la-fa-la-sol-la-fa Rangkaian ini disusul satu birama yang berisi kombinasi not bernilai seperdelapan dan seperempat dengan rangkaian not la-fa-sol-la-fa-sol. Sekurang-kurangnya, empat birama terakhir memakai ketukan 3/4 dan rangkaian not yang masing-masing bernilai seperempat, dua di antaranya yang bernilai setengah diberi tanda fermata, dan dengan susunan not sol-mi-sol-mi-mi-mi-do-mi-do. Kunst mengatakan melodi ini dipinjam dari suatu suku Papua dari pesisir, barangkali salah satu suku pesisir di bagian selatan Nieuw Guinea.

Tiga melodi suku Moni menunjukkan ciri-ciri pola ritme dan jenis birama yang hampir sama dengan yang ada pada melodi suku Kapauku tapi dengan jenis tempo yang berbeda. Rangkaian not yang membentuk pola ritme melodinya merupakan gabungan not bernilai setengah tanpa atau dengan satu titik di belakangnya; not bernilai seperempat dengan dua titik di belakangnya; tanda diam bernilai setengah, seperempat dan seperdelapan; not bernilai seperdelapan, seperenam belas, dan sepertiga puluh dua; dan grace notes dengan berbagai nilai. Melodi berjudul Ebegiewa memakai tempo MM=96; Kadio-Kada, judul suatu melodi lain memakai tempo 120-132 ketukan per menit; dan Yore Meo Waye, melodi ketiga, dipatok pada tempo yang sangat lambat: MM=48.

Pola ritme dengan berbagai kombinasi not melodi khas suku Ekari dan Moni ditemukan juga pada melodi suku Ndani. Ada suatu melodinya – tanpa judul – yang memakai pergantian tempo dua kali: pertama 84 ketuk per menit untuk sekurang-kurangnya lima birama pertama disul 126 ketuk per menit untuk birama sisanya. Melodi kedua – juga tanpa judul – memakai MM=96. Tapi tidak ada jenis birama yang ditetapkan untuk kedua lagu ini.

Suatu melodi suku Simori memakai syair yang berisi mantera, suatu gabungan bunyi ep dan uip yang diulang-ulangi.Kedua macam bunyi ini dinyanyikan secara eksplosif oleh para peratap orang mati. Penggalan melodi dan manteranya yang diulang-ulangi demikian:


Instrumen musikal apakah yang lazim dipakai suku-suku katai dan suku-suku non-katai di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea? Harpa yahudi. Ia dikenal dengan berbagai nama oleh suku-suku itu: kwabage (Awembiak); kaido (Ekari/Kapauku); bigigi (Zonggonau, suatu klen suku Moni); pikol (Uhunduni); dan longwik (suku Uringup). Harpa yahudi dibuat dari bambu dan kerangkanya terbuka.

Sebagaimana dalam nyanyian bangsa mana pun, nyanyian suku-suku tadi berisi juga tema tentang cintakasih. Salah satu syair Pegunungan Tengah di Nieuw Guinea mengungkapkan secara mengharukan kekuatan, kedalaman, dan kelemahlembutan cintakasih seorang ibu yang hidup pada anaknya yang meninggal dunia melalui suatu nyanyian ratapan dan dicatat Lloyd Rhys, penulis buku berjudul Jungle Pimpernel. Ini suatu biografi dalam bentuk novel tentang Dr. J.V. de Bruijn. Dia dijuluki Jungle Pimpernel karena selama PD II dia dan rombongannya yang mencakup orang Kapauku selalu lolos dari pengejaran tentara Jepang. De Bruijn juga berhasil mengirimkan info intelijens berharga ke pemerintah Belanda di pengasingannya di Australia tentang gerak pasukan Jepang di pedalaman Nieuw Guinea. Rhys itulah yang mencatat syair tadi berdasarkan suatu nyanyian ratapan Migani, suatu suku katai lain di timur Danau Paniai di Enarotali. Dr. De Bruijn yang memahami bahasa suku ini memberi terjemahannya – yang saya alihkan dari versi bahasa Inggris dalam buku Kunst ke dalam bahasa Indonesia – demikian:

E Kumba, ara dolapanuanda,
e meureu lienggio.
Andigo ama kendorama,
nua nu doroma.
Hi hi, yi yi.*
Ma unundia deno
paita paite, kumbae
ara dolapanuanda.

Oh, sayangku, aku sangat mencintaimu.
Aku dirundung dukacita
Akulah yang menyusui engkau pada dadaku.
Minumlah sekali lagi.
Hi hi, yi yi.*
Mengapa engkau tidur sekarang?
Bangunlah, sayangku,
Bangunlah, bangunlah.
Aku sangat mencintaimu.


*Larik ini berisi kata-kata yang meniru suara tangisan sang ibu.

Nyanyian ratapan suku-suku pedalaman ada juga dalam nyanyian tradisional suku-suku Papua yang lain. Dalam tradisi suku-suku pesisir di Teluk Cenderawasih, seperti di Teluk Wondama dan Pulau Roon, nyanyian itu dibawakan secara spontan sembari menangis mengelilingi jasad orang yang meninggal dunia. Kebaikannya, kegagahannya, kerinduan mereka yang hidup agar dia masih hidup, dan rasa duka yang mendalam karena kepergiannya merupakan tema-tema yang sering dinyanyikan melalui nyanyian ratapan tradisional penduduk kedua kawasan ini.

Ada kalanya, mereka memanggil atau tampaknya menyewa orang yang ahli dalam membawakan nyanyian ratapan. Mereka ahli dalam menyanyi dan menyusun syair yang demikian menyentuh hati para pekabung sehingga ratapan mereka makin menjadi-jadi. Ahli nyanyian ratapan ini yang pernah saya lihat adalah lelaki tapi bisa saja ada wanita yang juga ahli jenis nyanyian ini.

Mereka menyanyi tidak berdasarkan lembaran kertas atau buku karena secara tradisional – sebelum pendidikan modern masuk pedesaan – mereka buta huruf. Mereka tampaknya menyanyi secara spontan.

Ada info bahwa sebelum menyanyi, mereka mengunyah akar-akar atau dedaunan tertentu yang dipercaya bisa merangsang daya cipta spontan dari nyanyian dan syairnya yang sangat menyentuh hati itu. Tapi tidak saya tahu apa isi syair ratapan itu dan apakah syair itu dinyanyikan dalam bahasa puitis yang dipahami hanya oleh orang dewasa atau tua atau dalam bahasa prosa yang dipahami semua orang.

Lebih Dekat ke Cara Bernyanyi Eropa

Mengetahui apa pun tentang suku-suku pedalaman di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea bisa cepat menimbulkan asosiasi pada primitivitas, keterbelakangan, kebodohan, dan prasangka buruk lainnya tentang mereka. Termasuk kemungkinan prasangka bahwa mereka berasal dari lapisan peradaban yang rendah; karena itu, suara-nyanyi dan nyanyian yang mereka bawakan pasti primitif, asing, langka – dari planet lain.

Kalau Anda punya prasangka demikian, tahan dulu kesombongan Anda. Rendahkanlah hatimu, bukalah akal budimu secara bening, dan lihatlah kembali musik mereka. Anda pun harus seorang musikus atau punya pengetahuan yang memadai tentang musik untuk memahami mereka, seperti Kunst dan para ahli lainnya mencoba dengan sungguh-sungguh dan tanpa prasangka buruk untuk memahami musik suku-suku pedalaman di Nieuw Guinea.

Apa yang mereka katakan tentang musik suku-suku itu bisa mencengangkan Anda. Apa kata Dr. J. Kunst, seorang ahli musik profesional asal Belanda dan salah seorang pelopor etnomusikologi, sesudah meneliti mutu nyanyian tidak saja suku-suku katai di pedalaman tapi juga hampir semua suku Papua di Nieuw Guinea? Katanya: “Cara bernyanyi suku-suku katai ini lebih dekat pada cara bernyanyi kita dibanding, misalnya, cara bernyanyi ras mongoloid. Sebenarnya, hal yang sama bisa dikatakan tentang hampir semua nyanyian Papua dan untuk nyanyian dari pennduduk beberapa pulau di Maluku dan NTT (Flores!).”

Penilaian serupa dikemukakan secara singkat dan jelas oleh Prof. Dr. G.J. Held, khusus untuk penduduk Papua pesisir modern yang menyanyi dalam paduan suara gereja modern. “Zij zingen graag en zij zingen goed,” tulisnya dalam salah satu bukunya yang terkenal zaman Belanda di Nieuw Guinea, De Papoea Cultuurimprovisator (‘s-Gravenhage – Bandung, 1951). “Mereka senang menyanyi dan mereka menyanyi dengan baik,” demikian terjemahan Indonesia dari pernyataan Held tadi.

Cara bernyanyi ini pun menarik perhatian Dr. H.J.T. Bijlmer. Dia seorang ahli antropologi asal Belanda, yang pernah ikut dalam suatu ekspedisi ilmiah Belanda ke Pegunungan Tengah tahun 1920. Selama ekspedisinya ke sini, dia menulis: “Terkadang orang berkumpul secara sukarela untuk menyanyi. Pemimpin menyanyikan suatu lagu yang sangat merdu dan orang-orang bergabung dengan bersenandung. Pernah saya mendengar seorang wanita menyanyi pada dirinya sendiri dan saya harus mengatakan itu jauh dari sumbang. Bukankah tidak mengherankan bahwa rasa musikal ras hitam jauh lebih dekat pada rasa musikal kita dibanding rasa musikal ras kuning? Cara bernyanyi orang negro pun sesuai selera kita, sementara musik orang Jepang atau China jelek sekali bagi rata-rata setiap orang yang tidak memiliki pengetahuan khusus . . . untuk menganalisis musik. Saya mampu meyakinkan diriku sendiri tentang hal ini pada suatu gala di Tokio.” Tulisannya kemudian menjadi suatu bagian dari suatu artikel ilmiahnya yang diterbitkan suatu majalah ilmiah berbahasa Belanda tahun 1933.

Sepintas lalu, penilaian Bijlmer kedengaran berat sebelah. Tapi penilaiannya bisa dipahami apa adanya kalau kita meletakkannya dalam konteks penelitian musik etnik Papua berdasarkan tolok ukur musik Barat. Tolok ukur ini pun secara ketat tidak diberlakukan. Berkali-kali, Kunst menunjukkan kehati-hatiannya dalam menilai gejala musikal suku-suku Papua dengan memakai frasa seperti “pada telinga orang Barat, ini atau itu kedengaran seperti” dan frasa sejenisnya. Dengan frasa seperti ini, dia menunjukkan bahwa penelitian musik non-Eropa hendaknya dipahami “apa adanya.” Bijlmer yang tampaknya bukan seorang musikus profesional seperti Kunst cenderung menilai musik etnik orang Papua dan sebagian orang Maluku dan NTT dari sudut-pandang musik Barat pada zamannya. Seandainya dia masih hidup dan menyadari adanya penelitian yang makin banyak tentang musik ras kuning dan memahami keindahan internalnya, dia boleh jadi akan berhati-hati dalam mengemukakan perbandingannya tadi. Apapun juga, penilaiannya ikut menaikkan kualitas bernyanyi suku-suku pedalaman yang “primitif” itu pada suatu tahap yang tidak kalah dengan kualitas bernyanyi ras Eropa pada waktu itu.

Apa yang Bisa Dikembangkan?

Dari bab 10, 11 dan 12, kita sudah memahami ciri-ciri lain dari musik etnik Waropen, suku-suku katai, dan non-katai di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea. Kita juga sudah tahu tentang penilaian tiga ahli Belanda tentang cara bernyanyi mereka dan hampir semua suku Papua lainnya. Apa yang bisa kita kembangkan dari pemahaman kita sejauh ini?

Saran-saran berikut bersifat pribadi:
  1. Kalau masih ada berbagai jenis rano di Waropen masa kini atau yang masih bisa digali kembali, musikus bisa memodernisasinya untuk acara-acara khusus. Salah satu adalah promosi musik etnik yang diperbaharui untuk turis lokal, nasional, dan internasional. Perajaan 17 Agustus yang di dalamnya diadakan lomba dayung tradisional, hari-hari raya nasional lain, atau pameran-pameran tertentu pun bisa menjadi sarana promosi kebudayaan macam ini.
  2. Teknik nyanyi mirip kanon yang dikenal dalam gaya menyanyikan rano bisa dikembangkan dalam musik etnik modern dari Papua.
  3. Meskipun Held mencatat berbagai jenis tifa yang dipakai di Waropen, dia tampaknya tidak merekam teknik pukulannya. Kalau saja ada musikus Papua atau non-Papua yang mau merekam atau menggali kembali berbagai teknik menabuh tifa tradisional di Waropen (dan juga di kawasan lain di Papua) dan mengembangkannya menjadi modern tanpa menghilangkan ciri khasnya, mereka akan bisa mengembangkan suatu teknik tabuhan baru atau khas yang bisa dipromosikan secara luas.
  4. Mbumbu, instrumen perkusi yang dibuat dari baling-baling kayu itu, sangat menarik karena langkanya. Ia bisa dikembangkan asal saja ada yang berminat mengubahnya menjadi instrumen musikal yang memperkuat perkusi abad ke-21.
  5. Bisakah teriakan kegembiraan dan pekikan perang suku Simori dikembangkan menjadi bagian dari musik abad ke-21? Teriakan kegembiraan dan pekikan perang, meskipun barangkali tidak kedengaran sama dengan yang disuarakan suku Simori, ada kalanya kita dengar dari para penari tari tradisional Papua di berbagai pentas, termasuk di televisi nasional. Lagu Huembello yang dinyanyikan oleh ben the Black Brothers era 1980-an berisi suatu pekikan khas Ayamaru, daerah asal lagu asli yang dimodernisasi kelompok ben asal Papua ini, tapi tidak jelas apakah ia suatu teriakan kegembiraan atau pekikan perang masa lampau. Memasukkan teriakan kegembiraan atau pekikan perang ke dalam lagu modern boleh saja asal cocok dengan syair dan melodinya.
  6. Bisakah nyanyian berisi mantera-mantera suku Simori dikembangkan dalam musik abad ke-21? Tergantung ideologi atau filsafat hidup yang dianut musikus. Kalau mantera-mantera tradisional bertentangan dengan keyakinan religius atau pandangan hidup musikus, mereka tentu mengabaikannya. Tapi kalau mereka bisa mengubah isinya, yaitu, syairnya, dan mencoba memodernisasi bentuk primitif melodinya, mereka bisa membawa pembaharuan dalam musik abad ke-21. Sutardji Calzoum Bachri, salah seorang penyair Indonesia, sudah menunjukkan kemahirannya memodernisasi mantera-mantera lama Indonesia menjadi syair Indonesia yang membawa suasana baru yang sangat mengesankan. Seorang musikus yang kreatif atau imajinatif bisa melakukan hal serupa melalui musik etnik Indonesia yang diperbaharui.
  7. Seperti yang sudah dikatakan, melodi dengan pola irama yang bersifat sintetik atau melebur dan dengan pola metrik yang tidak teratur dalam nyanyian tradisional suku-suku Papua pedalaman tampaknya sulit diterima atau dikembangkan menjadi populer dalam musik abad ke-21. Untuk mempopulerkannya tanpa mengorbankan ciri-cirinya, musikus perlu melakukan penyesuaian dan pembaharuan.
  8. Nyanyian antifonal suku Awembiak dan Dem mirip nyanyian-nyanyian call and response dalam musik blues abad ke-20 di Amerika Serikat. Dalam teknik nyanyi ini, seseorang menyanyikan suatu frasa melodi dan syair blues, seakan-akan dia memanggil (call) penyanyi lain untuk menanggapinya (response). Penyanyi kedua memang menanggapi frasa melodik dan syair penyanyi pertama dengan menyanyikan suatu frasa melodik lain dan syairnya. Karena musik blues secara historis dikembangkan terutama oleh orang Amerika hitam, teknik call and response di dalamnya tampaknya berasal dari akar musikalnya di Afrika hitam. Dalam tradisi ibadah Kristen abad ke-21 pun nyanyian antifonal sudah dinyanyikan sebagai suatu bagian dari tradisi ibadah yang diwariskan. Seorang pemimpin liturgi atau tata ibadah Kristen menyanyikan suatu bagian nyanyian secara solo lalu bagian lain dinyanyikan bersama-sama oleh jemaat. Karena itu, nyanyian antifonal kedua suku katai tadi bisa diperbaharui untuk abad ke-21.
  9. Nyanyian ratapan suku-suku pedalaman dan pesisir barangkali sudah lenyap. Kalau toh masih ada, nyanyian ini barangkali sudah langka. Kalau ada musikus yang peduli, mereka bisa menyelamatkan corak nyanyian tradisional ini. Berdasarkan ciri-ciri khas yang mereka pahami, mereka bisa mengembangkan nyanyian-nyanyian ratapan modern untuk abad ke-21.
  10. Bakat bermusik dan bernyanyi orang Papua, seperti yang diamati Kunst, Held, dan Bijlmer, bisa dikembangkan agar menjadi cocok untuk abad ke-21.

Tidak ada komentar: