16 Juni 2008

9. Nyanyian-Nyanyian Nieuw Guinea Utara

ARTIKEL KITA DI SINI SECARA READMORE

Di samping meneliti musik tradisional suku-suku Papua di pedalaman, Dr. J. Kunst meneliti juga nyanyian beberapa suku Papua di Nieuw Guinea Utara pada tahun 1929. Mereka mencakup beberapa keluarga dari Serui, pada waktu itu adalah kampung utama pulau Yapen, dan dari penduduk pesisir Waropen. Yapen-Waropen terletak di Teluk Geelvink (kini Teluk Cenderawasih). Mereka juga mencakup beberapa orang lelaki dan wanita dari Hollandia dan Sarmi, suatu kawasan pesisir sekian ratus kilometer di barat Hollandia, dekat muara Sungai Mamberamo (kalau dilihat pada peta).

Kunst meneliti para penyanyi dari Papua ketika mereka ikut serta dalam pameran etnografik yang diselenggarakan di Batavia 1929. Pameran itu diadakan Perhimpunan Batavia Kerajaan selama Kongres Sains Pasifik Keempat di Batavia. Nyanyian dan musik mereka direkam melalui bantuan Ch. Le Roux, waktu itu kurator Perhimpunan Batavia Kerajaan. Selanjutnya, Kunst meneliti nyanyian dan musik mereka berdasarkan hasil rekaman Le Roux melalui fonogram.
ARTIKEL KITA DI SINI SECARA LENGKAP
Di samping meneliti musik tradisional suku-suku Papua di pedalaman, Dr. J. Kunst meneliti juga nyanyian beberapa suku Papua di Nieuw Guinea Utara pada tahun 1929. Mereka mencakup beberapa keluarga dari Serui, pada waktu itu adalah kampung utama pulau Yapen, dan dari penduduk pesisir Waropen. Yapen-Waropen terletak di Teluk Geelvink (kini Teluk Cenderawasih). Mereka juga mencakup beberapa orang lelaki dan wanita dari Hollandia dan Sarmi, suatu kawasan pesisir sekian ratus kilometer di barat Hollandia, dekat muara Sungai Mamberamo (kalau dilihat pada peta).

Kunst meneliti para penyanyi dari Papua ketika mereka ikut serta dalam pameran etnografik yang diselenggarakan di Batavia 1929. Pameran itu diadakan Perhimpunan Batavia Kerajaan selama Kongres Sains Pasifik Keempat di Batavia. Nyanyian dan musik mereka direkam melalui bantuan Ch. Le Roux, waktu itu kurator Perhimpunan Batavia Kerajaan. Selanjutnya, Kunst meneliti nyanyian dan musik mereka berdasarkan hasil rekaman Le Roux melalui fonogram.

Ciri-Ciri Nyanyian di Yapen-Waropen

Ada sebanyak sembilan belas nyanyian tradisional Papua yang diteliiti Kunst. Nyanyian-nyanyian itu sering agak panjang. Intonasi nada-nada yang berbeda-beda berubah-ubah. Kunst tidak berupaya mengukur interval yang membentuk nyanyian-nyanyian itu. Meskipun demikian, dia mengatakan interval-interval yang didengarkannya bersifat sangat "kebarat-baratan" dan berbeda sedikit sekali dengan interval diatonik Eropa. Karena itu, rekamannya dalam bentuk notasi balok dari nyanyian-nyanyian itu mendekati interval aslinya.

Jenis-jenis interval apakah yang dipakai dalam nyanyian-nyanyian tadi? Pertama, pemakaian interval pertama dan kedua menonjol. Ini, menurut Kunst, lazim dalam hampir semua musik vokal suku-suku primitif. Kedua, berbagai nyanyian memakai bermacam-macam interval. Dua lagu dibentuk melulu dari interval kedua. Suatu lagu memakai interval ketiga minor dan mayor. Delapan lagu memakai interval kedua mayor dan/atau ketiga minor secara berganti-gantian. Suatu nyanyian lain memperdengarkan interval kedua, ketiga, dan keempat; nyanyian lain melibatkan interval keempat dan kelima; dan dua lagu lain terdiri dari bermacam-macam interval. Suatu lagu lain lagi melibatkan interval kedua, ketiga, keempat kurang, dan ketujuh. Masih satu lagu lagi menampilkan interval keempat kurang dan murni, interval ketujuh minor dan mayor dan, sekali saja, interval kesepuluh minor. Tapi yang menonjol dalam lagu ini adalah interval kedua dan ketiga.

Selanjutnya, tiga nyanyian dari Yapen tergolong pada melodi murni kaum aborijin Australia. Nyanyian-nyanyian ini karena itu bersifat sangat primitif. Salah satu dinyanyikan seseorang bernama Kamasepadai. Melodi ini setingkat dengan melodi primitif kaum aborijin di Australia tengah.


Dari rangkaian not nyanyian tradisional tadi, kita bisa menemukan bahwa jangkauan melodik dan tangganadanya sempit sekali. Skema jangkauan melodik dan tangganadanya demikian:


Kita memerhatikan juga pemakaian kesekian kalinya dari jenis birama 6/8. Seperti yang sudah dikatakan, jenis birama ini tampaknya adalah salah satu dari tiga jenis birama - dua lainnya adalah 3/8 dan 9/8 - yang digemari pencipta nyanyian tradisional dari Papua.

Ada juga nyanyian dari Serui yang lebih berkembang. Melodinya memakai interval setengahnada (semitone). Menurut Kunst, pemakaian jenis interval ini dalam nyanyian dari Serui menunjukkan pengaruh Melayu. Melodi tradisional yang melibatkan interval setengahnada jarang ditemukan dalam musik penduduk pesisir yang tinggal di timur, seperti di Teluk Humboldt, dan juga dalam musik penduduk Pegunungan Tengah. Tapi interval ini sangat lazim dalam musik Melayu-Polinesia.

Pengaruh musik Melayu-Polinesia, khususnya pada melodi tradisional dari Yapen-Waropen, berasal dari mana? Kunst menduga pengaruh interval setengahnada tadi berasal dari Tidore, Maluku Utara. Antara abad ke-16 dan awal abad ke-20, Kesultanan Tidore yang dominan Muslim itu punya pengaruh pada sebagian penduduk pesisir di utara Nieuw Guinea, terutama di bagian baratdaya dan Teluk Cenderawasih.Pengaruhnya berbekas juga pada musik tradisional tertentu penduduk Yapen-Waropen.

Salah satu contoh nyanyian tradisional yang dipengaruhi musik Melayu-Polinesia berasal dari Waropen, dinyanyikan seorang lelaki bernama Sindusi. Judulnya, Munabai. Kunst tidak mencatat kata-katanya.

Terjadi pergantian jenis birama antara 3/8 dan 4/8. Pergantian kunci atau modulasi dari C ke B mol (bes) kita amati pada keempat birama terakhir. Ciri-ciri interval setengahnada yang diduga Kunst adalah hasil pengaruh Melayu-Polinesia, khususnya dari Tidore, muncul pada birama kedua, ketiga, kesebelas, dan pada rangkaian not yang dikendalikan kunci B mol (bes) pada ketiga birama terakhir.

Ada ciri-ciri lain lagi pada lagu tadi. Salah satu jenis birama yang sering muncul dalam lagu tradisional Papua, yaitu, 3/8, muncul lagi. Selain itu, kita memerhatikan pemakaian kombinasi not dengan berbagai nilai yang kecil, seperti not seperdelapan dan seperenam belas dan tanda diam dengan nilai yang sama. Kombinasi not ini bisa ditelusuri pada musik modern, termasuk musik pop masa kini. Jadi, sejarah ritme musikal modern boleh dikatakan merupakan kelanjutan dari ritme musikal masa lampau manusia.

Skema melodik dan tangganada nyanyian tadi berkembang. Dalam tangganada diatonik mayor C, ia mencakup enam not, dua di antaranya setengahnada.


Ciri-Ciri Nyanyian di Teluk Humboldt dan Sarmi

Kunst meneliti enam nyanyian yang direkam dari Teluk Humboldt dan Sarmi. Masing-masing menunjukkan perbedaan perkembangan. Ada dua nyanyian yang sangat sederhana, dua lagu yang masing-masing dibentuk secara bertangga oleh enam nada, dan satu lagu yang memakai jangkauan satu oktaf.

Nyanyian lain berjudul Mande dari Teluk Humboldt mirip suatu lagu kaum aborijin di Australia. Berkali-kali, ia melibatkan interval-interval setengahnada. Tapi interval ini tidak dipakai untuk membentuk melodinya; ia melatarbelakangi nyanyiannya.


Suatu nyanyian berjudul Tinguan dari Sarmi dibentuk oleh satu seperempat oktaf atau dua belas nada. Inilah lagu yang menurut Kunst paling bagus dari keenam nyanyian asal Teluk Humboldt dan Sarmi.

Rekaman notasi balok Kunst atas nyanyian ini menghasilkan 71 birama. Karena akan memakan ruang yang besar, notasi lengkap nyanyian ini tidak akan dimuat.

Skema jangkauan melodik dan tangganada Tinguan, dalam tangganada diatonik mayor C, demikian:

Apa penilaian Kunst tentang cara penyanyi dari Teluk Humboldt membawakan nyanyian-nyanyian mereka? Cara nyanyi mereka ceroboh dan kasar pada pendengaran orang Barat. Suara-suara mereka kasar dan tidak terlatih.Namun, lagu Tinguan yang mereka nyanyikan punya daya pesonanya sendiri. Jenis biramanya berubah-ubah, awal lagunya yang diulang-ulangi kokoh, pola ritmenya hidup, dan klimaksnya - tidak lazim dalam musik Papua - adalah suatu nyanyian yang ceria untuk pesta. Selain itu, nyanyian ini menimbulkan kesan tentang adanya modulasi atau pergantian kunci pada telinga pendengar Barat.

Lapisan Peradaban yang Mana?

Kunst memakai istilah “peradaban” dan “kebudayaan” ketika dia mencoba menjelaskan ada tidaknya pengaruh luar terhadap musik tradisional di Nieuw Guinea. Dia membayangkan pengaruh ini sebagai lapisan dan, karena itu, dia ingin tahu lapisan peradaban manakah yang mengendap di dasar paling bawah dari musik tradisional Papua. Dia menduga musik ini sudah dipengaruhi berbagai lapisan peradaban.

Kata “peradaban” mencakup kebudayaan, kemajuan; akhlak, kesopanan, moral. Kata “budaya” berarti akal budi, pikiran; adat, kebiasaan. Sementara itu, kata “kebudayaan” bisa berarti peradaban.

Dalam hubungan dengan musik tradisional di Nieuw Guinea, istilah “peradaban” yang Kunst pakai berarti budaya, kebudayaan, tingkat kemajuan. Makna inilah yang ada dalam frasa “lapisan peradaban”, suatu frasa dari Kunst.

Lapisan peradaban manakah yang sudah membentuk lapisan endapan dalam musik tradisional Papua di Nieuw Guinea? Belum bisa dipastikan, jawab Kunst. Nyanyian-nyanyian Papua yang sudah direkam dan diteliti belum cukup untuk menentukan lapisan satu budaya atau kebudayaan.

Berdasarkan info pada zamannya, Kunst mengajukan beberapa dugaan cerdas. Lapisan peradaban paling tua dari musik tampaknya adalah musik tipe Australia sebagaimana yang ditemukan di antara penduduk asli Australia. Ciri-cirinya ditemukan dalam nyanyian suku Kauwerawet di pedalaman dan dalam sebagian nyanyian dari pulau Yapen. Sesudah itu, mengendaplah lapisan peradaban Negrito yang membudayakan musik fenfer, terutama di antara suku-suku Pegunungan Tengah. Lapisan peradaban yang menyusul berasal dari Melanesia dan meninggalkan endapannya pada musik tradisional Papua, seperti di Papua New Guinea. (Kini diketahui endapan peradaban Melanesia ada juga pada musik tradisional penduduk Papua di pesisir, seperti di Papua bagian utara.) Akhirnya, lapisan peradaban Melayu-Polinesia meninggalkan endapan pelog, interval setengahnada, dan instrumen musikal seperti rebana, kecapi, dan gong pada musik tradisional Papua di Nieuw Guinea bagian utara dan baratdaya. Akan tetapi, lapisan-lapisan ini tumpang-tindih. Semua dugaan cerdas Kunst ini tentu bisa berubah kalau ada penelitian lanjutan yang menyingkapkan fakta-fakta dan teori-teori baru.

Pada zamannya, Dr. J. Kunst sudah kuatir tentang akibat mengabaikan penelitian tentang dan rekaman lanjutan dari musik tradisional Papua di Nieuw Guinea. Hal yang utama sekarang ini, katanya, adalah mendokumentasikan (melalui penelitian lapangan, sketsa, gambar, foto, dan rekaman nyanyian) musik tradisional Papua. Kalau terlambat, maka gelombang peradaban modern dari Barat bisa menyapu bersih musik asli itu dan menafikan dokumentasinya. Tentang dokumentasi ini, Kunst menyatakan: "Inilah satu-satunya cara musikologi mampu menyumbang pada suatu pengetahuan yang lebih luas dan handal tentang ras-ras dan kebudayaan yang menghasilkan orang Papua dan peradabannya."

Tidak ada komentar: