01 Agustus 2008

15. Musik Suku Biak-Numfor (3)

Ternyata, Manseren Koreri pun seorang pencipta lagu dan syairnya. Dua di antaranya yang dicatat Kamma dalam disertasinya dikutip di sini dengan penjelasan tertentu.

Salah satu ciptaannya menunjukkan bahwa Nieuw Guinea memang dikenal oleh penduduk Biak-Numfor dengan nama Irrian. Nama Papua tidak mereka kenal. Terjemahan agak bebas syairnya demikian:

Bapa Kayan Sanawi bangkit berdirilah. /Engkau suci./Engkau menutupi sinar matahari /di gunung Yamnaibori, /gunung puteri Biak /agar kami semua mengisi berkatmu /dan berangkat ke Irrian, daratan itu. /Karena mataku telah melihat / bahwa bintang kejora timbul /dan tidak berhenti di atas Kumamba di Timur.

Kayan Sanawi adalah penamaan lain dari Manarmakeri sebelum dia menjadi Manseren Koreri.Sementara itu, gunung Yamnaibori adalah tempat seorang lelaki yang kemudian bernama Manarmakeri menemukan antara lain sebagian rahasia Koreri. Manarmakeri lalu menjadi Manseren Koreri sesudah dia menguasai rahasia Koreri yang antara lain memampukannya mengubah dirinya dari lelaki tua berkulit koreng yang tidak disukai menjadi seorang lelaki muda yang ganteng, gagah perkasa.

Ciptaan lain Manarmakeri mengungkapkan pelayarannya ke Timur sesudah penduduk di Krawi, Yapen Utara, menolak rahasia hidup yang kekal yang sudah dimilikinya sebagai Manseren Koreri. Dari Krawi, dia mengarungi Sungai Mamberamo sampai mencapai gunung-gunung yang tinggi untuk dilihat dan diberi tandanya. Terjemahan agak bebas syairnya demikian:

Dengarlah! kawan-kawan para leluhur./Gadis-gadis! ejekanmu di Sungai Sopen adalah penyebabnya./Engkau wanita Biak, karena itulah ya karena itulah aku menuruni gunung Yamnaibori / dan berdayung melawan arus Mamberamo, arus berpusaran air./Aku mengarungi arus ke arah mudik,/tetapi tidak tinggal di sana./Aku tinggal di tanah Darakya, /tetapi menempatkan tanda tanah kita Biak di sana./Tanda yang membunuh begitu saja.

Larik terakhir mengacu pada suatu tanda kepemilikan dengan kekuatan untuk membunuh.Ejekan gadis-gadis di Sopen mengacu pada kekesalan Manarmakeri ketika dia mengetahui seekor babi yang dihadiahkan padanya dibunuh dan dijadikan makanan tanpa izin dan sepengetahuan dia oleh anggota-anggota klennya. Bukan itu saha. Kebun labunya pun dirusakkan dan buah labunya dijadikan makanan juga oleh kaum kerabatnya. Dia marah dan sementara berdayung meninggalkan mereka ke arah tenggara Sopen, dia mendengar wanita-wanita satu klennya mengejeknya dalam suatu nyanyian di Sopen: hanya karena daging babi dan buah labu saja, suatu masalah sepele, dia menjadi marah. Akan tetapi, tidak jelas letak tanah Darakya.

Apakah Kamma mencatat juga melodi kedua syair tadi? Disertasinya tidak berisi catatan itu. Kita sebagai akibatnya tidak tahu melodi macam apakah yang digunakan untuk kedua syair Manarmakeri tadi.

Malam-Malam Adven

Aslinya, kata "adven" berarti tibanya atau datangnya suatu perkembangan, musim, dan lain-lain, yang penting. Kalau diawali dengan huruf A pada posisi mana saja dalam kalimat, kata "Adven" mengacu pada kedatangan kembali Kristus atau pada empat hari Minggu menjelang perayaan Natal. Kata "Adven" secara khusus mengacu pada kedatangan kembali Kristus pada Hari Penghakiman Terakhir.

Kamma memakai istilah "malam-malam adven" ketika dia membahas gerakan-gerakan Koreri. Apa maksudnya dengan istilah "adven"? Kata ini - tidak ditulis dengan huruf A besar kalau tidak dipakai di awal kalimat - berarti penantian kembalinya Manseren Koreri. Kembalinya pahlawan mitis ini adalah suatu bagian tak terpisahkan dari mitos tentang dia. Ketika dia kembali ke Irrian, dia akan menyingkapkan rahasia hidup yang sebelumnya ditolak orang Irrian zaman mitis kepada orang Papua masa kini, seperti kekayaan material yang berlimpah dan hidup yang kekal. Jadi, malam-malam adven dalam gerakan Koreri adalah malam-malam penantian kembalinya Manseren Koreri.

Sementara menunggu kedatangan kembali sang Manseren, para pengikutnya menyanyi dan menari. Nyanyian yang mereka bawakan mengikuti urutan tertentu dan mencerminkan suatu ketegangan yang memuncak bagi mereka. Nyanyian ini sering diiringi tarian dan tabuhan tifa.

Kapan malam-malam adven diadakan? Sesudah seorang konoor atau utusan Manseren Koreri membuat seruan ke kampung-kampung bahwa Manseren Koreri akan kembali. Mereka yang percaya menanggapi seruan ini dengan datang ke kampung konoor.

Akan tetapi, tidak semua orang perlu datang ke sana. Mereka juga mengadakan pertemuan untuk menantikan kembalinya Manseren Koreri. Berbagai anggota klen lalu berkumpul di rumah paling luas dari klennya. Meskipun demikian, pertemuan ini tidak sebesar yang diselenggarakan di kampung konoor.

Lalu, apa yang dilakukan mereka yang berkumpul di kampung konoor? Mereka mengikutsertakan teman-temannya supaya, sesuai keret atau klennya, mereka nanti tampil di bubes, di tempat menari. Tempat menari itu adalah yang paling luas di tengah kampung atau suatu tempat yang luas yang sudah disiapkan. Terkadang, pasir pantai dipakai juga kalau pasang masih surut dan cukup tersedia ruang.

Mulailah malam-malam adven. Dalam perkumpulan seperti ini untuk menantikan kembalinya Manseren Koreri, sang Mesias suku Biak-Numfor, para pengikut gerakan Koreri mulai dengan wor, tarian, pada hari pertama. Waktu menari adalah sebelum matahari terbenam.

Pada hari berikutnya, tarian dimulai sekitar pukul tiga siang. Sekitar jam ini, mereka menantikan "awal malam panjang", malam yang berlangsung sampai dengan subuh.

Pertemuan pertama dimulai dengan wor beyuser, disebut do besower atau nyanyian tanda hormat. Untuk itu, para peserta berkumpul keliling rumah konoor dan menyanyi: Selamat malam, selamat malam./selamat atas pemili8k rumah ini./Saudara! Selamat malam, selamat malam, /selamat atas raja, pemilik rumah ini, /ya, rumah ini.

Sampai dengan tengah malam, orang menyanyikan bermacam-macam melodi sambil menari. Atau mereka semua menyanyi dengan iringan tifa berukuran besar, bundar, dengan bagian tengahnya lebih ramping dari bagiannya yang menuju kedua ujungnya. Syair nyanyian berbeda untuk setiap keret, dan sering setiap keret punya semacam nilai monopoli atas syair-syair mereka. Setiap klen tidak dibenarkan menyanyikan lagu-lagu ratapan klen-klen lain selain dari klennya sendiri.Timbullah pembagian nyanyian sebagai berikut:

Beyuser Koreri

Ini bisa dibandingkan dengan balada dalam arti modern karena ia adalah nyanyian yang berkisah. Isinya sangat bervariasi. Melalui permainan kata atau cara bercerita secara langsung, penyanyi merenungkan sesuatu, memuji seseorang karena jasanya, mengejek, atau bahkan mendamprat orang lain.

Penyanyi mulai dengan beyuser umum. Jenis nyanyian ini tidak punya hubungan langsung dengan Koreri. Kemudian, nyanyian beralih kepada Koreri sebagai titik pemusatan perhatian.

Do Erisam

Sekitar pukul sepuluh malam, orang mulai menyanyikan erisam, suatu lagu perjalanan yang sejati. Bentuk lagu ini mereka nyanyikan selama perjalanan yang jauh dengan perahu, "isama si pok ro soren", agar orang menjadi kuat di laut. Ia dinyanyikan juga sebagai suatu nyanyian kemenangan dan, karena itu, ia juga suatu nyanyian perang. Melalui do erisam dalam konteks ini, orang menyanyi tentang ketegangan dan perjuangan menuju kemenangan. Koreri tengah tiba, orang mati dalam perjalanan menuju ke sini, dan orang yang percaya akan Manseren Koreri dan Koreri berjuang bersama orang mati yang akan hidup untuk menaklukkan kesukaran-kesukaran hidup.

Do Beba

Ini adalah nyanyian akbar, nyanyian agung. Sekitar tengah malam, Do Erisam beralih ke Do Beba, lagu kemenangan. "Garang dan keras orang menantikan kemenangan," komentar Kamma tentang ciri nyanyian ini. Ia suatu bentuk wor untuk suatu pelayaran hongi - dengan memakai perahu besar untuk pelayaran yang jauh - yang sukses ketika para awak tiba di kampungnya dengan membawa serta budak-budak tawanannya.

Randan

Sekitar pukul dua pagi (sesudah tengah malam), orang mulai menari Randan. Ini nyanyian tentang kedatangan kembali Manseren Koreri. Semua penari dan penyanyi menyanyi dengan ketegangan yang memuncak karena penantian akan kembalinya Manseren dan karena tarian-nyanyian ini akan disusul Tandia atau Sandia.

Tandia/Sandia

Ini suatu tarian yang dibawakan untuk mas saso, "untuk menguji". Tarian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa suatu rumah panggung yang baru didirikan kokoh.

Tujuan ini berkaitan dengan penantian Koreri. Tibanya Koreri akan mengakibatkan orang mati hidup kembali bersama mereka yang masih hidup. Agar mampu menampung orang mati yang hidup, rumah direnovasi dan diperluas. Dalam kelompok-kelompok, mereka menari di atas bilah-bilah kayu yang gemerincing. Mereka lalu terburu-buru menyanyi sambil ke luar rumah karena orang mati yang hidup kembali bisa saja muncul tiba-tiba dan, kalau memang demikian, rumah sudah disediakan untuk mereka.

Kedatangan mereka yang hidup kembali dipertunjukkan melalui tarian ekstase. Tarian ini muncul making sering menjelang pagi. Beberapa di antara peserta sudah mempersiapkan diri secara khusus untuk waktu ini; sepanjang malam, mereka tidak makan kecuali minum saguer, tuak dari pohon kelapa.

Terkadang, ekstase melanda sejumlah besar peserta. Mereka menari di luar kesadaran. Ini bisa begitu hebat sehingga suatu rumah tempat mereka menari bisa berguncang karena konvulsi, yaitu, luapan-luapan emosional melalui gerakan tubuh, mirip yang dialami penderita penyakit sawan atau epilespsi. Ini pertanda para peserta malam adven sudah kesurupan roh Koreri. Muncullah glosolalia, yaitu, kuasa untuk berbicara atau berkata-kata dalam bahasa yang tidak dipahami ketika orang berada dalam suasasana ekstase. Glosolalia, disebut juga karunia berbahasa lidah oleh orang Kristen, yang ditunjukkan para peserta yang menantikan kembalinya Manseren Koreri, menurut mereka, diakibatkan jiwa-jiwa orang mati yang sudah tiba dan mulai berbicara melalui mulut mereka.

Baik jiwa-jiwa orang mati yang adalah anggota suku maupun anggota bangsa lain - seperti orang Belanda dan China - akan menjadi bagian Koreri umum. Sementara gejala glosolalia masih muncul pada beberapa orang peserta, peserta lain terus menyelesaikan skema malam adven.

Pengalaman ekstase yang diikuti oleh glosolalia massal lain diuraikan Dr. F.C. Kamma dalam hubungan dengan malam-malam adven di Insumbabi, suatu pulau lain dekat Biak, menjelang PD II. Gejala kejiwaan ini ditunjukkan para pengikut Koreri yang sejati; Kamma menyebut gejala ini sebagai "sejenis psikose-massa" yang mudah tampak pada mereka yang peka, seperti anak-anak berusia antara 8 dan 10 tahun. Ketika mengalami psikose-massa, mereka menjadi pingsan, meluncur jatuh dari tempat duduknya, dan mulai berbicara tak keruan.

Malam-malam adven di Insumbabi mulai dengan nyanyian bersama yang melibatkan lelaki dan wanita. Nyanyian bersama itu biasanya dibawakan secara berbalas-balasan dalam bentuk yang disebut beyuser atau kankarem: bentuk tanya-jawab atau berkisah. Nyanyian-nyanyian yang mereka bawakan diciptakan Angganitha Menufaur, seorang wanita yang berkerabat dengan Manseren Koreri dan seorang tokoh utama gerakan Koreri di Supiori, sebuah pulau lain dekat Biak.

Kamma yang menyaksikan gerakan-gerakan Koreri seperti ini dan nyanyian-nyanyian bersama antara lelaki dan wanita selama malam-malam adven terkesan oleh nyanyian beyuser atau kankarem mereka. Tulisnya: "Nyanyian bersama lelaki dan wanita mempunyai sesuatu yang mengharukan melalui cara suara-suara lelaki dewasa yang berat memperdengarkan nada-nada rendah, yang dari padanya suara-suara wanita atau suara-suara tenor lebih tinggi dari lelaki seolah-olah melepaskan diri dari pelukan erat yang gelap dari suara-suara bas yang berat dari suara-suara lelaki dan deruman tifa. Ada sesuatu tentang pergulatan sebuah perahu yang melintasi gelombang laut dan hembusan angin kuat. Kesan, yang ditimbulkan nyanyian ini, selalu kentara, juga bagi orang asing. Terutama ketika ratusan orang terlibat, nyanyian mereka mengharukan."

Para peserta malam-malam adven di Insumbabi mengaku ketika mereka ikut menyanyi, mereka seakan-akan berada selama suatu waktu di suatu dunia gaib. Salah seorang informan Kamma asal Biak memperjelas pengaruh ini dalam bahasa Indonesia yang memakai suatu ejaan lama: "Oleh karena pergerakan dengan lagoe-lagoe yang sangat menarik perasaan orang, maka achirnya ada roh yang menggerakkan lidah orang akan berkata dengan roepa-roepa bahasa." Penjelasannya mengacu pada glosolalia, suatu bagian dari dunia gaib tadi.

Kayob Kummesri

Menjelang subuh, orang menyanyikan kayob, nyanyian ratapan merangkap nyanyian Bintang Kejora. Kayob mencakup semua nyanyian tentang kedudukan dan kualitas yang dihormati dari leluhur, seperti perbuatan, harta, nyanyian, perjalanan, dan kemenangan mereka. Para penyanyi mengatakan "ko kanes Kayob": kami menangiskan Kayob. Sebenarnya, ini menyanyi yang biasa tapi dengan tempo yang lambat, dengan variasi bunyi yang mengharukan, yang terkadang memang mengingatkan kita pada suasana menangis.

Kayob Kummesri, disebut juga Kayob Sampari, dikenal juga dengan istilah Yuser Dorek. Ini adalah suatu balada, suatu nyanyian berkisah pada waktu fajar. Terjemahan agak bebas syairnya demikian:

Tuhan Yang Besar,/ah, kiranya Engkau tidak berbahaya,/agar aku dapat menyambut fajar Sampari, Bintang Kejora,/turunlah ke atas kayu-kayu yang dilemparkan,/dilemparkan kepada wanita itu./Dia melempar sebagai seorang lelaki,/Bintang Kejora meraih,/dia melempar ke dada wanita itu,/Bintang Kejora kalah.

Tuhan Yang Besar dalam syair tadi mengacu pada Manseren Koreri. Sebelum mencapai tahap kekuasaan ini, dia seorang lelaki tua yang kulit badanya berkoreng dan karena itu disebut Manarmakeri. Sebagai Manarmakeri, dia bergulat dengan Bintang Kejora di pucuk pohon kelapa; sang bintang tertangkap basah mencuri dan meminum tuak kelapa Manarmakeri. Pergulatan antara Manarmakeri dan Sampari berakhir menjelang fajar sesudah makhluk luar angkasa itu mengabulkan permintaan Manarmakeri: dia akan bertemu calon isterinya dengan melemparkan sejenis buah dekat pantai (kayu-kayu dalam versi syair tadi) yang akan menyentuh payudara perawan itu dan mengakibatkannya mengandung dan melahirkan putera mereka, dan dia juga akan diberi kuasa untuk mendatangkan kekayaan material dan hidup yang kekal bagi suku Biak-Numfor dan suku-suku Papua lainnya.

Kisah tentang pergulatan Manarmakeri dengan Bintang Kejora mengingatkan kita pada suatu kisah Alkitab Perjanjian Lama: pertarungan Yakub melawan malaikat. Dalam gerakan Koreri yang besar, ada juga peserta yang ingat akan perjuangan Yakub melawan malaikat di Sungai Yabbok (Kejadian 38:24-27).

Ketika menyanyikan kayob, setiap keret memanggil-manggil kaumnya yang mati agar hidup kembali. Dengan demikian, tidak ada satupun yang tertinggal dalam orde Koreri.

Ribuan Peserta Wor

Beberapa tarian (wor) melibatkan ribuan peserta. Ini terjadi, misalnya, di Rani, sebuah pulau dekat Biak. Ribuan suara menyanyi diiringi ratusan tifa yang ditabuh selama malam-malam penantian kembali Manseren Koreri dan orde Koreri yang dibawanya. Dampaknya luar biasa. Seorang peserta memerikan dampak dahsyat itu melalui suatu analogi yang kuat: "Seandainya Rani adalah sebuah kapal, selama malam-malam itu, kami sudah menarikan kapal itu ke dalam tanah."

Nyanyian dan Tarian dalam Upacara Insidental

Dalam buku lain, Dr. F.C. Kamma membahas berbagai upacara tradisional yang melibatkan nyanyian dari suku Biak-Numfor. Ada upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan, mulai dari lahir sampai dengan matinya seseorang. Salah satu jenis upacara siklus kehidupan itu diistilahkan Kamma sebagai "upacara insidental" karena diselenggarakan sesuai kebutuhan. Salah satu upacara insidental yang melibatkan suatu jenis tarian yang meniru gerakan ular naga; karena itu, tarian ini disebut wor ular naga, diikuti lelaki dan wanita.

Dalam wor (tarian) yang meniru gerakan ular naga, para peserta menari berkeliling. Penari lelaki membentuk kepala sementara penari wanita membentuk ekor ular naga. Kepala dan ekor tidak saling menyentuh. Para lelaki menari dalam pasangan yang sejajar dengan menjepit tifa di ketiaknya. Irama muncul ketika mereka menabuh tifanya. Sementara itu, para lelaki meloncat-loncat dengan gerakan tubuh yang berlimpah-limpah atau melakukan gerakan menekuk lutut dan melangkah dengan jarak yang kecil sambil menarik telapak kakinya di atas tikar. Sementara itu, mereka melambaikan daun-daun pepohonan atau bulu-bulu burung di samping bahunya. Gerakan tubuh menari seperti ini disebut fyer, menari.

Dalam menyanyi, penari lelaki menetapkan tingginada suatu lagu. Kemudian, para penari wanita masuk dengan suara-suaranya yang tinggi. Terbentuklah nyanyian urutan, nyanyian yang dibawakan silih ganti antara lelaki dan wanita. Nyanyian urutan ini membentuk suatu dialog yang dramatik. Intensitasnya meningkat kira-kira di tengah syair yang dinyanyikan. Pada pertengahan syair, timbullah semacam fuga atau fugue dalam bahasa Inggris. Ini sejenis melodi dalam musik klasikal Barat yang bergerak cepat dan melibatkan bermacam-macam suara-nyanyi (tiga atau empat) yang masuk berturut-turut sambil saling meniru. Dalam menyanyikan bagian melodi tersebut, suara-suara lelaki yang gelap dan dalam terkadang dipecahkan oleh pekikan-pekikan yang tajam dari suara-nyanyi wanita-wanita.

Kekurangan Info tentang Bentuk Melodi dan Pola Ritme

Penggemar musik populer modern bisa membedakan berbagai irama. Mereka bisa membedakan irama dangdut dari keroncong, reggae dari samba, wals dari rock 'n roll, dan funky dari disko. Setiap irama musik ini pun punya dansanya sendiri. Setiap irama punya ciri khasnya dan barangkali tidak semua penggemar bisa menjelaskan tetek bengeknya.

Serupa dengan penggemar irama musik populer, kita yang membaca uraian Kamma tentang berbagai jenis nyanyian tradisional suku Biak-Numfor dan tarian yang menyertainya bertanya-tanya. Apakah Beyuser Koreri, Erisam, Do Beba, Randam, Tandia/Sandia, dan Kayob Kummesri adalah nyanyian dan tarian dengan berbagai irama? Karena belum paham benar, kita ingin tahu lebih jauh. Tangganada apa yang dipakai nyanyian tadi? Apakah temponya sama atau berbeda? Apakah tabuhan tifa sama atau berbeda juga untuk setiap nyanyian? Apakah melodinya tenang dan lembut, lambat, atau cepat, bersemangat, berapi-api? Kita menduga ada ciri-ciri khas setiap nyanyian tadi karena masing-masing punya namanya sendiri.

Tentu semua pertanyaan tadi tidak dijawab Kamma. Uraiannya tentang musik dan tarian suku Biak-Numfor tadi memang tidak difokuskan pada seni musik atau musik etnik. Dia menguraikannya sebagai bagian dari fokus penelitiannya pada gerakan-gerakan Koreri dan berbagai upacara tradisional di daerah kebudayaan Biak-Numfor. Meskipun demikian, uraiannya tentang musik dan tarian dari Biak-Numfor cukup rinci.

Kita menjadi tahu tentang beberapa segi yang berhubungan dengan ciri-ciri musik tradisional suku Biak-Numfor.

  • Ada syair yang memberi petunjuk tentang sejarah masa lampau suku Biak-Numfor, seperti nama Irrian dalam salah satu syair Manarmakeri. Syair ini menyingkapkan juga fragmen-fragmen tertentu dari Manseren Koreri.
  • Nyanyian-nyanyian yang Kamma uraikan dibatasi pada yang dibawakan dalam malam-malam adven dan dalam upacara insindental.
  • Ada berbagai bentuk dan jenis nyanyian dan tempat serta cara para peserta malam-malam adven membawakan nyanyian itu.
  • Ada juga nyanyian dan tarian yang tidak berkaitan dengan malam-malam adven tapi dengan upacara insidental.
  • Tifa untuk mengiringi nyanyian-nyanyian itu dan bentuk tifa serta cara menjepitnya diperikan oleh Kamma.
  • Beberapa nyanyian berkisah suku Biak-Numfor tidak beda dengan balada bangsa-bangsa lain dan balada modern. Selain itu, kita tahu ada nyanyian perjalanan, nyanyian akbar, nyanyian tentang kedatangan kembali Manseren Koreri, dan nyanyian ratapan.
  • Pemerian Kamma tentang tarian yang meniru ular naga dan nyanyian yang dibawakan memberi kita sedikit pemahaman tentang ciri nyanyian itu: mirip fuga yang bertempo tinggi dan dinyanyikan silih ganti antara lelaki dan wanita.
  • Nyanyian dan tarian disertai minuman tuak pohon kelapa selama malam-malam adven yang menimbulkan semacam psikose-massa yang muncul dalam gejala psikologis massal, yaitu ekstase dan glosolalia, adalah ciri-ciri baru yang muncul sejauh ini dalam musik tradisional Papua.

Sayang, tidak ada notasi balok atau angka tentang nyanyian-nyanyian yang dibawakan para peserta gerakan Koreri. Bagaimana bentuk melodinya dan tangganada apakah yang dipakai? Tidak ada juga notasi atau rekaman tentang pola-pola tabuhan tifa suku Biak-Numfor pada malam-malam penantian itu. Sebagai akibatnya, kita kekurangan informasi tentang pola-pola ritme khas nyanyian dan tabuhan tifa suku Biak-Numfor. Tanpa dokumentasi pola-pola ritme khas ini, kita sulit mengembangkan musik yang khas Papua.

Apakah bentuk-bentuk melodi, tangganada yang mendasarinya, dan pola-pola ritme itu direkam oleh Smithsonian Institute dari Amerika Serikat? Hasil penelitian lembaga ini yang memakai rekaman melalui CD mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan ini dalam bab berikut.

Tidak ada komentar: