09 Juni 2008

8. Apa yang Bisa Dikembangkan?

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE
Untuk mengembangkan musik modern khas Papua, musikus perlu melakukan seleksi dan modifikasi. Tidak semua ciri musik tradisional Papua cocok untuk abad ke-21. Melodi yang pendek dan sangat sederhana dan yang arah geraknya monoton – seperti yang mulai dengan nada paling tinggi lalu berakhir dengan nada paling rendah – cepat menjemukan ketika didengar. Pencipta musik populer modern yang kuat ritmenya – seperti reggae, disko, rock ‘n roll, samba, salsa, dan chachacha – boleh dikatakan mustahil mengembangkan iramanya kalau jenis birama idiom ini berubah-ubah dalam satu lagu, seperti dari 2/4 ke 4/4 ke 3/4 lalu ke 4/4. Lebih lagi, setiap idiom musikal modern ini punya versi dansanya yang dikembangkan hanya berdasarkan satu jenis birama saja. Gerak pedansa karena itu akan terganggu kalau lagunya berubah-ubah irama sesuai perubahan jenis biramanya, apalagi memakai jenis birama yang langka, seperti 9/4 dan 4/8. Semua idiom ini umumnya memakai jenis birama 4/4, kemudian 3/4, dan ada kalanya 2/4. Karena itu, kecenderungan musik tradisional Papua berganti jenis birama berkali-kali, termasuk jenis birama yang tidak lazim, tidak praktis dalam penciptaan idiom populer. Nyanyian gereja masa kini pun jarang memakai pergantian jenis birama. Kalau lagu-lagu tradisional yang memakai lebih dari satu jenis matra tadi ingin dimodernisasi, musikus sebaiknya melakukan modifikasi dengan memakai hanya satu jenis birama saja. Jadi, seleksi dan modifikasi musik tradisional Papua memang perlu demi memampukannnya menjadi bagian dari musik abad ke-21 secara nasional dan internasional.
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Untuk mengembangkan musik modern khas Papua, musikus perlu melakukan seleksi dan modifikasi. Tidak semua ciri musik tradisional Papua cocok untuk abad ke-21. Melodi yang pendek dan sangat sederhana dan yang arah geraknya monoton – seperti yang mulai dengan nada paling tinggi lalu berakhir dengan nada paling rendah – cepat menjemukan ketika didengar. Pencipta musik populer modern yang kuat ritmenya – seperti reggae, disko, rock ‘n roll, samba, salsa, dan chachacha – boleh dikatakan mustahil mengembangkan iramanya kalau jenis birama idiom ini berubah-ubah dalam satu lagu, seperti dari 2/4 ke 4/4 ke 3/4 lalu ke 4/4. Lebih lagi, setiap idiom musikal modern ini punya versi dansanya yang dikembangkan hanya berdasarkan satu jenis birama saja. Gerak pedansa karena itu akan terganggu kalau lagunya berubah-ubah irama sesuai perubahan jenis biramanya, apalagi memakai jenis birama yang langka, seperti 9/4 dan 4/8. Semua idiom ini umumnya memakai jenis birama 4/4, kemudian 3/4, dan ada kalanya 2/4. Karena itu, kecenderungan musik tradisional Papua berganti jenis birama berkali-kali, termasuk jenis birama yang tidak lazim, tidak praktis dalam penciptaan idiom populer. Nyanyian gereja masa kini pun jarang memakai pergantian jenis birama. Kalau lagu-lagu tradisional yang memakai lebih dari satu jenis matra tadi ingin dimodernisasi, musikus sebaiknya melakukan modifikasi dengan memakai hanya satu jenis birama saja. Jadi, seleksi dan modifikasi musik tradisional Papua memang perlu demi memampukannnya menjadi bagian dari musik abad ke-21 secara nasional dan internasional.

Ciri-ciri manakah yang bisa diseleksi dan dimodifikasi? Usul-usul berikut bersifat pribadi.

Pertama, kembangkanlah nyanyian khas Papua dengan mengutamakan satu jenis birama saja. Pilihlah jenis birama yang lazim dalam musik masa kini, seperti 2/4, 3/4, 4/4, 6/4, 3/8, 6/8, dan 9/8. Kemudian, tentukanlah satu jenis birama untuk lagu-lagu tradisional yang memakai lebih dari satu jenis birama. Langkah ini akan mempermudah penyerapan musik modern khas Papua ke dalam musik nasional dan internasional, terutama musiik pop, masa kini. Kekecualian tentu ada. Kalau suatu lagu tradisional Papua ingin dikembangkan menjadi lagu yang bebas matra seperti nyanyian mazmur atau nyanyian Gregorian, musikus bisa melakukan penyesuaian.

Kedua, lagu-lagu triadik berbentuk fenfer dari suku Awembiak dan Dem tampaknya mudah dikembangkan menjadi lagu-lagu modern. Melodi triadik fenfer lazim dalam musik militer modern Barat. Ia juga bisa kita telusuri pada frasa-frasa musikal berbagai lagu kebangsaan modern dan bahkan dalam beberapa lagu gereja terkenal. Dalam lagu-lagu perjuangan Indonesia, fragmen triadik fenfer bisa kita dengar dalam bagian awal Maju Tak Gentar tempat orang menyanyikan penggalan kalimat, “Maju tak gentar” dan dalam bagian awal Dari Barat Sampai ke Timur tempat orang menyanyikan penggalan kalimat lain: “Dari Barat sampai ke Timur, berjajar”. Ia terdengar pada awal lagu kebangsaan Perancis dan awal lagu gereja, Hai Bangkit bagi Yesus – nyanyian aslinya, Stand Up, Stand Up for Jesus – tempat jemaat menyanyikan penggalan larik bait satu, “Hai bangkit bagi Yesus, pahlawan.” Fragmen-fragmen melodi triadik fenfer ini lalu diolah secara kreatif mengikuti aturan-aturan musikal tertentu dan menjadikannya lagu-lagu terkenal di Indonesia, Perancis, dan dalam ibadah-ibadah gereja Kristen di seluruh dunia. Jelas, potensi untuk mengembangkan lagu-lagu triadik fenfer Awembiak dan Dem menjadi modern ada.

Ketiga, pola ritme khas nyanyian-nyanyian tradisional Papua perlu dikembangkan dengan hati-hati. Ini demi mempertahankan ritme khas Papua. Tanpa ritme khas, musik Papua yang dimodernisasi kehilangan identitas khasnya karena tidak berbeda dengan ritme musik lain. Musik vokal tradisional berisi ritme yang dipengaruhi syair atau kata-kata suatu bahasa dan, sampai batas tertentu, irama alam. Kata-kata yang dipilih untuk melodi tradisional berisi tekanan suku kata (ada suku kata yang diucapkan lebih nyaring dari suku kata lain), intonasi (tinggi-rendahnya suara yang mengucapkan rangkaian kata bermakna), tempo (cepat-lambatnya suatu rangkaian kata bermakna diucapkan), instrumen musikal yang dipakai, dan – dalam kasus-kasus tertentu – imitasi suara alam, seperti suara hewan dan kicauan burung. Setiap bahasa dan lingkungan alam yang berbeda menghasilkan ritme yang berbeda. Karena itu, musikus yang ingin mengolah ritme khas Papua mesti menyerap ritme khas itu sebelum menciptakannya kembali dalam musik modern khas Papua.

Keempat, musikus perlu juga mengembangkan melodi khas Papua. Karena ritme adalah salah satu komponen penting melodi, musikus perlu mempelajari kaitan antara ritme dan bangunan melodik khas Papua. Kombinasi not-not dengan berbagai nilai dan pemakaian triul pendek dan sejenisnya perlu dipelajari secara teliti sebelum musikus menciptakan kembali pola ritme khas Papua.

Kelima, bangunan melodik ditentukan juga oleh jenis tangganada, jangkauan nada, dan bentuk melodik yang dipakai. Ada, misalnya, tangganada tradisional empat not – sol, sa, do, ri – yang mendasari bangunan melodik lagu Huembello dan tangganada lima not – do, re, mi, sol, la – yang mendasari lagu Yamko Rambe Yamko, Diru-Diru Nina, dan Gembala Baik Bersuling nan Merdu. Masih ada jenis tangganada tradisional lain yang belum diolah menjadi lagu khas Papua, sebagian akan dijelaskan dalam tulisan mendatang. Jangkauan nada nyanyian tradisional satu oktaf, kurang atau lebih dari itu. Lagu Papua modern bisa memakai berbagai jangkauan nada sesuai kebutuhan. Bentuk melodik yang sering muncul dalam lagu-lagu tradisional Papua yang dibicarakan sejauh ini adalah bentuk strofik. Bentuk ini ada juga dalam musik modern; jadi, musikus yang menciptakan kembali musik Papua bisa memanfaatkan bentuk-bentuk strofik modern ini.

Keenam, teknik menyanyi yang melibatkan presentor dan koor dari suku Dem perlu dikembangkan. Teknik ini bisa memberi kesegaran pada musik pop sekuler, musik pop Kristen, dan musik gereja.

Ketujuh, munculnya pemakaian jenis birama 3/8, 6/8, dan 9/8 berkali-kali dalam melodi tradisional Papua adalah suatu gejala musikal yang menarik. Ini bukan karena jenis-jenis birama ini khas Papua; musik modern sering memakainya. Rasanya ini termasuk jenis birama favorit pencipta lagu tradisional Papua. Kalau memang disukai, apa yang menyebabkan para pencipta lagu tradisional menyukainya? Tidak gampang menjawab pertanyaan ini. Ritme adalah suatu gerak abadi dari alam, di sekitar dan di dalam diri manusia pencipta musik. Oleh pengaruh faktor-faktor yang sulit dijelaskan, para pencipta lagu tradisional Papua didorong oleh daya ciptanya, bisa spontan bisa direncanakan, untuk memilih ketiga jenis birama tadi dan pola ritme yang menyertainya. Pilihan ini punya makna afektif, makna emosional, yang mereka sukai.

Kalau ketiga jenis birama tadi memang disukai para pencipta lagu tradisional, musikus modern bisa menciptakan kembali melodi tradisional Papua dengan memakai salah satu dari ketiganya. Karena lagu-lagu gereja modern sering memakai salah satu dari ketiga jenis birama tadi, melodi khas Papua untuk gereja berdasarkan salah satu jenis birama tersebut rasanya mudah diciptakan kembali. Tapi tampaknya tidak mudah memakai jenis birama tadi dalam musik pop masa kini yang umumnya diciptakan dengan memakai jenis birama 4/4, 2/4, dan 3/4. Ini membuka peluang yang menantang bagi musikus Papua atau non-Papua untuk menciptakan kembali lagu-lagu pop modern khas Papua yang memakai jenis birama 3/8, 6/8, atau 9/8. Hanya musikus yang kreatif dan gigih yang bisa menjadi trend setter musik pop baru dari Papua, musik pop berdasarkan salah satu dari ketiga jenis birama tadi.

Kedelapan, penggunaan reduplikasi, vokalisasi khas Pegunungan Tengah yang memakai selingan bunyi o a o a, dan pilihan kata yang menghasilkan bunyi yang enak didengar perlu dipelajari dan dipakai dalam musik Papua modern. Ciri-ciri ini bisa memperkuat ciri khas musik ini.

Kesembilan, frasa-frasa atau fragmen-fragmen melodik suku-suku pegunungan dan beberapa suku pesisir seperti yang sudah dijelaskan bisa dikembangkan dalam musik pop modern, seperti disko. Ada potensi besar dari melodi-melodi pendek itu untuk dikembangkan menjadi musik modern.

Ada jenis disko modern yang mengandalkan ritme yang kuat tapi memakai melodi-melodi pendek sebagai bagian dari irama disko. Dua contoh dicatat dari rekaman disko D.J. Mangoo dalam http://www.mp3.com/mangoo, yaitu, Screw Me dan Sad Memory. Kedua lagu ini pendek dan sederhana; akord yang dipakai pun mendasar. Ukuran dan kesederhanaan kedua lagu Mangoo tidak beda banyak dengan yang dinyanyikan suku-suku pegunungan dan beberapa suku pesisir di Nieuw Guinea. Tapi Mangoo bisa mengembangkannya menjadi lagu disko yang menarik.


Tangganada memakai tujuh not – sol-la-si-do-re-mi-fa – sementara melodi dasar di awal lagu mencakup empat not: si-do-mi-fa. Nanti dalam pengembangan lanjutannya, Anda mendengarkan tangganada lengkap yang mendasari variasi yang cepat, lincah, dan menawan dari melodi yang dikembangkan. Melodi yang dikembangkan dimulai dari birama 5 dan berakhir pada birama 8. Mulai dari birama 13, Anda memperhatikan pengembangan lanjutan melodi pertama dengan menambah not-not yang bernilai lebih kecil tapi yang tetap ada dalam akord-akord yang dipakai. Dalam permainan asli lagu disko ini, Anda akan mendengarkan variasi melodik yang lebih banyak.


Tabuhan drum lagu disko ini mengikuti matra atau ketukan dasar lagu. Ia ditingkahi petikan bas yang kedengaran setengah ketukan sesudah tabuhan drum. Kombinasi drum dan bas macam ini menghasilkan bunyi pukulan dasar mirip pukulan tifa di Teluk Cenderawasih.

Tangganada lagu disko ini memakai enam not: re-mi-sol-la-si-do. Seperti lagu-lagu tradisional di Papua, melodi dasarnya pendek dan sederhana. Ketukan pertama dan kedua setiap birama melodi dasar diisi not. Tapi dalam melodi yang dikembangkan berdasarkan melodi dasar, penundaan selama dua ketukan diikuti not yang ditahan selama 4 dan 6 ketukan melintasi dua birama bisa Anda amati, misalnya, pada birama 7, 8, 9, 10, dan 11. Birama 18 dan 19 adalah variasi birama 10 dan 11. Akord-akord yang dipakai adalah juga akord-akord dasar. Tapi melodi disko yang asli karya D.J. Mangoo lebih bervariasi dari yang dijelaskan di sini.

Yang menarik dari lagu disko ini ialah pemakaian instrumen musikal yang menghasilkan bunyi mirip harpa Yahudi di Papua. Ritme ini yang diperkuat pukulan drum dan petikan bas khas disko menimbulkan asosiasi pada suatu suguhan modern melodi Papua yang diiringi pukulan tifa dan petikan bas khas.

Selain dalam musik disko modern, melodi pendek dipakai juga dalam musik rap. Corak musik pop modern ini menggabungkan antara nyanyian berdasarkan melodi yang pendek dan kata-kata yang diucapkan secara agak melodik dan ritmik.

Belum ditemukan musik mirip rap dalam musik tradisional Papua. Tapi melodi-melodi pendek dalam musik etnik ini bisa dikembangkan secara kreatif berdasarkan ciri-ciri khas melodi, ritme musikal dan bahasa daerah atau dialek Indonesia-Papua menjadi musik rap khas Papua.

Dengan belajar dari melodi-melodi yang pendek dan sederhana yang bisa dikembangkan menjadi menarik dan bahkan menawan oleh Mangoo dan musik rap khas Papua, musikus Papua sekarang ditantang untuk mengolah kembali melodi-melodi tradisional dan pendek itu menjadi lagu-lagu modern. Seingat saya, the Black Brothers memelopori modernisasi melodi-melodi Papua macam ini, dan melodi-melodi pendek lain dari Pasifik, terutama sesudah mereka tinggal di luar negeri. Huembello yang dibentuk dari empat not dikembangkan menjadi menawan karena menggabungkan antara musik pop Barat dan Papua. Ada, misalnya, suara-suara “rimba raya” khas Papua yang terdengar bercampur dengan musik modern.

Kepeloporan mereka layak dilanjutkan oleh musikus Papua yang lain. Bahan-bahan dasarnya sudah ada – melodi-melodi asli berbagai suku di Papua. Siapa yang mau mengembangkannya?


Tidak ada komentar: