27 Agustus 2008

18. Musik Suku Biak-Numfor (6)

Sampai dengan tahun wor diteliti oleh Lembaga Smithsonian (1993-1994), tradisi nyanyian asal Biak ini cenderung tidak sekuat zaman dulu. Kalau pada zaman Belanda kebanyakan orang bisa menyanyikan wor, "tidak setiap orang" bisa menyanyikannya masa kini.

Pasang-Surut Wor

Sebagai akibatnya, wor yang membutuhkan keahlian khusus itu biasanya dinyanyikan zaman penelitian tadi dilakukan oleh generasi tua atau setengah baya. Selebihnya, wor dipelajari kaum muda Biak yang peduli pada kelestarian tradisi musikal ini.

Pelestarian ini di antaranya melalui ibadah Kristiani. Penyanyi-penyanyi wor yang sudah tua tampil membawakan koor wor dengan isi Injil dalam bahasa Biak dan dalam ibadah di gereja di Biak.

Sejarah wor sejak awal abad ke-20 mengalami masa pasang-surutnya karena berbagai faktor. Di awal abad ke-20, wor yang dibawakan dalam upacara-upacara siklus kehidupan orang Biak ditentang para misionaris Belanda. Tradisi ini dipandang bertentangan dengan ajaran Kristen. Tapi di akhir dasawarsa 1930-an, kemerosotan wor agak dipulihkan ketika para misionaris itu mendorong agar wor dengan tema Kristen ditampilkan di gereja. (Pada zaman Belanda, hampir semua penduduk Biak - berjumlah sekitar 30.000 orang menurut disertasi Kamma tentang Gerakan Koreri 1954 - adalah penganut Protestan aliran utama, atau Protestan dengan latar belakang Kalvinistik, hasil penginjilan misionaris Gereja Hervormd Belanda.) Tersirat di dalam pemulihan ini kebijakan gereja untuk mempribumikan ibadah penduduk setempat agar ajaran Kristen tidak menjadi unsur budaya atau peradaban yang asing bagi mereka. Barangkali karena dorongan mereka tapi di luar dugaannya, wor hidup kembali dalam gerakan-gerakan Koreri di Biak menjelang dan selama PD II, seperti yang sudah dijelaskan. Sesudah perang besar itu, pemerintah Belanda menahan orang-orang Biak yang membawa perlengkapan Koreri karena ini dianggap tindakan subversif. Pada awal 1990-an, orang-orang tua asal Biak menganggap wor berhubungan dengan Koreri dan Koreri berhubungan dengan politik, khususnya, perjuangan untuk kemerdekaan orang Papua. Pihak keamanan yang mengetahui kaitan ini lalu melarang nyanyian wor dan memasukkan siapa pun yang mengabaikan larangan ini ke penjara.

Upacara-upacara siklus kehidupan yang ditentang gereja dan wor yang dilarang pemerintah Belanda dan Indonesia membuka pilihan budaya, termasuk pilihan akan upacara dan nyanyian, lain bagi orang Biak. Alih-alih kembali pada pesta-pesta besar dalam upacara-upacara siklus kehidupan masa lampau, mereka di masa kini mengadakan pesta-pesta megah yang menaikkan status keluarga dan individual. Pesta-pesta itu berbentuk perayaan perkawinan, perayaan dan ucapan syukur secara religius bagi anggota keluarga yang lulus sarjana perguruan tinggi, perayaan untuk anggota keluarga yang pulang kampung dari perantauan, atau perayaan tahunan seperti Natal dan Tahun Baru. Wor dalam pesta-pesta masa lampau tapi yang sekarang dilarang diganti dengan tarian-nyanyian rakyat Papua yang berkembang di Sarmi dan sekitar awal 1960-an di Biak dan Teluk Geelvink zaman Belanda: yosim-pancar (yospan). Dalam pesta-pesta modern yang lain, undangan menyanyi secara bersama-sama atau bergilir berbagai nyanyian gereja yang bisa berbentuk nyanyian empat suara.

Ciri-Ciri Lain Musik Wor

Seperti yang sudah dijelaskan dalam suatu tulisan terdahulu, semua lirik wor punya struktur yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama disebut kadwor atau "pucuk" sementara bagian kedua disebut fuar atau "akar". Fuar mengulangi kadwor tapi fuar menjadi lebih panjang karena lebih lengkap dari kadwor.

Melodi yang dinyanyikan untuk kedua bagian teks tadi umumnya sama, dengan penyesuaian di sana-sini. Dibanding kadwor, fuar berisi lebih banyak kata; karena itu, melodinya harus disesuaikan. Penyesuaian ini berbentuk pengulangan motif atau nada-nada tertentu. Pengulangan terkadang dilakukan dalam melodi kadwor supaya melodinya bisa memuat semua katanya. Sebagai akibatnya, pengulangan ini memperpanjang melodi tanpa menyisipkan materi baru. Meskipun demikian, motif-motif melodi baru yang tidak ada dalam kadwor terkadang dimasukkan untuk lirik tambahan tadi.

Kedua bagian nyanyian wor tadi dibawakan secara antifonal (berbalas-balasan) atau unisono (satu suara). Fuar dan kadwor dari lagu-lagu yang disertai tarian dinyanyikan oleh koor-koor secara antifonal. Beyuser, suatu nyanyian berkisah tanpa tarian, dinyanyikan secara unisono. Sebagian nyanyian lain yang tidak disertai tarian dinyanyikan secara antifonal sementara bagian lain dinyanyikan secara unisono.

Gaya nyanyi wor tadi mengakibatkan hubungan antara penyanyi dalam suatu pertunjukan bervariasi. Ada hubungan yang menghasilkan nyanyian heterofonik dan ada juga hubungan yang menghasilkan nyanyian yang hampir unisono.

Kebanyakan melodi wor menunjukkan gerak yang umumnya menurun. Melodinya mulai dengan nada yang tinggi dan berakhir dengan nada yang rendah.

Akan tetapi, cara melodi turun tidak sama. Ada melodi yang turun terus, kemudian berhenti pada beberapa titik melodi, berputar dan berbalik, turun separuh jalan, kemudian kembali ke atas tanpa mencapai puncaknya, turun lagi lebih rendah dari sebelumnya, dan seterusnya. Kebanyakan frasa sebuah lagu pun menurun. Beberapa frasa lagu mulai pada wilayah nada tengah (seperti rangkaian not do-re-mi-fa-sol-la-si tanpa titik di bawah atau di atasnya), kemudian meninggi sebelum merendah.

Beberapa lagu memiliki frasa-frasa melodik dengan bentuk mirip sebuah lonceng gereja. Lagu-lagu itu mulai dengan nada rendah (tepi dasar lonceng), naik (bagian yang membentuk bundaran mirip lengkungan dari lonceng), lalu turun kembali (ke tepi dasar lonceng).

Bagaimana tentang tangganada yang dipakai dalam melodi-melodi wor? Tangganadanya bersifat tetratonik dan pentatonik. Karena tangganada pentatonik (lima nada) sudah dijelaskan, tangganada jenis pertamalah yang perlu penjelasan. Ajektiva tetratonik dibentuk oleh tetra - (empat) dan - tonik (berhubungan dengan nada); jadi, tangganada tetratonik dibentuk oleh empat nada. Yampolsky dan Rutherford tidak merinci modus tangganada tetratonik. Mereka hanya menambahkan bahwa terkadang satu nada kelima atau keenam ditambahkan pada kedua jenis tangganada tadi, rupanya sebagai nada-nada hiasan.

Yang menarik dari hasil rekaman mereka berdua ialah bahwa jumlah wor tetratonik melebihi jumlah wor pentatonik. Perbandingan kelebihan jumlah ini adalah dua banding satu. Ada tangganada yang mempunyai setengahnada sementara tangganada lainnya berisi interval yang mendekati atau mirip interval kedua besar (mayor) dalam tangganada Barat, seperti do-re, re-mi, dan fa-sol.

Apakah ada tangganada yang khas suatu kampung atau wilayah Biak? Yampolksy dan Rutherford tidak bisa memastikan hubungan khas antara tangganada dan komunitas Biak tertentu, seperti tangganada komunitas Opiaref atau Biak Utara. Wor semua kelompok masyarakat Biak yang mereka rekam lebih dari satu dan menunjukkan lebih dari satu tangganada.

Mereka juga tidak bisa mengatakan bahwa jenis-jenis wor tertentu terikat dengan tangganada tertentu. Mereka menemukan, misalnya, bahwa dua sandia memakai tangganada yang sama, tiga kayob menggunakan tiga tangganada, dan lima beyuser memakai empat tangganada.

Kalau tangganada bukan indikator atau petunjuk bermacam-macam wor yang mereka rekam, apa indikatornya? "Apa yang membuat sandia menjadi sandia dan kayob menjadi kayob?" Lirik wor bukan faktor penentu ciri yang jelas karena bentuknya sama untuk semua macam wor. Mereka menduga klasifikasi wor ke dalam berbagai jenisnya ada pada bentuk melodi dan ciri motifnya, matra puisinya, ciri-ciri persajakannya, pemakaian kata-kata tertentu, topik-topiknya, atau fungsinya dalam suatu upacara. Benar-tidaknya dugaan ini perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut.

Sementara menunggu hasil penelitian lanjutan untuk menjawab pertanyaan menarik tadi, kita akan mendalami jenis-jenis melodi wor yang direkam Yampolsky dan Rutherford. Apa tangganada yang dipakai? Pola ritme dan matra jenis apakah yang dipakai? Apa isi pesan wor melalui syair atau liriknya? Apa pola ritme yang dihasilkan pukulan pada tifa yang mengiringi wor itu? Apakah "nada dasar" tifa itu bisa diukur dan apa nada dasar itu? Bab berikut akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Sementara itu, Anda bisa mendengarkan suatu jenis wor untuk tarian yang disebut kankarem dari Biak Utara. Suatu kankarem adalah suatu lagu pembukaan perayaan yang dinyanyikan sekitar waktu matahari terbenam. Ia dinyanyikan oleh tamu-tamu sementara mereka memasuki arena tari. Lagunya ada pada side bar blog ini.

Tidak ada komentar: