04 Juni 2008

7. Ciri-Ciri Lain Nyanyian Suku Pegunungan

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Apa ciri-ciri lain nyanyian di Nieuw Guinea, seperti yang diuraikan J. Kunst? Ciri-ciri ini mencakup melodi dan syair dan diteliti pada musik Kauwerawet, orang Papua Mamberamo, suku-suku pegunungan tengah, penduduk Merauke, dan suku-suku katai di Lembah Swart. Untuk pemahaman yang lebih luas, Kunst membandingkan musik suku-suku ini dengan yang terdapat di pesisir Nieuw Guinea, Papua New Guinea, dan Asia bagian timur.

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Apa ciri-ciri lain nyanyian di Nieuw Guinea, seperti yang diuraikan J. Kunst? Ciri-ciri ini mencakup melodi dan syair dan diteliti pada musik Kauwerawet, orang Papua Mamberamo, suku-suku pegunungan tengah, penduduk Merauke, dan suku-suku katai di Lembah Swart. Untuk pemahaman yang lebih luas, Kunst membandingkan musik suku-suku ini dengan yang terdapat di pesisir Nieuw Guinea, Papua New Guinea, dan Asia bagian timur.

Ciri-Ciri Nyanyian Kauwerawet dan Awembiak

Nyanyian-nyanyian Kauwerawet menunjukkan empat ciri. Nyanyian mereka memakai tangganada pentatonik, gerak melodi menuruni tangganada, not kunci yang lebih rendah mengakhiri lagu, dan syair lagu memakai paralelisme.

Dalam paralelisme, ejaan dan bunyi kata-kata awal dua larik sama tapi berbeda di kata-kata akhirnya. Kata-kata awal setiap larik bisasepasang dan merupakan pengulangan kata yang sama atau pengulangan kata kedua. Bisa juga ada satu kata bersuku kata banyak pada setiap larik yang bagian awalnya tidak sama tapi bagian akhirnya sama ejaan dan bunyinya.

Paralelisme

Bukan saja syair suku Kauwerawet melainkan juga syair nyanyian suku Awembiak berisi paralelisme. Nyanyian berjudul Yamo suku ini bisa memperjelas paralelisme.

Naga naga dewi wowai
Dega dega duwa wowai o a o
Mugu naga lu ambagage o
Asiloe naga naga duwang wae

Syair empat larik ini berisi paralelisme pada setiap pasangan lariknya. Pada pasangan larik pertama, kata naga-naga yang sama ejaan dan bunyinya berpasangan dengan kata dega-dega yang juga sama ejaan dan bunyinya. Demikian juga, ejaan dan bunyi kata-kata awal pasangan larik kedua mugu naga dan asilu naga-naga menunjukkan paralelisme pada kata naga dan perulangannya. Paralelisme ada juga pada akhir pasangan larik pertama: dewi wowai dan duwa wowai. Tapi pasangan kata-kata di akhir larik ketiga dan keempat tidak sama.

Dalam syair lain, pasangan kata awal tidak berbunyi sama di awal tapi di akhir. Ini khusus berlaku untuk kata-kata yang jumlah suku katanya lebih dari tiga, tampaknya adalah kata-kata majemuk. Suatu contoh diberikan Kunst berdasarkan suatu nyanyian suku Kauwerawet:

Mamakanane
Kerekanane

Vokalisasi

Bunyi o a o adalah selingan atau selaan berbentuk bunyi vokal (huruf hidup) “pengisi lowongan” dalam ritme bait. Ini mirip vokalisasi, yaitu, bunyi vokal pengisi lowongan dalam nyanyian pop modern, seperti o, oh, hm, uh, du, na, la, paparapap, cucua, dan lain-lain.

J. Kunst memandang bunyi selaan tadi sebagai suatu “keanehan” . Dr. P. Wirz yang memerhatikan keanehan ini mencoba menjelaskannya berdasarkan nyanyian-nyanyian suku Papua lain yang juga memakai bunyi selingan itu. Selama menyanyi, kata-kata tidak diucapkan dengan cara yang lazim tapi selalu berakhir dengan bunyi vokal. Wirz menduga ini suatu upaya penyanyi untuk memperkenalkan rima atau persajakan. Selain itu, kata-kata selalu berakhir dengan bunyi vokal karena pengaruh melodi.

Ciri-Ciri Lain Nyanyian Pegunungan Tengah

Selanjutnya, nyanyian suku-suku yang mendiami Pegunungan Tengah dikenal juga melalui ciri-ciri utama lain. Ciri-ciri apakah itu?

Upacara

Nyanyian mereka berhubungan dengan upacara. Nyanyian fenfer mereka secara khusus berhubungan dengan upacara.

Reduplikasi

Selain itu, nyanyian itu memanfaatkan reduplikasi, tampaknya untuk mempertinggi efek atau keindahan musikal melalui syair. Reduplikasi adalah pengulangan kata yang sama. Contoh reduplikasi dalam syair nyanyian dari Pegunungan Tengah: solu-solu, naga-naga, mina-mina, dega-dega, wae-wae-wae-wae,we u we-we u we, dan wi o-wi o.

Reduplikasi muncul juga dalam bahasa Indonesia. Sering, ia menunjukkan bentuk jamak suatu nomina tunggal, seperti seseorang (tunggal)-orang-orang (jamak), sebuah rumah-rumah-rumah, dan lain-lain. Ada kalanya reduplikasi dipakai untuk beberapa nomina yang bersifat tunggal atau jamak, seperti mata-mata dan agar-agar.

Bunyi “Klik” dengan Jari

Mereka juga mengiringi nyanyiannya dengan menghasilkan bunyi “klik” atau bunyi gemeretak dengan jari-jarinya. Iringan yang memanfaatkan anggota tubuh ini tampaknya langka dalam musik modern masa kini. Tapi iringan macam ini tidak unik. Sekitar tahun 1958, Tuan P. Kanaar asal Belanda, dokter leprosarium gereja di Manggurai, Teluk Wondama (sekarang bagian dari Provinsi Papua Barat), memutar film untuk umum di depan rumahnya di Wasior, “ibu kota” distrik Wondama waktu itu pada malam hari. Pemutaran film ini bagian dari perayaan 30 April, hari ulang tahun Ratu Yuliana, ratu Belanda waktu itu. Film hitam putih di layar tancap itu tentang musikus Amerika hitam yang bermain musik, tampaknya jazz. Pada suatu penampilan, mereka berhenti memainkan instrumen tiupnya dan menggantikannya secara ritmis dengan bunyi “klik” beberapa kali dengan jarinya sebelum mereka melanjutkan permainan musiknya.

Tremolo versus Vibrato

Yang juga menarik adalah teknik musikal Barat yang dikenal sebagai tremolo dalam suara-nyanyi suku-suku Pegunungan Tengah. Ini mirip vibrato dalam teknik nyanyi modern asal Barat.

Secara sederhana, vibrato dalam seni-nyanyi adalah turun-naiknya suara-nyanyi secara teratur dan cepat sesuai nada yang dinyanyikan dan volume suara yang dihasilkan. Dalam bahasa sehari-hari, vibrato disebut “getaran suara-nyanyi”. Not yang cocok untuk menghasilkan vibrato adalah not tunggal yang ditahan agak lama, semisal, dua sampai dengan delapan ketukan. Kalau not do selama empat ketukan Anda nyanyikan dengan teknik vibrato, Anda bisa menghasilkan pertukaran yang teratur dan cepat dari not do dan not lain setinggi bukan setengahnada (di) melainkan setinggi kira-kira seperempatnada (quarter step) – bunyi not antara do dan di – selama empat ketukan. Tingkat vibrato rata-rata antara 5 sampai dengan 9 pulsa (denyutan) per detik. Dalam nyanyian modern Barat, vibrato yang benar dihasilkan melalui diafragma, yaitu, melalui otot-otot perut – dengan dukungan kuat dari napas dan diafragma – yang mengaktifkan denyutan-denyutan. Denyutan-denyutan ini mengakibatkan udara mengalir melalui pita suara mengikuti gerak mirip gelombang.

Jenis vibrato vokal lain yang tidak dianjurkan dalam seni-nyanyi modern Barat disebut vibrato tenggorokan. Jenis getaran suara-nyanyi ini dihasilkan dengan mengutak-atik otot-otot tenggorokan supaya menggerakkan pangkal tenggorokan ke atas dan ke bawah. Gerakan turun-naik pangkal tenggorokan lalu menghasilkan tingginada yang juga turun-naik.

Tremolo dalam musik Barat adalah suatu teknik hiasan melodi yang lazimnya dipakai dalam musik instrumental, seperti instrumen dawai atau senar yang mencakup biola dan gitar. Dalam tremolo, dua not dengan tingginada yang berbeda dibunyikan secara berganti-gantian dan secepat-cepatnya. Lazimnya, kedua not itu membentuk interval kedua, seperti do-re, re-mi, mi-fa, fa-sol, dan seterusnya.

Tentu suku-suku Pegunungan Tengah yang membawakan nyanyiannya yang diteliti para ahli musik dari Barat tidak mengenal istilah untuk hiasan melodik dari Barat tadi. Sebaliknya, ahli musik itu mendengarkan suatu gejala musikal dalam nyanyian suku-suku tadi yang mereka identifikasi dalam ilmu musik Barat sebagai tremolo. Istilah ini menunjukkan bahwa ada teknik nyanyi suku-suku pedalaman itu yang di dalamnya dua not yang membentuk interval kedua dinyanyikan secara berganti-gantian dan secepat-cepatnya.

Ada beberapa ahli seni-nyanyi Barat yang secara keliru memakai istilah tremolo untuk apa yang sebenarnya adalah vibrato. Tapi pergantian dua not dalam teknik vibrato mengandalkan jarak interval yang jauh lebih kecil dari interval kedua sementara gejala musik vokal suku-suku Pegunungan Tengah tadi mesti melibatkan pergantian dua not dari interval kedua. Kalau pergantian dua not dari interval kedua itulah yang didengar para ahli musik Barat, maka istilah tremolo yang dipakai Kunst untuk mengidentifikasi teknik hiasan nyanyian itu memang benar.

Bagaimanakah para penyanyi Awembiak dan Dem menghasilkan tremolo? Mereka menghasilkannya melalui pangkal lidahnya ketika mereka menyanyikan not-not tunggal yang ditahan lama. Kalau mau dibandingkan dengan teknik vibrato, frasa “pangkal lidahnya” tampaknya mengacu pada vibrato tenggorokan yang sudah dijelaskan.

Desahan Aneh

Masih ada teknik nyanyi khas lain suku-suku pedalaman ini. Mereka menghubung-hubungkan larik-larik syair melalui desahan aneh. Desahan khas ini dihasilkan melalui napas yang disedot. Ada penyanyi yang sambil menyedot napas menutup matanya karena perasaan gembira yang meluap.

Keanekaragaman Ritmik

Nyanyian-nyanyian Pegunungan Tengah menunjukkan ciri lain: keanekaragaman ritmik. Ini khususnya ada pada syair nyanyian-nyanyian itu.

Syair lazimnya dibentuk dari kata-kata dan kata-kata dibentuk dari suku kata. Kata-kata bisa bersuku kata sedikit – ada satu sampai dengan tiga suku kata – atau bersuku kata banyak – ada lebih dari tiga suku kata.

Ritme musikal pada kata-kata ditentukan di antaranya oleh pergantian antara suku kata yang ditekan – diucapkan lebih nyaring – dan yang tidak ditekan – diucapkan kurang nyaring dan keteraturan tekanan itu. Ritme musikal dalam arti ini ditentukan juga oleh aturan baku tentang tekanan yang berlaku dalam bahasa lisan. Dalam bahasa Indonesia lisan, misalnya, kata-kata bersuku kata dua diberi tekanan pada suku kata pertama – seperti MA-ri, DU-duk, LA-par, BE-bas – atau pada suku kata kedua – seperti se-BAB, le-PAS, me-NANG. Kata-kata Indonesia bersuku kata tiga dan di atasnya terikat pada aturan tekanan yang lain. Untuk kata bersuku kata tiga, tekanan bisa diberikan pada suku kata kedua, seperti ke-MA-rin, di-PU-tar, meng-GA-li, ru-MAH-nya atau ru-mah-NYA. Untuk kata bersuku kata empat atau lebih, aturannya lain, yang biasanya ditekan adalah suku kata sebelum suku kata terakhir, seperti mem-ba-LIK-kan, di-per-ma-LU-kan, dan mem-per-ma-in-KAN-nya.

Banyak-tidaknya jumlah suku kata dalam suatu bahasa sudah diteliti para ahli. Ada bahasa yang selain kaya akan kata-kata bersuku kata banyak kaya juga akan kata-kata bersuku kata sedikit: bersuku kata satu, dua, dan tiga. Bahasa ini disebut bersifat monosilabik, secara harfiah berarti bersifat satu (mono) suku kata (silabik, dari kata Inggris syllabic). Bahasa Inggris bersifat monosilabik. Ada juga bahasa yang kaya akan kata-kata yang bersuku kata banyak tapi miskin kata-kata bersuku kata sedikit. Bahasa ini disebut bersifat polisilabik, secara harfiah berarti bersifat banyak (poli) suku kata (silabik). Bahasa Indonesia bersifat polisilabik.

Sifat monosilabik atau polisilabik suatu bahasa penting dalam penciptaan lagu, khususnya, syair lagu. Sifat ini memengaruhi penataan ritme dan matra lagu. Semakin sedikit jumlah suku kata yang membentuk suatu syair, semakin mudah musikus menata ritme dan matra suatu nyanyian; semakin banyak jumlah suku kata dalam suatu syair, semakin sulit musikus menata ritme dan matra suatu nyanyian. Kesulitan ini kentara ketika seorang penerjemah bahasa Indonesia yang polisilabik menerjemahkan syair suatu nyanyian asing yang bahasanya monosilabik, seperti bahasa Inggris. Demi keserasian antara tekanan melodik dan kata, dia akan mengalami kesulitan dalam menata ritme dan matra dari terjemahannya yang melibatkan kata-kata Indonesia bersuku kata banyak sebagai padanan kata-kata Inggris bersuku kata sedikit.

Demi kemudahan menata ritme dan matra lagu, kebanyakan pencipta lagu karena itu cenderung memakai kata-kata yang bersuku kata sedikit. Kata-kata ini biasanya tergolong pada bahasa lisan.

Anda yang ingin memperdalam pengetahuanmu tentang jumlah suku kata dalam syair bisa mempelajari syair-syair dalam dua buku nyanyian gereja yang memenuhi syarat tadi. Itulah Mazmur dan Nyanyian Rohani susunan I.S. Kijne dan Kidung Jemaat terbitan Yayasan Musik Gereja, Jakarta. Akan tetapi, syair-syair dalam kedua buku nyanyian jemaat ini bersifat baku resmi (formal standard) – mematuhi secara ketat aturan tatabahasa yang baik dan benar – sementara bahasa lisan bersifat baku takresmi (informal standard) – masih memakai aturan tatabahasa yang baik dan benar – atau nirbaku (non-standard), seperti dialek Indonesia yang dipakai di Papua yang kurang memerhatikan tatabahasa yang baik dan benar.

Ritme suatu nyanyian dalam arti modern dikatakan baik dan benar kalau ada keselarasan antara tekanan melodik dan kata. Sayangnya, banyak nyanyian di Indonesia menunjukkan konflik antara tekanan melodik dan kata. Sebagian syair dan lagu Burung Kakatua yang sudah dijelaskan menunjukkan suatu contoh tabrakan antara tekanan melodik dan kata.

Salah satu dugaan tentang penyebab ketidakselarasan tadi adalah ketidaktahuan pencipta lagu tentang aturan tentang keselarasan itu. Dengan kata lain, musikus itu tidak mengerti aturan musikal modern tentang keselarasan tersebut.

Dugaan lain adalah belum adanya aturan baku tentang tekanan kata dalam bahasa Indonesia. Ini mengakibatkan kata-kata yang bersuku kata banyak (polisilabik) bisa mengalami pergeseran tekanan karena berbagai alasan, seperti pengaruh bahasa daerah atau intonasi (“lagu” kalimat) bahasa daerah itu. Sewaktu-waktu, beberapa orang pendeta Kristen yang barangkali mendapat didikan dari dosen Belanda yang berbahasa Indonesia meniru tekanan kata yang keliru dari dosen itu kemudian hari ketika mereka berkhotbah di gereja. Anda lalu mendengar pergeseran tekanan kata seperti ini: di-per-mu-li-a-KAN-lah, DI-per-mu-li-a-KAN-lah, di-PER-mu-li-a-kan-LAH, atau DI-per-MU-lia-kan-LAH. Ucapan yang terakhir sering dipakai pendeta Indonesia yang meniru aksen Indonesia yang keliru dari dosen asal Belanda.

Pergeseran tekanan pada kata-kata bersuku kata banyak, seperti dalam contoh-contoh tadi, bisa menghasilkan apa yang Kunst istilahkan “keanekaragaman ritmik dari polisilabel” dalam syair nyanyian suku-suku Pegunungan Tengah. Entah dalam satu nyanyian atau dua nyanyian yang berbeda-beda, satu kata yang dipakai bisa mengalami pergeseran tekanan. Misalnya, kata nairoe – bersuku kata empat – diucapkan dalam suatu nyanyian dengan tiga macam tekanan: na-I-ro-e, na-i-ro-E, atau na-i-RO-e. Kata ambagage – empat suku kata – dalam dua nyanyian yang berbeda diucapkan sebagai am-ba-ga-GE dalam satu syair tapi sebagai AM-ba-ga-ge dalam syair lain.

Bahkan kata-kata bersuku kata sedikit pun mengalami pergeseran tekanan dalam syair nyanyian suku-suku pedalaman tadi. Dalam salah satu nyanyi, peneliti mendengarkan ucapan MI-na yang tekanannya bergeser menjadi mi-NA dalam nyanyian lain. Dalam satu nyanyian, satu kata bersuku kata dua diucapkan dengan dua tekanan yang berbeda: A-je dan a-JE.

Mengapa terjadi pergeseran tekanan kata dalam syair nyanyian suku-suku Pegunungan Tengah? Kunst tidak menjelaskan penyebabnya kecuali mengidentifikasi gejala pergeseran ini sebagai keanekaragaman ritmik dari kata-kata yang bersuku kata banyak dalam syair-syair itu (dan, sewaktu-waktu, dalam kata-kata yang bersuku kata sedikit).

Rima Akhir

Bukan hanya pergeseran tekanan yang diperhatikan Kunst. Dia juga memerhatikan rima (rhyme) dalam syair-syair nyanyian Pegunungan Tengah. Secara sederhana, rima adalah kesejajaran bunyi akhir, yaitu, bunyi akhir dari dua kata atau lebih. Istilah ini lazim dalam pelajaran puisi dan syair, bagian dari pelajaran sastra, dan juga dalam syair lagu. Rima dipengaruhi juga oleh tekanan ritmik dan metrik. Dua larik berikut berima di ujungnya karena ada kesejajaran bunyi kata terakhir dan ada keteraturan ritmik dan metriknya:

Angkat nyanyian Wayase
Sambil berdansa Wayase


Kata Wayase yang diulangi membentuk persamaan bunyi akhir kedua larik karena ejaan dan bunyinya sama. Kedua kata akhir ini membentuk apa yang disebut “rima akhir” (yang sempurna).

Apa rima akhir yang dipakai dalam nyanyian suku-suku pegunungan di Nieuw Guinea? Dalam satu nyanyian, rima akhir itu berbentuk bunyi huruf hidup yang sama di akhir tiga kata: wowai-ujuwi-ragiwi. Nyanyian lain berisi suatu rima akhir yang sejati: asiloe berima akhir dengan naga-naga duwang wae. Tapi nyanyian yang sama berisi juga suatu upaya untuk membentuk rima yang lebih primitif karena ia dibentuk oleh selingan bunyi – o: wowai o a o yang berima dengan ambagage o.

Bunyi Kata yang Enak Didengar

Kunst tidak menyoroti masalah penggabungan huruf dan suku kata untuk menghasilkan bunyi kata yang enak atau tak enak didengar dalam syair-syair nyanyian Pegunungan Tengah. Ciri yang tidak diteliti ini akan dilihat lebih jauh.

Enak dan tak enaknya bunyi kata yang didengar berkaitan dengan penulisan puisi dan merupakan bagian dari pelajaran sastra. Kualitas bunyi ini pun muncul dalam penulisan syair lagu. Dalam kesusastraan modern, setiap kualitas bunyi dinilai berdasarkan aturan-aturan tertentu.

Untuk mengungkapkan sesuatu yang indah, penyair yang terlatih menyeleksi kata-kata tentang obyek yang indah itu. Selain itu, dia menyeleksi kombinasi huruf dan suku kata yang menghasilkan bunyi yang enak untuk didengar. Istilah teknis dalam kesusastraan untuk kombinasi bunyi bermakna yang enak didengar adalah eufoni. Kata-kata yang merupakan gabungan huruf-huruf yang menghasilkan getaran suara atau yang diucapkan dengan mulut terbuka cenderung menghasilkan eufoni. Contoh: Diru-diru nina o a/ Sawate
diru nina, nina-nina o./

Kalau dia ingin mengungkapkan sesuatu yang jelek, buruk, atau jahat, dia menyeleksi juga kata-kata terkait dengan sorotannya dan kombinasi huruf dan suku kata yang menghasilkan kombinasi bunyi bermakna yang tak enak didengar. Istilah teknis dalam kesusastraan untuk bunyi bermakna yang tak enak untuk didengar adalah kakofoni. Ucapkanlah kalimat berikut dan rasakan apakah ia enak didengar atau tidak: Kuku kaki kakak kakek Kiki kaku. Menurut saya, pemakaian yang sangat banyak dari huruf k dan kombinasinya dengan bunyi vokal sesuai urutan tadi menimbulkan efek bunyi yang tak enak untuk didengar dan juga mempersulit ucapannya.

Apakah penyair nyanyian-nyanyian suku pegunungan di Nieuw Guinea mengenal juga apa yang dalam kesusastraan modern dari Barat disebut eufoni dan kakofoni? Karena tidak ada info tentang pokok ini, pertanyaan ini sepintas lalu kedengaran tidak bijaksana.

Tapi ada cara lain untuk menjawab pertanyaan tadi. Contoh-contoh syair dari pedalaman kita pelajari dengan memerhatikan kombinasi huruf dan suku katanya. Berdasarkan pengetahuan kita tentang ilmu bahasa (linguistik) modern dan ciri-ciri umum eufoni dan kakofoni dalam kesusastraan modern, kita berusaha menentukan apakah ada atau tidak ada eufoni dan kakofoni dalam syair-syair mereka.

Kita ambil sekali lagi syair Yamo dari suku Awembiak. Untuk kemudahan pemahaman, kita uraikan syair ini menjadi suku kata.

Na-ga na-ga de-wi wo-wa-i (9 suku kata)
De-ga de-ga du-wa wo-wa-i o a o (12 suku kata)
Mu-gu na-ga lu am-ba-ga-ge o (10 suku kata)
A-si-lo-e na-ga na-ga du-wang wa-e (12 suku kata)

Apa ciri-ciri syair tadi?
  • Kalau selingan bunyi dihitung juga sebagai suku kata, maka seluruh syair itu dibentuk oleh 43 suku kata. Suku kata yang diurutkan dari huruf mati ke huruf hidup – seperti na, ga, dan de – berjumlah 32, sekitar 74 persen dari total suku kata yang dipakai. Jumlah kedua terbesar dibentuk oleh suku kata satu huruf – semuanya huruf hidup – berjumlah 9, sekitar 20 persen dari jumlah total suku kata. Jumlah ini disusul 1 suku kata yang menggabungkan huruf hidup dan huruf mati, yaitu am, dan 1 suku kata yang huruf hidupnya diapit huruf mati: wang.
  • Kalau bunyi selingan pada larik kedua dan ketiga dikeluarkan, kita punya tiga larik yang jumlah suku katanya sama, masing-masing 9 suku kata. Ini mengakibatkan ritme ketiga larik pertama terdengar simetrik atau berimbang. Larik terakhir yang memakai 12 suku kata bisa dipandang sebagai variasi terhadap ketiga larik pertama.
  • Dengan tetap mengeluarkan bunyi selingan, syair tadi menunjukkan skema rima aabb. Skema ini dibentuk oleh rima kedua larik pertama yang berakhir dengan bunyi i – wowai, wowai – dan rima kedua larik terakhir yang berakhir dengan bunyi e – ambabage, wae.
  • Seluruh syair tadi memakai 12 macam huruf: 8 huruf mati (b, d, g, l, m, n, s, w) dan 4 huruf hidup (a, i, e, o). Kecuali s, semua huruf mati tergolong pada huruf mati bersuara. (Huruf mati jenis ini bisa Anda cek dengan mengucapkannya sambil meletakkan belakang telapak tanganmu pada tenggorokanmu. Getaran pita suara melalui tenggorokan yang Anda rasakan menunjukkan ciri bersuara dari huruf mati ini.) Semua huruf hidup bersuara.
  • Berapa tingginya frekuensi pemakaian huruf mati dan hidup dalam syair tadi? Huruf mati dari frekuensi yang paling tinggi sampai dengan yang paling rendah demikian: g 11 kali, w 7 kali, d 5 kali, n 4 kali, l dan m masing-masing 2 kali, dan b sekali. Huruf hidup dari frekuensi paling tinggi sampai dengan paling rendah demikian: a 21 kali, e dan o masing-masing 6 kali,dan i 4 kali. Huruf mati dan hidup yang bersuara yang menggetarkan selaput suara ketika menyanyi menonjolkan kualitas musikal syair tadi

Untuk memahami lebih baik kualitas bunyi yang enak didengar, kita seharusnya memahami juga makna syair itu dan mengapa ada kombinasi huruf semacam itu dalam kata-kata lagu. Karena tidak ada terjemahan syair itu, kita agak sulit menjelaskan kualitas bunyi syair itu. Kita juga tidak tahu apakah ada aturan khusus dalam seni mencipta syair suku-suku pegunungan yang menetapkan hubungan antara pilihan huruf dan keindahan bunyi kata. Penelitian Kunst sebagai rujukan kita tidak menyediakan data ini.

Kualitas bunyi bermakna dalam puisi modern adalah sarana untuk menyatukan bentuk (bentuk kata atau larik) dan makna. Dalam musik vokal modern, penyatuan ini melibatkan juga melodi. Penyatuan ini berdasarkan suatu aturan umum: bentuk mengikuti fungsi. Kalau suatu syair berfungsi untuk memuja roh leluhur dalam upacara tradisional, bentuk kata dan melodi disesuaikan untuk mendukung fungsi syairnya.

Karena kita tidak tahu arti syair Yamo, kita tidak bisa menjelaskan apakah maknanya punya suatu fungsi yang ditunjang oleh bentuk huruf dan suku kata yang dipilih dan oleh bentuk melodiknya. Melihat pilihan huruf dan suku kata yang tampaknya dipilih secara sengaja, kita merasa ada hubungan antara fungsi syair – untuk upacara – dan bentuk kata dan melodi yang dipilih. Hanya penelitian lanjutanlah yang akan membuktikan apakah dugaan ini benar atau meleset.

Apakah seluruh syair itu menghasilkan efek musikal yang enak didengar? Banyaknya bunyi huruf mati dan hidup yang bersuara, adanya perulangan bunyi vokal (huruf hidup) terutama pada larik pertama dan kedua, dan rima akhir pada syair itu menghasilkan bunyi musikal yang, menurut saya, enak didengar.


Bahasa Syair Tidak Seutuhnya Dipahami

Yang mengherankan, teks atau syair nyanyian-nyanyian suku pegunungan, terutama nyanyian untuk upacara, umumnya mereka pahami sebagian saja. Naskah itu “penuh kata-kata kuno, rusak atau menyimpang”. G. A. J. van der Sande memperjelas pengamatan yang cermat dari Kunst dengan menyoroti ciri ini pada nyanyian penduduk pesisir utara. Bahasa nyanyian penduduk Teluk Humboldt dan Seka di bagian barat teluk ini konon berasal dari bahasa kuno. Bahasa ini tidak lagi menjadi bahasa gaul dan hanya dipahami secara tidak utuh.

“Stratifikasi Musikal”

Semua ciri tadi dan ciri-ciri lain musik tradisional Pegunungan Tengah yang mencakup nyanyian-nyanyian untuk upacara dan nyanyian biasa menunjuk pada apa yang Kunst istilahkan “stratifikasi musikal”. Dengan kata lain, musik vokal ini menyiratkan tingkat-tingkat budaya musikal. Secara khusus, nyanyian untuk upacara suku-suku katai di Pegunungan Tengah sangat mirip dengan yang dinyanyikan penduduk Kepulauan Karesau, utara Papua Nugini masa kini. Nyanyian ini dibentuk oleh not-not triadik, sebagian menghasilkan nyanyian fenfer.

Tiga Dugaan Cerdas

Bagaimana sampai ada kemiripan nyanyian dari penduduk dua tempat yang letaknya berjauhan? Kunst mengajukan tiga dugaan cerdas.

Barangkali, nyanyian untuk upacara di Pegunungan Tengah diwariskan dari suku ke suku. Di masa lampau yang jauh, penduduk Karesau mewariskan nyanyian untuk upacara pada suku-suku pedalaman tadi; beberapa suku yang tinggal di antara Karesau dan Pegunungan Tengah diperkirakan sudah memiliki nyanyian-nyanyian yang sama. “Perkembangan budaya suku-suku pegunungan,” tulis Kunst, “sekurang-kurangnya tampak sangat homogen.”

Kalau dugaan pertama kurang tepat, ada dugaan kedua. Barangkali, penduduk Pegunungan Tengah dan Karesau pernah saling kontak lalu hidup bersama-sama di masa lampau. Karena komunikasi macam ini, nyanyian-nyanyian triadik tadi diwariskan oleh penduduk Karesau pada penduduk pegunungan di Nieuw Guinea.

Kalau kedua dugaan pertama belum pas, ada dugaan ketiga. Bisa saja musik “fenfer” penduduk Karesau dan Pegunungan Tengah masa kini menunjuk pada suatu pengaruh lain di masa lampau. Ada suatu peradaban khusus di masa lampau yang menyebar pada suatu kawasan yang lebih luas. Kemudian hari, peradaban itu dilanda oleh berbagai gelombang suatu kebudayaan yang lebih baru. Musik fenfer yang diwariskan peradaban ini meninggalkan suatu endapan musikal lebih tua yang muncul ke permukaan secara terserak-serak di suatu kawasan yang luas sesudah “digali” oleh para ahli musik Barat, termasuk Dr. J. Kunst dari Belanda. Endapan musikal dari peradaban itu lalu dilanda gelombang budaya musikal baru dari Melanesia dan Australia dan meninggalkan endapannya yang berusia lebih muda.

Tiga Pertanyaan Penting

Mana dari ketiga kemungkinan atau dugaan cerdas itu yang benar? Sebelum menjawab pertanyaan ini, Kunst mengatakan ada tiga pertanyaan penting yang harus dijawab secara memuaskan dan tuntas.

Pertama, apakah nyanyian-nyanyian fenfer tadi terdapat juga di antara suku-suku lain di dalam dan dekat Nieuw Guinea? Ya, jawab Kunst. Nyanyian-nyanyian fenfer terdapat juga di Bougainville di Kepulauan Solomon, pada penduduk Karesau, pada suku Kongara, dan pada suku Yabim di Finschhafen, semuanya di Papua New Guinea. Nyanyian-nyanyian itu ada dalam nyanyian-nyanyian untuk sihir di New Ireland pusat.

Kemiripan terdapat juga dalam naskah atau syair lagu penduduk Papua New Guinea tadi dengan yang ada di Pegunungan Tengah. Nyanyian-nyanyian itu dicirikan, misalnya, oleh duplikasi kata, penyelesaian naskah frasa melodik melalui vokalisasi bunyi huruf hidup sebagai pengganti kata-kata yang kurang pada melodi, pergeseran tekanan dari satu suku kata ke satu kata yang lain dalam kata yang sama, dan pemakaian rima akhir, yaitu persajakan di akhir larik, seperti dalam kata-kata wowai-ujuwi-ragiwi – masing-masing berakhir dengan bunyi i.

Kedua, nyanyian-nyanyian fenfer tadi harus dihubungkan dengan ras atau agen budaya yang mana? Dihubungkan dengan migrasi, jawab Kunst. Migrasi boleh jadi dari utara atau timurlaut Nieuw Guinea. Selain itu, nyanyian-nyanyian fenfer suku Awembiak dan Dem bisa juga dihubungkan dengan musik tiup penduduk Bougainville di Kepulauan Solomon. Penduduk pulau-pulau itu memakai seikat suling buluh berukuran sedang. (Ikatan suling ini yang terdapat juga di kawasan lain di Papua New Guinea dan Nieuw Guinea terdiri dari tiga, empat, lima, tujuh, atau delapan buluh.) Ujungnya yang ditiup punya lubang bundar yang berjejer secara merata. Ujungnya yang lain dipotong begitu rupa sehingga lubang yang dibentuk tampak lancip di ujung bawahnya; bagian bawah jejeran itu mulai dari ukuran paling panjang sampai dengan yang paling pendek, untuk menghasilkan berbagai nada. Ikatan suling buluh seperti ini mirip pan-pipe dalam musik modern Barat dan, karena itu, disebut suling pan-pipe. Nyanyian-nyanyian fenfer Bougainville barangkali dipengaruhi trinada dan balikan-balikannya yang dihasil suling pan-pipe yang ditiup musikus di sana. Tapi suling pan-pipe terdapat juga di kawasan lain di Papua New Guinea dan Nieuw Guinea, khususnya Merauke. Sementara nyanyian fenfer khas penduduk Karesau dan Pegunungan Tengah. Karena itu, sulit menetapkan hubungan antara nyanyian fenfer dan suling pan-pipe sebagai sumber penciptaan nyanyian fenfer karena jenis nyanyian ini terbatas pada penduduk kedua kawasan tadi. Karena itu, hubungan nyanyian fenfer di pedalaman Nieuw Guinea dengan migrasi dari arah Papua New Guinea sulit dipertahankan.

Ketiga, apakah ada kemungkinan menemukan penyebab adanya nyanyian-nyanyian fenfer itu? Kemungkinan itu ada.

Kalau bukan dari arah Timur, pengaruh terhadap nyanyian fenfer di Karesau dan Pegunungan Tengah dari mana ? Barangkali, dari Asia bagian timur, jawab Kunst. Suling pan-pipe, kata Kunst, produk suatu peradaban yang berkembang tinggi di Asia bagian timur. Diperkirakan suling ini dibawa suku-suku daratan Asia yang bermigrasi ke arah timur di masa lampau dan masuk ke Nieuw Guinea barangkali secara tidak langsung melalui pulau-pulau di Papua New Guinea. Suling pan-pipe tetap suatu unsur asing dalam budaya musikal Melanesia; ia tidak pernah diasimilasi ke dalam instrumen musikal Melanesia. Suling ini pun sulit diterima sebagai sumber penciptaan nyanyian fenfer Karesau dan Pegunungan Tengah. Nyanyian fenfer di kedua kawasan ini selalu bersifat ritual dan tidak sekalipun suling ini berperan sebagai instrumen musikal yang keramat atau untuk upacara. Sebagai aturan umum, suling tradisional di Nieuw Guinea digunakan untuk maksud-maksud upacara. Jadi, pengaruh suling pan-pipe suku-suku Asia yang bermigrasi ke Nieuw Guinea terhadap penciptaan nyanyian fenfer Karesau dan Pegunungan Tengah bisa diabaikan.

Asal Nyanyian Fenfer

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sudah dijelaskan, Kunst mengajukan suatu argumen tentang asal nyanyian fenfer di Karesau, Bougainville, New Ireland, dan Pegunungan Tengah. Argumen ini sekaligus menjawab pertanyaan sebelumnya: Bagaimana sampai ada kemiripan nyanyian dari penduduk dua tempat yang letaknya berjauhan?

Boleh jadi, nyanyian-nyanyian ini bukti kelangsungan suatu lapisan purba bawah dari suatu kebudayaan yang lazim pada kawasan-kawasan tadi. Kebudayaan itu adalah suatu peradaban utama yang pada kebanyakan tempat sudah digantikan oleh gelombang-gelombang budaya yang lebih muda, yang sudah melapisisnya.

Bentuk musikal kuno ini sudah ada dan berdampingan dengan musik yang berbeda dan lebih muda. Bagi suku-suku Pegunungan Tengah, nyanyian fenfer mereka tidak dipengaruhi suling pan-pipe sekalipun jenis suling ini menghasilkan melodi triadik. Kalau asumsi ini diterima, maka jelas bahwa musik kuno di Pegunungan Tengah tadi dan di kawasan lain di Papua New Guinea sudah dilestarikan sampai dengan abad ke-20 dan diteliti oleh Kunst dan ahli-ahli musik yang lain. Kawasan-kawasan tadi terlindung paling baik dari masuknya pengaruh asing dari luar. (Mungkin tidak lagi masa kini.)

Bentuk nyanyian ini boleh dipandang warisan budaya asli Papua dari Pegunungan Tengah. Dalam hubungan ini, Dr. P. Wirz yang meneliti suku-suku katai di Lembah Swart mengatakan bahwa jejak-jejak yang jelas dari salah satu lapisan budaya Australia dan Melanesia paling tua, suatu lapisan budaya negritik (budaya yang berciri ras negro atau ras hitam), ada di Nieuw Guinea bagian tengah.

Peradaban Negritik yang Lebih Tinggi

Menurut Kunst, lapisan budaya negritik ini bisa disebut suatu peradaban negritik yang primitif. Akan tetapi, dari sudut-pandang musikal, peradaban ini lebih tinggi dari kebudayaan-kebudayaan lebih muda yang mendesaknya ke pedalaman. Secara musikal, nyanyian-nyanyian fenfer suku-suku Awembiak dan Dem di Pegunungan Tengah lebih maju dari musik tipe Australia – yang juga terdapat di pesisir utara Nieuw Guinea – dan juga lebih maju dari kebanyakan gejala musikal yang ditemukan zaman Kunst di Nieuw Guinea.

Tidak ada komentar: