16 Agustus 2008

17. Musik Suku Biak-Numfor (5)

Para komponis (pencipta) wor memakainya untuk "menjinakkan" tanggapan-tanggapan yang baru dan tiba-tiba. Timbulnya wor bermula dari kejutan, dari spontanitas. Seorang penyanyi yang menunjukkan kejutan atau spontanitas dalam nyanyiannya dipandang seorang ahli wor.

Proses Penciptaan Wor

Bagaimanakah caranya dia menciptakan suatu wor yang baru secara spontan? Dia bisa saja diilhami suatu bunyi, pemandangan, atau sensasi yang mengejutkan; ilham itu bisa saja mengubah hentakan dari sesuatu yang tidak terduga itu menjadi suatu fantasi atau kenangan.

Ada beberapa contoh tentang komposisi wor secara spontan. Dalam wor untuk suatu pesta, hidangan yang belum disuguhkan pada para tamu akan merangsang seorang pencipta untuk membujuk melalui nyanyian spontannya penjamu mereka - biasanya ibu penyelenggara pesta - agar menyediakan hidangan itu. Orang lain yang mengadakan perjalanan laut dengan perahu atau kapal menyanyikan kisahnya berbentuk kumpulan kesan yang dia kenang, seperti ikan yang melompat, percikan haluan kapal, hembusan asap di seberang bukit-bukit yang menyurut, dan angin yang menusuk tulang.

Bahkan kejutan sering terjadi dalam proses rekaman ketika kumpulan kesan macam ini menjadi terlalu banyak untuk dituangkan ke dalam lagu-lagu lama. Tulis Yampolsky dan Rutherford: "Para penyanyi mengatakan ... mereka akan kesulitan dalam membawakan lagu-lagu lama jika mereka mengadakan perjalanan ke luar negeri, karena pikiran mereka pasti akan terlalu banyak dipenuhi oleh apa yang mereka alami dalam perjalanan."

Dengan cirinya yang spontan, wor bisa menimbulkan suatu dorongan atau rangsangan yang tiba-tiba pada seorang komponis untuk mengalihkannya menjadi suatu lirik. Lirik yang baik dan digemari umum bisa tersebar jauh dari tempat asalnya dan, sebagai akibatnya, ketenaran sang penciptanya ikut tersebar.

Boleh dikatakan wor berisi pengulangan kisah berupa kumpulan kesan seorang pencipta. Kisah itu dia tuangkan dalam nyanyian yang diciptakannya secara mendadak atau spontan. Nyanyian itu menaikkan gengsinya kalau dia seorang ahli dan kalau ciptaannya itu dan reputasinya tersebar jauh dari tempat asalntya.

Wor: Suatu Warisan Kolektif Musik

Meskipun wor bisa dipandang sebagai hasil individualisasi, masyarakat Biak punya pandangan bahwa kekuatan wor bersumber pada warisan kolektif musik mereka. Warisan kolektif ini bisa ditelusuri pada suatu mitos Biak, mitos tentang Mansar Mnuwon, Mnuwon sang Lelaki Tua. Mitos ini menunjukkan bahwa wor sejak dulu sudah berakar kuat dalam kehidupan orang Biak.

Yampolsky dan Rutherford mengutip bagian yang relevan dari mitos ini dari suatu tesis tentang peranan musik tradisional dalam liturgi Kristen, ditulis oleh seorang pendeta asal Biak:

Pada suatu malam, seorang lelaki tua bernama Manswar Mnuwon tengah berburu di hutan. Tiba-tiba, dia mendengar nyanyian dan permainan gendang di ketinggian pohon. Dia [memerhatikan] sekeliling cabang-cabang untuk mencari dari mana sumber suara tersebut, tetapi [dia] tidak menemukan apa-apa. Ketika dia duduk di bawah pohon-pohon tinggi untuk istirahat, dia terkejut karena suara musik itu bertambah keras. Tanpa pikir panjang, dia mengambil suatu tumbuhan yang merambat di pohon itu. Suara-suara tersebut tiba-tiba terpecah menjadi dua koor yang saling mengimbangi. Orang tua tersebut heran sekali melihat bahwa bunga-bunga yang mekar dari tumbuhan itulah yang menyanyikan lagu! Untuk menjaga suara-suara agar tidak kembali ke tanah jika matahari terbit, Mansar Mnuwon memotong batang tumbuhan-rambat tersebut. Dia membawanya pulang dan memakan daunnya - dia menjadi orang Biak pertama yang pandai [menyanyikan] wor.

Mitos ini menunjukkan bahwa wor dan asal-usulnya lalu diwariskan Mansar Mnuwon kepada orang kedua, ketiga, dan seterusnya. Menurut kepercayaan masyarakat Biak, Manswar Mnuwon memperoleh kekuatan gaib wor dari tanah dan mewariskannya pada keturunannya. Keahlian menciptakan dan menyanyikan wor secara turun-temurun lalu membentuk warisan kolektif musik masyarakat Biak.

Sebagai suatu warisan kolektif musik tadi, wor pun berperan besar dalam menjamin kelestarian hidup masyarakat Biak. Tanpa menyanyikan wor yang diwariskan leluhur mereka dan dilestarikan turun-temurun melalui berbagai upacara dan pengembangan, masyarakat Biak pra-Kristen percaya mereka akan mati. Untuk menjamin kelangsungan dan ketenteraman hidup, wor dinyanyikan dalam upacara-upacara untuk melindungi anak-anak Biak terhadap serangan kekuatan gaib yang dipercaya ada di sekitarnya. Wor lain menangkal dan membalikkan kekuatan-kekuatan aneh dari jauh.

Sebagai suatu bagian dari warisan kolektif musik tadi, apakah ada juga warisan tentang rahasia kepandaian menyanyikan wor yang diperoleh dari memakan daun bunga merambat dalam mitos tadi? Memang ada tumbuhan rambat rahasia macam itu, kata mereka, tapi rahasia itu dimiliki klen-klen Biak tertentu, diturunkan dari ayah atau ibu kepada saudara lelaki ibu. (Mengapa rahasia ini diwariskan hanya kepada anggota famili ibu tidak dijelaskan oleh Yampolsky dan Rutherford.) Daunnya dianggap bisa memberikan kekuatan dan daya tarik pada para penyanyi yang mengunyah dan menelannya.

Cara mewariskan rahasia menyanyikan wor ini pun sudah ditetapkan menurut adat. Para ahli wor menyebut daun-daun perangsang seni-nyanyi wor sebagai "tulang punggung" mereka. Mereka percaya akan mati segera sesudah mereka mewariskan rahasia ini pada ahli warisnya. Tentu orang yang tidak bijaksana saja yang selagi masih mampu memanfaatkan ramuan ajaib untuk tetap menyanyi menyerahkan rahasia itu pada orang lain yang sudah ditetapkan - dia akan mati sebelum waktunya.

Karena itu, untuk menghindari kematian dini seperti ini, mereka yang memiliki rahasia itu menempuh beberapa cara. Beberapa orang penyanyi menunggu sampai menjelang kematiannya lalu menyingkapkan rahasia seni-nyanyi wor kepada ahli warisnya. Yang lain memberi petunjuk-petunjuk pada anak-anaknya lalu membiarkan mereka menemukan sendiri dedaunan tumbuhan rambat itu. Yang lain lagi memilih untuk tidak menurunkan rahasia itu sama sekali kepada orang lain karena kuatir mereka yang diberi warisan itu akan menyalahgunakannya untuk hal-hal di luar seni-nyanyi wor.

Mitos yang menjelaskan asal-usul wor tadi dan pengejawantahannya secara turun-temurun dalam masyarakat Biak menunjukkan tiga hal penting. Pertama, keahlian menciptakan dan menyanyikan wor adalah suatu privilese; hanya kelompok terpilih sajalah yang bisa diwarisi rahasia seni-nyanyi wor. Kedua, meskipun wor tidak bisa diciptakan semua orang, ia menjadi milik umum begitu ia dikenal dan dinyanyikan mereka. Ketiga, wor menunjukkan pandangan-dunia masyarakat Biak tentang kesatuan antara orang mati, yaitu leluhur orang Biak, dan orang hidup, yaitu mereka yang ada sekarang.

Wor Memperkuat Ikatan-Ikatan Sosial

Di samping menunjukkan persatuan antara orang yang hidup dan yang mati agar wor bisa diwariskan, wor juga memperkuat ikatan-ikatan sosial. Fungsi ini berbeda di masa lampau dan di masa kini.

Di masa lampau, wor dinyanyikan pada upacara-upacara siklus kehidupan. Upacara macam ini mencakup upacara tahunan yang di dalamnya seorang anak lelaki secara resmi dinyatakan sebagai seorang lelaki dewasa, dan diselenggarakan berbagai pasangan suami-isteri untuk kepentingan anak-anak mereka. Dalam upacara ini, kaum kerabat isteri berperan sebagai tamu sementara sanak saudara pihak suami - termasuk isterinya sendiri - berperan sebagai tuan rumah; suami kepala rumah tangga adalah juga ipar saudara lelaki isterinya.

Kedua kelompok selalu saling bersaing dalam peristiwa khusus ini, dengan kelompok tamu sebagai "provokator" agar kelompok penerima tamu meladeni keinginan tamunya. Para tamu menampilkan lagu-lagu mereka sebagai hadiah dan mengharuskan pihak penerima tamu menanggapinya secara tepat, yaitu, dengan sajian makanan, tembakau (yang dikunyah, disebut prompi di Nieuw Guinea dan susur di Jawa), dan minuman. Sajian yang dinilai tinggi oleh tamu adalah yang berlimpah yang tidak bisa mereka nikmati kalau ibu pihak penerima tamu pelit. Untuk mencegah adanya sifat pelit itu, saudara-saudara lelaki sang ibu mengibaratkan dia sebagai seekor burung serakah dan menantangnya untuk membuktikan kemurahan hatinya. Upacara siklus kehidupan yang disertai persaingan macam ini bisa berlangsung dari malam sampai dengan waktu matahari terbit. Lagu-lagu yang dinyanyikan para tamu pada waktu matahari terbit memberikan peringatan kepada penerima tamu apa yang bakal terjadi kalau suami-isteri pemilik rumah terlambat dan pelit dalam menyuguhkan sajiannya. Kalau mereka terlambat dan pelit, para tamu bisa meruntuhkan pondok ruang tamu!

Di masa sekarang, masyarakat Biak mengungkapkan secara lebih lembut cara-cara mempererat ikatan sosial di antara mereka melalui wor. Ikatan sosial yang ingin diperkuat itu bisa menyangkut kenangan akan seorang anggota keluarga di perantauan. Sambil memandang laut yang tenang, dengan ikan layang-layangnya, di depannya, saudara perempuan yang mengenang saudara lelakinya di perantauan menyanyikan wor tentang apa yang dibayangkan pasti dirasakan saudaranya, nun jauh di sana. Dia, misalnya, pasti punya kenangan terhadap Biak dan rasa keberuntungan yang dialami orang-tua dan sanak saudara di kampung halamannya. Wor perempuan itu pun mengingatkan kaum kerabatnya yang jauh bahwa reputasi saudara lelakinya ditentukan oleh penghargaannya terhadap dia.

Wor Masa Kini?

Apakah pengungkapan wor secara lebih lembut tadi berarti bahwa wor masih berkembang? Ataukah ia sudah merosot menjadi suatu budaya musikal yang lebih banyak tinggal dalam kenangan masyarakat Biak masa kini? Bab berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Tidak ada komentar: