30 Juni 2008

11. Nyanyian Suku-Suku Lain di Pegunungan Tengah

Musik suku-suku Papua di Pegunungan Tengah tidak hanya terbatas pada nyanyian-nyanyian fenfer suku katai Awembiak dan Dem. Ada juga nyanyian empat suku katai lain di Pegunungan Tengah yang direkam melalui fonogram oleh Le Roux pada ekspedisi tahun 1939, yaitu, nyanyian suku Ekari (19 rekaman), Moni (3 rekaman), Simori (5 rekaman), dan Ndani (2 rekaman).

Kunst meneliti ciri-ciri musik mereka berdasarkan hasil rekaman Le Roux. Di samping itu, dia juga memakai hasil penelitian ahli-ahli lain yang meskipun bukan ahli musik profesional tidak melewatkan - untuk berbagai pertimbangan - gejala musikal suku-suku pedalaman tadi dalam penelitiannya.

Nyanyian, Melodi, dan Ritme

Untuk memahami nyanyian keempat suku Papua pegunungan tadi ditambah suku Awembiak dan Dem, Kunst mencoba menjelaskan perbedaan mendasar antara nyanyian mereka. Tapi dia sulit menjelaskannya.

Empat dari lima nyanyian suku Simori punya suatu ciri yang berbeda dengan kelima suku lainnya. Musik vokal mereka terdiri dari teriakan-teriakan yang mengungkapkan rasa gembira, pekikan-pekikan perang, nyanyian untuk tarian keliling, nyanyian ketika berbaris, dan nyanyian yang berisi mantera-mantera.

Tapi nyanyian lain suku Simori dan hampir semua nyanyian suku Ekari, Moni, dan Ndani punya ciri yang sama. Semuanya tergolong pada melodi fenfer.

Anda ingat dari tulisan sebelumnya bahwa melodi fenfer yang bersifat triadik menjadi suatu ciri khas musik vokal suku Awembiak dan Dem. Melodi fenfer mereka direkam secara cermat melalui ingatan Le Roux dan Muhamad Saleh. Kunst yang mendengarkan kembali melodi fenfer kedua suku katai ini memuji kecermatan ingatan dan rekaman berdasarkan ingatan Le Roux dan asistennya: mereka berdua "punya telinga yang baik dan ingatan yang baik".

Meskipun ingatan mereka berdua baik, lanjut Kunst, mereka tidak cermat dalam merekam ritme khas suku Awembiak dan Dem. Ritme melodi fenfer yang mereka rekam dipengaruhi ritme musik non-Papua pegunungan yang sudah tertanam dalam ingatan musikalnya.

Berbicara tentang ciri umum ritme khas nyanyian suku-suku Papua pegunungan tadi, Dr. J. Kunst menyatakan bahwa ritme itu cenderunhg lebih rumit dan berubah-ubah. Bentuk ritme nyanyian mereka, kata Kunst, bersifat sintetik, yaitu, bersifat meleburkan berbagai macam ciri ritmik.

Apa maksudnya dengan bentuk ritme yang bersifat sintetik? Hampir tidak ada "kesamaan matra". Tekanan tidak jatuh pada selang waktu yang teratur.

Dalam ilmu musik Barat, masalah tekanan sudah diatur. Siapapun yang mempelajari aksentuasi dalam musik Barat tahu apa yang Kunst maksudkan dengan frasa tadi.

Dalam musik pop modern Barat yang mengandalkan ritme yang kokoh dan teratur seperti rock 'n roll, disko, chacha, samba, dan salsa, kesamaan matra kita tahu dari jenis birama yang berlaku, lazimnya 4/4. Aturan standar tekanan aksentuasi metrik dalam jenis birama ini demikian: ketukan pertama mendapat tekanan berat, ketukan ketiga relatif berat, dan ketukan kedua dan keempat masing-masing mendapat tekanan ringan.

Jenis birama lain yang populer adalah 3/4 yang kita dengar pada musik berirama wals. Aturan dasarnya demikian: ketukan pertama mendapat tekanan berat sementara ketukan kedua dan ketiga masing-masing mendapat tekanan ringan.

Masih ada satu lagi jenis birama yang muncul dalam musik country dan mars tertentu: 2/4. Aksentuasi metrik dari melodi yang memakai jenis birama ini jatuh pada ketukan pertama; ketukan kedua mendapat tekanan ringan.

Setiap jenis birama dalam ilmu musik Barat tadi menunjukkan adanya kesamaan matra karena tekanan jatuh pada selang waktu yang teratur. Tapi bentuk ritme yang bersifat sintetik dari melodi suku-suku Papua pegunungan tadi yang menghasilkan perbedaan metrik yang menonjol jelas berbeda dengan aturan-aturan dasar tentang tekanan metrik dalam ilmu musik Barat tadi.

Kalau hampir tidak ada kesamaan matra dalam melodi suku-suku tadi, apakah ini bisa berarti hampir semua melodi suku itu tidak dikendalikan oleh satu jenis birama saja, seperti 4/4? Tepat sekali.

Misalnya, fragmen suatu melodi suku Ekari - disebut juga suku Kapauku - di Enarotali yang direkam melalui fonogram dan ditulis kembali dalam notasi balok oleh Kunst dan yang syairnya berkisah tentang sungai Edere mulai dengan birama 4/4 sejauh lebih dari tiga birama. (Ada ketukan "gantung", disebut pickup measure dalam bahasa Inggris, yang mengawali lagu ini). Bentuk ritmik bagian melodinya yang dikendalikan jenis birama 4/4 merupakan gabungan not bernilai seperempat, seperdelapan, rangkaian not yang masing-masing bernilai seperenam belas dan sepertiga puluh dua, triul pendek yang terdiri dari tiga rangkaian not yang masing-masing bernilai seperenam belas, dan not bertitik satu dan dua di kanannya. Sementara bergerak turun-naik dalam kendali birama 4/4, melodi lalu berubah matra dari 4/4 menjadi 9/8 sebanyak satu birama. Birama ini berisi kombinasi not bernilai seperempat, rangkaian not yang masing-masing bernilai seperenam belas dan sepertiga puluh dua, dan not seperdelapan bertitik satu di kanannya. Kombinasi not dengan berbagai nilai seperti ini tapi dengan bentuk-bentuk yang tidak sama muncul lagi ketika kendali birama 9/8 atas gerak melodi digantikan berturut-turut oleh birama 12/8 selama dua birama disertai suatu perhentian sementara melalui satu tanda fermata, kombinasi yang sangat langka dari birama 9/8 dan 1/8 sejauh satu birama, dan berakhir dengan birama 9/8 selama satu birama juga. Tanda diam bernilai seperenam belas dan not-not ornamental atau hiasan yang disebut grace notes dalam bahasa Inggris pun dipakai. Pergantian jenis birama seperti ini adalah suatu ciri khas melodi suku-suku Papua dari Pegunungan Tengah, pergantian yang jelas menunjukkan bahwa kesamaan matra tidak ada.

Bagaimana tentang ritme nyanyian tadi? Ritmenya disesuaikan dengan syair lagunya yang, kalau ditinjau dari sudut-pandang bentuk metrik musik Barat, bersifat tidak teratur secara metrik. Seharusnya syair lagu tadi dimuat di sini untuk memperjelas sifat iidak teratur secara ritmik dari syair lagu Kapauku tadi, syair yang dicatat lengkap dalam buku Kunst tentang musik di Nieuw Guinea. Tapi kita yang tidak bisa berbahasa Kapauku dan karena itu tidak memahami aksentuasi suku kata kalimat dalam bahasa ini tentu tidak akan memahami tekanan metrik syair tadi. Karena itu, suatu contoh lain dari suatu syair bahasa Indonesia bisa memperjelas pernyataan Kunst tadi.

Bagian awal lagu Burung Kakatua, suatu lagu pop klasik Indonesia berirama wals cepat dan berbirama 3/4, bisa memperjelas pernyataan tadi. Tekanan metrik yang berat fragmen melodi ini kita bunyikan sebagai DUM sementara tekanan metriknya yang ringan sebagai bunyi de. Pola metriknya demikian:

Burung Kakatua1

Tekanan metrik berdasarkan melodi tadi seharusnya selaras dengan tekanan metrik pada syair lagunya. Tapi tekanan metrik pada syairnya, seperti yang sudah dijelaskan, malah menghasilkan efek jenaka karena tidak sesuai dengan aksentuasi bahasa Indonesia lisan pada umumnya, sebagaimana yang digunakan penyiar radio dan televisi di Indonesia.

Untuk mempermudah pemahaman, tekanan ringan de diganti suku kata berhuruf kecil dan tekanan berat DUM dengan suku kata berhuruf besar. Huruf besar yang memulai suatu kalimat atau kata tertentu yang diikuti huruf kecil dihitung sebagai suku kata yang bertekanan ringan.

Bu-RUNG ka-KA-tu-A hing-GAP di JEN-de-LA.

Ne-NEK su-DAH tu-A, gi-gi-NYA ting-GAL du-A.

Seharusnya tekanan metrik yang berat dan ringan yang mengikuti bahasa Indonesia lisan yang lazim demikian:

BU-rung KA-ka-TU-a HING-gap DI jen-DE-la.

NE-nek SU-dah TU-a, gi-gi-NYA TING-gal DU-a.

Tekanan metrik yang keliru dari bagian syair lagu tadi mengakibatkan konflik antara tekanan metrik berat dan ringan dari melodi dan syair. Ini bertentangan dengan suatu aturan umum penciptaan nyanyian, menurut ilmu musik Barat: semua unsur musik harus bekerja sama untuk meningkatkan ungkapan umum dari pesan suatu lagu.

Untuk menerapkan aturan umum ini, kita perlu menyesuaikan matra melodi dengan matra naskah atau syairnya. Untuk itu, kita bisa menempuh dua cara. Kita menyesuaikan matra syair yang sudah ada dengan matra melodi Burung Kakatua dengan menuliskannya kembali atau kita menyesuaikan melodi dengan matra syair yang lazim.

Mana yang kita pilih? Lebih mudah menempuh pilihan kedua karena matra melodi lebih mudah disesuaikan dibanding menuliskan kembali syair lagu tadi demi keserasian tekanan metrik antara syair dan melodi.

Menurut saya, syair berdasarkan ucapan bahasa Indonesia yang lazim tadi lebih pas dipakai untuk melodi yang berjenis birama 4/4. Melodi ini memakai kombinasi not-not yang didominasi not bernilai seperempat dan seperdelapan yang akan membuat syairnya kedengaran wajar kalau diucapkan. Birama 3/4 untuk syair versi yang betul kurang pas karena ada suku kata yang mendapat tekanan berat yang ditarik agak panjang dari biasanya - kurang normal menurut bahasa-gaul. Meskipun demikian, birama 3/4 masih bisa dipakai.

Kalau bagian syair Burung Kakatua ini kita ubah mengikuti bunyi de DUM, pola bunyinya demikian:

DUM de DUM de DUM de DUM de DUM de DUM de

DUM de DUM de DUM de de de DUM DUM de DUM de.

Sekarang, matra fragmen melodi asli Burung Kakatua tadi kita sesuaikan dengan matra syairnya yang baru. Melodi asli terpaksa diubah sedikit agar selaras dengan syairnya. Perpaduan antara tekanan metrik melodi dan syair tampak demikian:

Burung Kakatua2

Modifikasi fragmen Burung Kakatua sekarang menunjukkan keselarasan antara tekanan metrik melodi dan syair.

Uraian tentang keserasian antara tekanan metrik melodi dan syair tadi memperjelas pernyataan Kunst tentang aturan keselarasan ini dalam ilmu musik Barat. Keselarasan macam ini tidak dia temukan dalam musik vokal suku-suku katai di Pegunungan Tengah Nieuw Guinea.

Karena bentuk metrik nyanyian suku-suku Papua di Pegunungan Tengah tidak teratur, ritmenya menghasilkan pola-pola yang khas yang harus dicatat secara cermat, tanpa pengaruh musik Barat. Pola-pola ini mencakup gabungan not-not dengan berbagai nilai yang sudah dijelaskan. Le Roux dan Saleh gagal mencatat pola-pola ritmik dan metrik khas ini karena mereka dipengaruhi pola-pola ritmik dan metrik musik Barat.

Ciri fenfer

Menurut Kunst, nyanyian-nyanyian suku-suku tadi sama jenisnya. Semuanya adalah lagu-lagu fenfer. Semua nyanyian dibentuk oleh triad mayor atau sebagian triad ini. Satu nyanyian Ekari tidak termasuk ke dalam nyanyian fenfer karena ia memberi kesan sudah dipengaruhi dari luar. Ada juga dua kasus pemakaian not sisipan, yaitu, not keenam dalam suatu nyanyian suku Ndani dan not keempat dalam suatu nyanyian suku Moni.

Dua kelompok melodi triadik

Tapi ketika Kunst meneliti musik vokal suku-suku tadi lebih jauh, semua melodi triadik mereka bisa dibagi dalam dua kelompok. Apa kedua kelompok itu?

Pertama, kebanyakan melodi mereka punya nada dasar triad mayor sebagai titik pusat melodiknya. Triad C mayor dalam tangganada diatonik mayor C, misalnya, berisi susunan not do-mi-sol. Ia bersifat mayor atau besar karena ada lima setengahnada (do-di-re-ri-mi) dalam interval ketiga, do-mi, dan empat setengahnada (mi-fa-fi-sol) dalam interval ketiga lainnya, mi-sol. Interval kedua bersifat minor karena kekurangan satu setengahnada dari interval ketiga mayor. Singkat kata, triad C mayor dibentuk oleh dua interval ketiga dengan jumlah setengahnada yang berbeda dan dengan mi sebagai penghubung antara not do dan sol. Not paling rendah dari triad ini, yaitu do atau C, membentuk nada dasar triad mayor ini. Banyak melodi suku-suku katai Papua di Pegunungan Tengah menunjukkan pemakaian nada dasar dari triad yang membentuk melodinya.

Kedua, beberapa melodi mereka - serupa dengan ini, semua triad mayor ketiga - menunjukkan bahwa titik pusat melodik bukanlah nada dasar melainkan interval keempat di bawahnya. Sebagai akibatnya, interval keempat ini menghasilkan not dasar yang disebut not dominan.

Penjelasan Kunst tadi menyiratkan bahwa susunan not suatu triad mayor harus dibalikkan untuk menempatkan not dominan sebagai not dasar triadnya. Kalau triad C mayor tadi kita balikkan pertama kali, kita memperoleh urutan not mi-sol-do (do lebih tinggi dari sol dan mi). Balikan pertama ini menghasilkan bukan sol melainkan mi sebagai not dasarnya. Untuk menempatkan sol sebagai not dasar, kita harus balikkan lagi susunan awal triad C mayor tadi. Hasilnya adalah sol-do-mi. Do lebih tinggi dari sol dan mi paling tinggi di antara kedua not lainnya. Jarak nada antara sol sebagai not dasar dan do di atasnya adalah empat (sol-la-si-do). Balikan kedua triad C mayor dengan not sol sebagai not dasar yang membentuk interval keempat dengan not do di atasnya itulah yang dimaksudkan Kunst dengan istilahnya, "interval keempat di bawahnya" sebagai titik pusat melodik nyanyian suku-suku Pegunungan Tengah. Not sol ini disebut juga not dominan, suatu istilah yang Anda bisa temukan dalam pelajaran tentang akord. Dalam tangganada diatonik mayor C, akord dominan adalah G atau G7 (disebut dominan ketujuh).

Ciri apa lagi dari melodi suku-suku katai Papua di pedalaman yang diamati Kunst? Not dasar balikan kedua triad mayor tadi membentuk jangkauan nada yang bisa dikatakan bersifat plagal. Ini berlaku juga untuk sebagian besar nyanyian suku-suku tadi. Meskipun dibentuk berdasarkan nada dasar sebagai pusat nada melodik, nyanyian-nyanyian ini memakai secara luas interval keempat lebih rendah.

Kata "plagal" dalam konteks tadi mengacu pada suatu sifat melodi, dalam ilmu musik Barat. Secara sederhana, melodi plagal adalah turunan dari melodi asli atau otentik. Untuk memahami sifat plagal dari melodi, kita harus memahami lebih dahulu sifat otentiknya.

Kalau semua melodi suku-suku katai di Pegunungan Tengah kita sederhanakan dengan menulisnya berdasarkan tangganada diatonik mayor C, maka triad asli atau otentik C mayor yang dibentuk dari tangganada ini adalah yang berurutan not do-mi-sol. Secara melodik, triad ini ada dalam nyanyian suku-suku tadi. Tapi ia bukan satu-satunya. Ada juga melodi yang memperluas triad ini dengan memakai urutan not do-mi-sol-do atau do-mi-sol-do-mi dengan not-not terakhir sebagai not-not paling tinggi. Ada juga melodi yang mempersempit triad yang sama dengan memakai cuma dua urutan not: do-mi. Melodi yang memakai not do sebagai nada dasarnya, yaitu nada paling bawah dan paling rendah dari triad mayor, disebut melodi asli, melodi otentik. Not do membentuk interval ketiga mayor dengan not mi di atasnya; selanjutnya, not mi membentuk interval ketiga minor dengan not sol di atasnya.

Lalu, apa itu melodi plagal, melodi turunan? Itulah melodi yang dihasilkan melalui balikan-balikan triad mayor asli, termasuk perluasan dan penyempitannya. Balikan pertama triad mayor asli C adalah mi-sol-do. Ada melodi-melodi suku katai itu yang memperluas triad mayor ini menjadi mi-sol-do-mi, dengan mi kedua sebagai not paling tinggi, dan menghasilkan suatu bentuk melodi plagal. Selanjutnya, balikan kedua triad mayor asli C adalah sol-do-mi dengan sol-do sebagai interval keempat. Karena not sol lebih rendah dari not do di atasnya, interval keempat ini disebut "interval keempat lebih rendah" oleh Kunst. Banyak melodi suku-suku katai itu memakai melodi plagal jenis kedua, tapi dengan penyempitan atau perluasan triad plagal ini. Ada melodi yang dibentuk oleh hanya interval keempat lebih rendah saja: sol-do. Ada melodi yang dibentuk oleh perluasan triad mayor plagal jenis kedua menjadi sol-do-mi-sol atau sol-do-mi-sol-do.

Teknik Nyanyi Suku-Suku Katai

Entah bersifat otentik entah plagal, melodi-melodi yang dinyanyikan suku Ekari, Moni, Simori, dan Ndani di Pegunungan Tengah dan direkam tahun 1939 memberi kesan khusus tentang kualitas vokal mereka pada telinga Dr. J. Kunst. "Dengan mendengarkan nyanyian-nyanyian ini orang mendapat kesan bahwa seorang katai sejati tengah menyanyikannya. Nyanyiannya hidup, seperti nyanyian kaum muda yang bergairah. Suara dada tidak digunakan dan hasilnya adalah bahwa bahkan nyanyian lelaki dewasa sekalipun kedengaran agak mirip nyanyian anak lelaki yang suaranya belum berubah menjadi suara lelaki muda."

Lalu, bagaimana dengan syair, tema, dan ciri-ciri lain nyanyian mereka? Pertanyaan ini akan dijawab dalam tulisan mendatang.

Tidak ada komentar: